Minggu, 31 Januari 2010

Jawaban Terhadap Pluralisme


Akhir-akhir ini beredar pema-haman yang menggoyahkan keimanan, mengaburkan, dan membuat keragu-raguan (tasykik) dalam dada Muslimin. Maka diacak-acaklah bibit fitrah keimanan kaum terpelajar bahkan eksekutif —yang kondisi ekonominya mapan dan ingin mencari kedamaian lewat agama — dengan trik-trik yang cukup memukau, namun sebenarnya adalah racun penghapus keimanan. Yaitu di antaranya ditawarkan faham-faham yang membabat Islam, misalnya faham pluralisme yang menganggap semua agama itu sama saja, tujuannya sama, semua mengajarkan kebaikan, semuanya masuk surga, sama dan sejajar, paralel, dan kita tidak boleh memandang agama lain dengan kacamata agama kita sendiri. Dengan tawaran yang tampaknya toleran, adil, humanis, dan sesuai dengan kondisi itu, si Muslim yang awam yang telah terseret ke penawaran ini kemudian masuk ke jerat yang mencopot keimanan tanpa terasa.

Sehingga, sebenarnya fahamnya telah berbalik dari faham fitrah Islami menjadi faham yang membuang Islam dan mengakui semua agama itu sama. Dan itulah titik temu dari faham pluralisme yang dicanangkan oknum Nasrani, John Harwood Hich dalam bukunya God and the Universe of Faiths (1973), dan faham tokoh sufi/ tasawuf sesat Ibnu Arabi (560-638H/1165-1240M) yang menca-nangkan Wihdatul Adyan, penyatuan agama-agama, di samping faham kemusyrikan bikinan Ibnu Arabi yang terkenal dengan sebutan wihdatul wujud , menyatunya kawula (hamba) dengan Gusti (Tuhan). Dianggapnya itu adalah maqom (tingkatan) tertinggi, padahal justru itulah tingkatan yang paling jauh sesatnya, karena telah musyrik sekaligus kafir.

Masalah pencampur adukan antara yang haq dengan yang batil itu adalah puncak pengaburan, sehingga tidak jelas lagi batilnya. Padahal di dalam Islam, seseorang hanya mengaburkan jati dirinya yang mestinya laki-laki namun meniru-niru perempuan atau perempuan namun meniru-niru laki-laki saja sangat dilaknat. Namun kini pengaburan-pengaburan itu bukan sekadar penga-buran jenis kelamin, namun bahkan pengaburan agama Islam sebagai satu-satunya agama yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala .

Paradigma plural (pluralisme): Setiap agama adalah jalan keselamatan. Perbedaan agama satu dengan yang lain, hanyalah masalah teknis, tidak prinsipil. Pandangan plural ini tidak hanya berhenti pada sikap terbuka, melainkan juga sikap paralelisme. Yaitu sikap yang memandang semua agama sebagai jalan-jalan yang sejajar. Dengan itu, klaim kristianitas bahwa ia adalah satu-satunya jalan (paradigma ekskulsif) atau yang melengkapi jalan yang lain (paradigma inklusif) harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis (Rahman: 1996). (Abdul Moqsith Ghazali, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Jakarta, Media Indonesia, Jum'at 26 Mei 2000, hal 8).

Dalam ayat berikut ditegaskan, yang artinya: "Sebahagian diberiNya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk." (QS Al-A'raf: 30).

Kita tanyakan kepada kaum pluralis. Kalau menurut pandangan pluralis: Bahwa semua agama itu sama, sejajar, hanya beda teknis; Ini apakah artinya, semua itu tidak ada yang mendapat petunjuk? Ataukah tidak ada yang sesat? Ataukah semuanya mendapat petunjuk, atau semuanya sesat? Apakah Semuanya tunduk kepada Allah, ataukah semuanya tunduk kepada syetan?

Jelas-jelas paradigma pluralis itu bertentangan dengan ayat. Dan juga bertentangan dengan do'a kita setiap shalat, yang artinya: "Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni'mat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nasrani)." (Al-Fatihah: 6,7).

Dalil-dalil menjawab ahli tasykik

Untuk menjawab golongan tasykik (menyebarkan keragu-raguan) itu, perlu disimak ayat-ayat, hadits, sirah Nabi Muhammad yang riwayatnya otentik, murni.

Kalau semua agama itu sama, sedang mereka yang beragama Yahudi, Nasrani, dan Shabi'in itu cukup hanya mengamalkan agamanya, dan tidak usah mengikuti Nabi Muhammad n, maka berarti membatalkan berlakunya sebagian ayat Allah dalam Al-Qur'an. Di antaranya ayat, yang artinya:

"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh manusia." (As-Saba': 28).
"Katakanlah (hai Muhammad): Hai manusia! Sesungguhnya aku utusan Allah kepada kamu semua." (Al-A'raaf: 158).

Apakah mungkin ayat itu dianggap tidak berlaku? Dan kalau tidak meyakini ayat dari Al-Qur'an, maka hukumnya adalah ingkar terhadap Islam itu sendiri. Kemudian masih perlu pula disimak hadits-hadits.

Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasalam :
"Dahulu Nabi diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku (Muhammad) diutus untuk seluruh manusia." (Diriwa-yatkan Al-Bukhari 1/ 86, dan Muslim II/ 63, 64).

Dalam hadits lain disebutkan: Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka." (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii'in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah Nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).

Konsekuensi dari ayat dan hadits itu, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasalam sebagai pengemban risalah yang harus menyampaikan kepada umat manusia di dunia ini, maka terbukti Nabi Shallallahu alaihi wasalam mendakwahi raja-raja yang beragama Nasrani dan bahkan raja atau kaisar beragama Majusi. Seandainya cukup orang Yahudi dan Nasrani itu menja-lankan agamanya saja dan tidak usah memasuki Islam, maka apa perlunya Nabi Muhammad n mengirimkan surat kepada Kaisar Heraclius dan Raja Negus (Najasi) yang keduanya beragama Nasrani, sebagaimana Kaisar Kisra di Parsi (Iran) yang beragama Majusi (penyembah api), suatu kepercayaan syirik yang amat dimurkai Allah Subhanahu wa Ta'ala .

Sejarah otentik yang tercatat dalam kitab-kitab hadits menyebutkan bukti-bukti, Nabi berkirim surat mendakwahi Kaisar dan raja-raja Nasrani maupun Majusi untuk masuk Islam agar mereka selamat di akhirat kelak. Bisa dibuktikan dengan surat-surat Nabi n yang masih tercatat di kitab-kitab hadits sampai kini. Di antaranya surat-surat kepada Raja Najasi di Habasyah (Abesinea, Ethiopia), Kaisar Heraclius penguasa Roma-wi, Kisra penguasa Parsi, Raja Muqouqis di Mesir, Raja al-Harits Al-Ghassani di Yaman, dan kepada Haudhah Al-Hanafi. (Ustadz Hartono A Jaiz dkk, Kematian lady Diana Mengguncang Akidah Umat, Darul Falah, Jakarta, cetakan I, 1418H, halaman 44-46.)

Dalam surat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasalam yang ditujukan kepada Kaisar Heraclius (lafazh lengkapnya bisa dilihat dalam riwayat Al-Bukhari IV/57 dan Muslim II/90-91), beliau menegaskan, Apabila Anda menolak, maka Anda akan menanggung dosa-dosa orang-orang arisiyyin (penganut) Arianisme (ajaran Arius, uskup Iskandariyah 256-336M, pen). Perlu diketahui Arianisme adalah ajaran Arius (256-336M), seorang ahli ilmu agama bangsa Libia, Uskup di Iskandariah, mengajarkan bahwa sebelum penciptaan umum, Tuhan telah menciptakan dan melahirkan seorang putera, makhluk yang pertama, tetapi tidak abadi dan tidak sama dengan Sang Rama (Ensiklopedi Umum, hal. 79). Kepercayaan itu menurut Islam jelas syirik, orangnya disebut musyrik, suatu dosa yang paling besar karena menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala .

Bagaimana bisa dikatakan bahwa orang-orang ahli kitab sekarang pun akan masuk surga nantinya seperti yang didakwakan oleh sebagian ahli tasykik, padahal Nabi Muhammad n menyurati Kaisar Heraclius sejelas itu? Kalau Heraclius yang Nasrnai itu tidak mau masuk Islam, maka akan menanggung dosa orang-orang Arianisme, yaitu kepercayaan yang menurut Islam adalah musyrik. Dan karena Nasrani itu termasuk ahli kitab, maka masih ditawari pula untuk menjalankan yang sama dengan Islam:

Wahai Ahli Kitab, marilah (berpegang) dalam satu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."

Ajakan itupun kalau diikuti, berarti mengikuti ajakan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasalam yakni mempercayai Nabi terakhir yang mengajak Kaisar kepada kalimatun sawaa' (kalimat yang sama) itu. Dan risikonya, kalau ajakan itu diikuti, berarti ambruklah sistem kepasturan dan kerahiban di dalam tatacara ahli kitab. Dengan ambruknya sistem kependetaan, kepasturan, dan kerahiban itu hapus pula segala sabda-sabda dalam kitab-kitab maupun aturan-aturan yang mereka bikin-bikin. Yang ada justru ajaran murni di antaranya adalah khabar tentang akan adanya utusan Allah yang bernama Ahmad yaitu Muhammad . Dari sini tidak bisa mengelak lagi kecuali mengikuti ajaran Nabi Muhammad alias masuk Islam.

Jalan keluarnya

Bagaimana menghadapi itu semua? Tentu saja kita harus kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah shahihah sesuai dengan pemahaman yang disampaikan oleh Nabi Shallallahu alaihi wasalam , difahami dan diamalkan oleh para Sahabat, Tabi'in, dan Tabi'it Tabi'in. Itulah jalan dan manhaj yang perlu ditempuh oleh Ummat Islam, setelah aneka jenis penyelewengan telah dibidikkan dan bahkan dijejalkan kepada Ummat ini dengan aneka cara. Ibarat cara-cara munafiqin dalam membangun masjid dhirar adalah dengan dalih untuk menolong kaum tua, kaum lemah yang tidak tahan dinginnya malam, agar dekat tempatnya dsb. Dalih-dalih itu wajib dipatahkan, sedang bangunan mereka pun wajib dihancur leburkan. Demikian pula bangunan berupa pemahaman dan pemikiran yang merusak Islam, wajib dihancur leburkan, dibalikkan kepada pencetus dan penganjur-penganjurnya, agar menimbuni mereka bagaikan longsoran bangunan yang akan menimpa mereka di jahannam, sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur'an. (Redaksi AnNur)

Rujukan: 1. Shahih Al-Bukhari, 2 Shahih Muslim, 3 Zaadul Ma'ad, 4 Tsawuf Pluralisme dan Pemurtadan. 5 Berbagai sumber lain. 
READ MORE - Jawaban Terhadap Pluralisme

Sabtu, 30 Januari 2010

Ekstrem dan Berlebihan Dalam memuji Orang Shaleh


Berlebih-lebihan dalam mengagungkan orang shaleh baik dengan perkataan maupun keyakinan sering disebut dengan istilah al-ghuluww fis shalihin. Hukumnya adalah haram karena menyebabkan kekufuran, kesyirikan dan meninggalkan agama Islam. Ghuluw termasuk dosa besar yang bisa merusak Tauhid Uluhiyah, bahkan menghilangkan syahadat "laa ilaaha illallah".

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampai-kan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan:"(Ilah itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu." (QS. 4:171)

Ayat ini melarang berlebih-lebihan mengangkat makhluk melebihi porsinya, sehingga keluar dari kedudukan-nya sebagai makhluk dan menempatkan pada posisi khaliq, Illah dan Dzat yang disembah, padahal ini suatu yang tidak patut kecuali hanya bagi Allah Subhannahu wa Ta'ala semata.

Kedurhakaan atau kemaksiatan ini merupakan dosa yang terbesar karena melecehkan kedudukan Allah dan dia mendhalimi diri nya sendiri, juga karena sangat salah menempatkan mahkluk sejajar dengan Allah Subhannahu wa Ta'ala, itulah yang disebut dengan syirik. Kelan-cangan ghuluw menganggap ada hak-hak khusus Allah Subhannahu wa Ta'ala yang dimiliki oleh satu makhluq atau beberapa makhluq, atau salah dalam menyandarkan sesuatu kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala, seperti mengatakan anak Allah, Khalifatullah (pengganti Allah) dsb. Juga berlebihan dalam mengangkat mahkluq tersebut.

BEBERAPA BENTUK GHULUW TERHADAP ORANG SHALEH

1. Mengangkat Nabi atau mahkluq sebagai anak Allah Subhannahu wa Ta'ala

Padahal jelas Allah Subhannahu wa Ta'ala Dia Tuhan Yang Maha Esa tidak beranak dan tidak diperanakan. Jenis ghuluw ini sebagai-mana yang dilakukan oleh kaum Nashara terhadap Nabi Isa i dan Yahudi terhadap Nabi Uzair i. Sehingga hati mereka menjadi keras dan kebanyakan berbuat fasiq. Untuk itu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, artinya: "Jangan kalian berlebih-lebihan memujiku sebagaimana kaum Nasroni memuji (Isa i) putera Maryam, sesungguh-nya aku hanya seorang hamba maka katakan; hamba Allah dan utusanNya" (HR. Al-Bukhari)

Karena sikap ghuluw ini kaum Nashara dan Yahudi selalu memohon doa kepada nabi mereka, yang berarti telah menjadikannya sebagai Tuhan. Untuk meluruskan keyakinan dan ibadah mereka yang salah itu, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Al-Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelum-nya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan." (Al-Maidah: 75)

2. Beritikaf dikuburan orang shalih

Mereka berdiam khusyu' berdo'a (i'tikaf) di kuburan-kuburan adalah karena betul-betul mengagungkan dan mencintai orang saleh yang telah meninggal tersebut, ini berarti beribadah kepada mereka, bahkan syirik, sebab i'tikaf itu hanya kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dan tempatnya di masjid. (Demikian riwayat Imam Al Bukhari dan Ibnu Jarir yang ditegaskan oleh imam Al Hafidh As Sakhawi)

3. Membuat patung dan gambar orang shalih

Setelah sekian lama orang-orang shalih tersebut diangungkan dalam kubur saja, akhirnya mereka merasa perlu menggambarkan rupa patungnya (monumen), untuk teladan mereka, peringatan dan kenangan atas amal-amal shalihnya, agar dapat berjuang seperti dia, mereka juga menyembah Allah Subhannahu wa Ta'ala disisi kuburan orang saleh tersebut. Setelah mereka meninggal dan generasi berikut tidak tahu menahu asal muasalnya maka syaithan membisikkan kepada generasi baru ini bahwa nenek moyang mereka senan-tiasa mengagungkan dan menyembah patung-patung tersebut. Berhala-berhala itu disembah setelah hilang ilmu dengan meninggalnya generasi tua mereka. Kasus ini sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh yang memuja berhala-berhala orang-orang shaleh. (lihat Fathul Bari 8: 851-853)

4. Membangun kuburan dengan indah

Jika tujuannya ingin menghormati orang shaleh tersebut, maka cara yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam, adalah dengan mendo'akan, mewarisi ilmu, amal jariah dan mengamalkan-nya, bukan membangun kuburannya.
Sahabat Jabir Radhiallaahu anhu berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam melarang mengapur (menyemen) kuburan, duduk di atasnya dan membangun bangunan di atasnya." (HR. Muslim)

5. Berdoa disamping kuburan mereka

Sungguh Rasullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam memohon kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala jangan sampai kuburan beliau Shallallaahu 'alaihi wa Salam dijadikan tempat berdo'a. Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, artinya: "Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah." (HR. Malik dan Ahmad).
Jangankan setelah wafat, disaat masih hidup pun beliau Shallallaahu 'alaihi wa Salam tetap melarang keras, isti'anah maupun istighasah yang ditujukan kepada beliau Shallallaahu 'alaihi wa Salam karena itu semua hanya hak Allah semata. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam menegaskan bahwa itu semua bukan haknya.

6. Memohon syafa'at, wasilah, istighotsah, isti'anah dan pertolongan- pertolongan lain kepada mereka

Padahal semestinya hanya menjadi hak Allah Subhannahu wa Ta'ala ; seperti rizki, kesehatan, nasib, jodoh, keselamatan hidup dan mati. Permohonan kepada mereka begini sudah termasuk syirik sebesar-besarnya sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam sendiri melarang sahabat-sahabat memohon istighotsah (pertolongan) pada diri beliau Shallallaahu 'alaihi wa Salam , padahal beliau masih hidup.
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, artinya: "Sesungguhnya istighatsah itu tidak (boleh dimintakan) kepadaku, tetapi istigha-tsah itu kepada Allah." (HR. Ath-Thabrani)

7. Mencari barokah pada bekas tempat duduk atau kuburan mereka

Padahal para sahabat Radhiallaahu anhum tidak pernah melakukan yang demikian kecuali pada anggota tubuh atau bekas Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam disaat beliau masih hidup. Setelah beliau wafat para sahabat tidak melakukannya lagi. Mereka tidak berwasilah kepada beliau Shallallaahu 'alaihi wa Salam , dan tidak mencari barokah dikuburan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam .
Para sahabat juga tidak mencari barokah kepada khalifah Abu Bakar Radhiallaahu anhu atau Amirul Mukminin Umar bin Khattab Radhiallaahu anhu dan lain-lainya.

8. Menganggap bahwa orang-orang shalih itu mengetahui urusan ghaib

Ini satu kebohongan yang dibuat-buat oleh syaithan, sebab ilmu ghaib hanya hak Allah Ta'ala, dan sedikit sekali yang diberikan keapda manusia, yaitu hanya kepada Rasul Nya saja, sebagai bukti Risalah (Mukjizat).
Allah Subhannahu wa Ta'ala Berfirman, artinya: "(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu." (QS. 72: 26)
"Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya." (QS. 72: 27)

Menganggap pendapat, adat istiadat, atau hasil pemikiran orang shalih itu lebih baik dan benar daripada syari'at Rasul Shallallahu alaihi wasalam

Allah mencela kebiasaan mereka yang taklid jumud dan takabur bila diperingatkan dengan syari'at Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Salam.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah". Mereka menjawab: "(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk". (QS. 2:170)

Menganggap bahwa orang shalih itu dapat terlepas dari hukum syari'at Rasulullah , atau dapat membuat syari'at dan hukum sendiri

Ghuluw yang demikian telah keluar dari agama Allah, Al-Islam. Sebab Allah Subhannahu wa Ta'ala mengancam mereka, artinya: "Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. 4:65)

"Barangsiapa yang tidak memutus-kan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. 5:44)
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim." (QS. 5:46)
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik." (QS. 5:47)

Atau menganggap mereka bisa membuat hukum atas nama Allah, atau merubah hukum Allah. Padahal ghuluw yang demikian disebut telah menyem-bah (menjadikan) mereka sebagai Tuhan, seperti perbuatan dan sikap kaum ahli kitab terhadap para pemimpin agama mereka.
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb ) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS. 9:31)

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda kepada Ady bin Hatim seorang ahli kitab yang masuk Islam, karena ia menyangkal ayat di atas:
"Tidakkah mereka itu mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah, lalu kamu pun mengharamkannya, dan tidakkah mereka itu menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah, lalu kamu pun menghalalkannya?' Ia berkata, 'Ya'. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda : 'Itulah ibadah (penyembahan) kepada mereka'." (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Jarir dan lainya)

Sebagai penutup marilah kita merenungkan wasiat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam, ketika sebagian sahabat berkata kepada beliau: "Wahai Rasulullah! Wahai orang terbaik diantara kami! Dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid (penghulu) kami dan putera penghulu kami!' Maka seketika Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, artinya: "Wahai manusia, ucapkanlah dengan ucapan (yang biasa) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syaithan! Aku (tak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan rasulNya. Aku tidak suka kalian menyanjungku diatas derajat yang Allah berikan kepadaku!" (HR. Ahmad dan An-Nasa'i).

[Waznin Mahfuzh
READ MORE - Ekstrem dan Berlebihan Dalam memuji Orang Shaleh

Jumat, 29 Januari 2010

Sunnatullah, Sebuah Pelajaran


Allah telah membuat ketetapan (sunnah) yang selalu berlaku bagi makhluk-Nya, yang tidak akan berubah dan berganti. Kapan dan di mana pun manusia hidup, maka akan mendapati ketetapan Allah itu sebagai sesuatu yang berlaku. Ketetapan-ketetapan tersebut adalah: 

1. Segala Sesuatu Tidak Akan Tetap dalam Satu Keadaan.

Merupakan sunnatullah, bahwasanya Dia selalu mengubah keadaan hamba-hamba-Nya. Dia membolak-balikkan mereka dari suatu kondisi ke kondisi yang lain. Hari-hari dan kehidupan secara terus menerus Dia putar dan pergilirkan, sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala , 
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang- orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada” (QS. Ali Imran: 140)  

Terkadang manusia mengalami kesempitan dan kadang pula mendapat-kan keluasan, suatu saat ia kaya, namun setelah itu miskin. Hari ini mulia dan besoknya hina, kemarin pejabat dan kini menjadi rakyat. Oleh karena itu, maka tidak selayaknya seseorang merasa berputus asa dari rahmat Allah, ketika mendapatkan kesempitan hidup. Karena ketika kondisi sempit, maka urusan akan menjadi lapang, ketika tali melilit de-ngan kuat, maka ia telah mendekati pu-tus, ketika malam telah larut dan gulita, maka artinya fajar telah makin dekat. 
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah: 5-6) 

Merupakan hikmah dari Allah, bahwasanya Dia menciptakan sesuatu secara berpasangan, yaitu adanya dua hal yang selalu bertentangan. Yang demikian ini adalah masalah yang lumrah dalam kehidupan dan akan selalu ada di setiap tempat dan waktu. Namun yang jelas masing-masing keduanya memiliki batas yang telah ditetapkan, kesulitan dan kemudahan, kebahagiaan dan kesedihan, bencana dan kelapangan, sehat dan sakit, hidup dan mati, kaya dan miskin, pertolongan dan kehancuran merupakan sesuatu hal yang terus berlaku di dalam kehidupan. 

Al-Qur’an telah memberikan pe-tunjuk dan bukti dari semua itu, berapa banyak kisah di dalamnya yang meng-gambarkan kehidupan sebuah umat, bangsa atau pun pribadi perorangan yang mereka dulunya dalam suatu keadaan tertentu, lalu Allah mengubah keadaan mereka dengan yang sebaliknya. 

2. Musibah, Bencana dan Fitnah Akan Memilah Manusia

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, Artinya, 
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu’min).” (QS. Ali Imran : 179) 

Juga firman-Nya yang lain, Artinya, 
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira, bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah ber-iman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al- Ankabut: 1-2) 
Kalau saja tidak ada ujian dan coba-an, maka tidak akan diketahui mana orang yang benar keimanannya dan mana orang yang di dalam hatinya ada penyakit. Salah satu kisah yang mem-berikan pelajaran berharga kepada kita semua adalah yang terjadi pada masa Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam , ketika terjadi perang Ahzab, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, 
“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya”. Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata, ”Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu”. Dan sebahagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga)”. Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari.” (QS. Al-Ahzab:12-13) 

Maka musibah dan cobaan yang Allah turunkan, akan menyingkap hakikat keimanan seseorang dan agar setiap jiwa dapat menilai diri masing-masing. Bisa saja setiap orang meng-klaim dirinya mukmin, namun sekedar pengakuan tanpa dapat memberikan bukti nyata tidaklah cukup. Dengan cobaan dan ujian masing-masing diri akan merenungi apa yang ada pada dirinya. 

3. Allah Tidak Mengangkat Sesuatu Kecuali Akan Menurunkannya Juga.

Atau dengan kata lain ketika seseorang berada di puncak, maka tak ada lagi arah yang ia tuju, kecuali turun ke bawah. Ini merupakan sunnah rabbaniyah (ketetapan Allah) yang selalu berlaku di dalam kehidupan. 
Disebutkan dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malikz,, bahwasanya Rasulullah memiliki seekor unta yang dikenal dengan nama 'Adlba' dan larinya sangat cepat tak terkalahkan. Kemudian datang seorang Arab Badui dengan seekor unta muda mengajak beliau berpacu, dan ternyata Orang Badui tersebut menang. Maka para shahabat merasa berat dengan kekala-han ini, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam lalu bersabda, 
“Merupakan hak Allah, bahwasanya tidaklah Dia mengangkat sesuatu dari (urusan) dunia, kecuali Dia akan menurunkannya juga.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai) 

Mungkin sepintas lalu kita me-nganggap biasa-biasa saja dengan kisah di atas, namun sungguh di dalamnya ada pelajaran yang amat besar. Di dalamnya ada pengajaran dari manusia paling mulia Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam tentang sunnatullah di alam raya ini. Tentunya bukanlah terbatas pada Unta Arab Badui yang mengalahkan unta Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam , namun lebih dari itu, bahwa segala yang tinggi di dunia ini pasti akan turun sete-lah mencapai puncaknya. 

Manusia meskipun memiliki kekuatan dan kehebatan, namun suatu saat akan lemah juga, dan meskipun mempunyai kemuliaan, suatu ketika akan hilang dan lengser juga, yang demikian akan terus mengalir dalam kehidupan manusia. Kekuatan dan kemuliaan yang mutlak hanyalah milik Allah, tak akan berubah dan berganti, Dialah yang Maha Esa, Maha Perkasa, Maha Mulia dan Maha Memaksa, milik Allah seluruh ‘izzah (kemuliaan), Dialah Yang Maha Kuat dan Perkasa. 

Jika kita menginginkan contoh yang lebih banyak lagi, kita dapat membuka buku-buku tarikh yang meyebutkan jatuh bangunnya negri-negri dan kerajaan-kerajaan di masa lalu, masa keemasan dan kemundurannya, sebagaimana pula contoh-contoh seperti itu juga ada di dalam al-Qur’an. 

Hal ini merupakan sebuah hakikat kenyataan hidup, bahwa tidaklah Allah mengangkat sesuatu, melainkan juga akan menurunkannya dan bahwa segala yang ada di muka bumi pasti akan binasa. Maka segala apa saja yang telah berdiri dan tegak, resikonya adalah akan jatuh atau runtuh, sebagaimana apa saja yang telah hidup, maka suatu saat pasti mengalamai kematian. 
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 26-27) 

4. Tidaklah Bencana Turun Kecuali Karena Dosa dan tidaklah Ia Diangkat Kecuali dengan Taubat.

Ketetapan ini telah diterangkan dengan gamblang oleh Allah di dalam kitab-Nya, demikian pula dengan Sunnah Nabi juga memberikan penjelasan dan keterangan tentangnya, namun amat banyak manusia yang tidak mau mengetahui, bahkan masih banyak umat Islam yang tidak percaya serta mengingkari sunnatullah ini. 

Cobalah kita perhatikan firman Allah Subhannahu wa Ta'ala berikut, Artinya, 
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan dan Allah sekali-kali tidak hendak meng-aniaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut : 40) 

Perhatikan bagaimana Allah telah menjadikan dosa sebagai sebab dari bencana dan siksa. Bahkan ia merupa-kan sebab terbesar yang menyebabkan Allah menurunkan murka dan siksaNya, sebagaimana yang telah terjadi pada kaum Nabi Nuh, ‘Aad, Tsamud, Qarun, Fir’aun, Haman dan selain mereka. Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala , 
“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu) dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.” (QS. Al-Ahzab: 62) 
“Maka sekali-kali kamu tidak akan men-dapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.” (QS. Faathir: 43) 

Di antara dosa-dosa yang telah membuat orang-orang terdahulu dibinasa-kan adalah kufur kepada Allah, mendustakan para rasul dan menghalang-halangi dari jalan Allah, berencana membunuh dan memerangi rasul, melakukan kekeji-an (zina dan liwath/homo sex), terlena dengan penangguhan yang diberikan Allah serta merasa aman dari siksa-Nya dan masih banyak lagi dosa yang lain. 

Maka merupakan sunatullah, bahwasannya Allah tidak akan membiarkan orang-orang melakukan dosa dan kekejian tanpa adanya balasan yang setim-pal. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, 
“Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (azab) Kami ? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. Al-Ankabut: 4) 

5.Hukum Istikhlaf (Pemberian Kekuasaan) Berkait dengan Sunnatullah 

Kekuasaan adalah milik Allah dan berada di tangan Allah, Dia memberikan kepada yang dikehendaki dan mencabutnya dari siapa saja yang dike-hendaki. Namun dalam hal ini ada sunnatullah yang berkaitan dengan masalah pemberian kekuasaan oleh Allah (istikhlaf) di muka bumi ini. 

Bahwasannya Allah Subhannahu wa Ta'ala menciptakan manusia agar menjadi pengelola (khalifah) di muka bumi, supaya dapat diketahui bagaimana amal perbuatan mereka. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, 
“Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.” (QS. Yunus: 14) 
Istikhlaf (hak pengelolaan) ini sifatnya umum, berlaku sama antara orang yang baik dengan yang buruk, yang mukmin dengan yang kafir dan ini adalah merupakan ujian bukan istikhlaf untuk kemuliaan dan kecintaan dari Allah. Sebab istikhlaf yang demikian hanya diberikan khusus kepada para Nabi dan orang-orang shaleh yang mengikuti petunjuk mereka. 

Dan untuk memperoleh istikhlaf kemuliaan dan kecintaan Allah ada banyak syarat yang harus dipenuhi, kalau syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka janji Allah juga akan terpenuhi, sebagaimana firman-Nya, 
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada memper-sekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik". (QS. An-Nuur : 55) 

Ketetapan Allah ini telah berlaku bagi umat-umat yang terdahulu dan akan berlaku juga bagi orang yang datang kemudian. Namun tentu harus dengan syarat-syarat; Iman yang benar, amal yang shalih, istiqamah di atas perintah Allah dan menegakkan ketetapan hukum-Nya. 

Sumber: Kutaib, “Innaha as-Sunnan, Durus wa ‘Ibar fi Sunnanillahi wa Ayyamihi”. Muhammad bin Najm al-Dahlus.
READ MORE - Sunnatullah, Sebuah Pelajaran

Kamis, 28 Januari 2010

Berbeda Manhaj dan Aqidah Tidak Mungkin Bersatu


Landasan Membangun Ukhuwah 

Kini ada gejala yang timbul berupa peristiwa-peristiwa mengerikan bahkan menyayat hati. Misalnya pembunuhan, pembakaran, amukan massa, tawuran massal dan lain-lain. Masalah itu masih ditambah lagi dengan munculnya banyak partai yang berdiri di atas asas yang bermacam-macam dan ideologi yang beraneka ragam. Semuanya itu hanya menunjukkan bahwa sebenarnya yang terjadi adalah rapuhnya ikatan persaudaraan di antara kita. Sedang rapuhnya ukhuwah sebagai bukti keroposnya iman serta menyimpangnya aqidah. 

Ukhuwah model ini digambarkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sebagai ukhuwah/ persaudaraan buih di lautan. Mudah berkelompok, mudah pula untuk terpecah dan hilang. 

Apa yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir ada relevansinya untuk kita renungkan pada saat ini. Dikisahkan bahwa Ahmad bin Ammar Al-Asadi berkata: "Suatu hari kami keluar mengantarkan jenazah bersama seorang syaikh (guru) yang ditemani oleh sahabat-sahabatnya. Di tengah perjalanan, sang Guru melihat sekum-pulan anjing sedang bermain mesra, saling berkumpul dan menjilat. Sang Guru berpaling kepada sahabat-sahabatnya, seraya berkata: "Lihatlah anjing-anjing itu, alangkah baik budi pekertinya. Satu dengan yang lain saling menyayangi." 

Kemudian setelah kami kembali dari pemakaman, kami lihat ada seonggok bangkai. Sementara itu sekawanan anjing tadi beramai-ramai mengeru-muninya, dan satu sama lain saling mencakar dan menggonggong berebut mengambil bagian dari bangkai itu. Sang Guru kembali berucap: "Kalian telah melihat tadi, manakala dunia tidak di tangan, kalian begitu bersaudara. Namun manakala dunia di tangan kalian, kalian saling mencakar dan bertengkar bagaikan anjing berebut bangkai itu." 

Begitulah agaknya ukhuwah kita, masing-masing bersifat dangkal dan kerdil, belum berakar dan berbuah. Memang, sesama tokoh Islam sering potret bersama, duduk bersama, bertemu dalam satu meja, berjabat tangan sambil tersenyum dan menyapa: "Bagaimana khabarnya, bagaimana kesehatannya, semoga baik selalu, selamat semoga sukses," dan seterus-nya. Namun itu sekadar basa-basi, sedang di belakang, mereka bertindak lain. Maka sungguh celakalah ukhuwah yang seperti itu. 

Demikianlah kenyataannya, padahal gambaran tersebut aslinya adalah tingkah orang-orang kafir. Seperti yang digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala : 
"Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti." (Al-Hasyr: 14). 

Lalu mengapa ukhuwah kita terjeru-mus seperti ukhuwahnya orang kafir? Jawabannya paling sedikit ada dua: 

Pertama: 

Kualitas iman masing-masing pribadi yang rendah. Mereka lebih mengimani kenikmatan dunia daripada kenikmatan surga di akherat kelak. Banyak di antara kita yang masih terbelenggu Thaghut hawa nafsu kita yang berbentuk hubbud dun-ya (cinta dunia), hubbuzh zhuhur (cinta untuk tampil di permukaan/popularitas), dan hubbur ri'asah (cinta untuk jadi pemimpin). 

Jadi selama perjuangan kita belum ikhlas karena Allah dan masih penuh dengan pamrih-pamrih duniawi, maka ukhuwah kita masih bersifat ukhuwah duniawi. Padahal seorang mukmin harus selalu fi sabilillah —di jalan Allah. "Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang kafir berperang di jalan Thaghut..." (An-Nisa': 76). 

Kedua: 

Manhaj/ jalan perjuangan yang salah. Selama ini kebanyakan kaum Muslimin lebih mengedepankan kuantitas (jumlah) daripada kualitas (mutu). Mereka selama ini mendirikan kelompok, jama'ah atau partai atas dasar kesamaan cita-cita/ tujuan, tidak peduli agamanya sama atau tidak. Sehingga muncul misalnya partai lintas agama, dan tidak peduli aqidahnya benar atau tidak. Karena tujuannya adalah jumlah anggota yang banyak. Sehingga seorang sunni, syi'i, jahmi, khoriji/khowariji dianggap sama saja, semua boleh berdampingan bekerja-sama dalam hal yang sudah disepakati bersama dan saling toleransi terhadap perbedaan yang ada. Ini adalah manhaj/ jalan ukhuwah yang keliru dan semu. 

Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan pernah ditanya, "Apakah mungkin bisa bersatu antara orang-orang yang manhaj dan aqidahnya saling berbeda?" 

Beliau menjawab: "Tidak mungkin bersatu padu antara orang-orang yang manhaj dan aqidahnya saling berbeda. Sebaik-baik bukti adalah kondisi orang sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Mereka bercerai berai, bertolak belakang, dan bermusuhan. Tatkala mereka masuk Islam, tunduk di bawah ajaran Tauhid, aqidah mereka menjadi satu, manhaj mereka menjadi satu, maka bersatulah suara mereka, dan berdirilah negara mereka. Allah telah mengingat-kan kisah mereka dalam firmanNya: 
"Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kamu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara." (Ali Imran: 103). 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada NabiNya: 
"Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi niscaya kamu tidak dapat mempersatu-kan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesung-guhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijakasana." (Al-Anfaal: 63). 

Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan mempersatukan hati orang-orang kafir, murtad, dan kelompok-kelompok sesat selama-lamanya. Akan tetapi Allah akan mempersatukan hati orang-orang mukmin yang bertauhid. Allah berfirman tentang orang-orang kafir dan munafik yang menyalahi manhaj Islam dan aqidah Islam. 

"Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah." (Al-Hasyr: 14). 
Dan Allah berfirman: "T etapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu." (Huud: 118-119). 

Orang-orang yang diberi rahmat itulah orang-orang yang aqidah dan manhajnya benar. Mereka itulah yang selamat dari ikhtilaf, perbedaan pendapat dan percerai beraian. 

Orang-orang yang berusaha mempersatukan umat dibarengi dengan rusaknya aqidah dan berbedanya manhaj, maka mereka telah mengumpulkan sesuatu yang mustahil. Tidak ada yang bisa mempersatukan hati dan mempersatukan suara selain kalimat Tauhid yang diketahui maknanya dan dilaksanakan konsekuensi-konsekuen-sinya secara lahir mapun batin. Bukan sekadar mengucapkannya. 

Jadi kita harus melihat kepada kualitas aqidah dan manhajnya, bukan melihat kuantitas (jumlah) anggota dan peserta. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji yang kecil dan menolong yang sedikit manakala mereka yang kecil itu berada di atas manhaj dan aqidah yang benar. Yaitu manhaj Islam yang murni, bukan manhaj campur aduk yang dibangun di atas dasar kompromi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

"Senantiasa ada segolongan dari umatku yang memperjuangkan kebe-naran (di atas jalan yang haq), tidak membahayakan mereka (tingkah-tingkah) orang yang menghinakan mereka sampai datangnya keputusan Allah/ Kiamat." (HR. Muslim). 

Dalam lafadh lain dikatakan: 
"mereka berperang di atas dasar kebenaran." 

Inilah ukhuwah dan persatuan yang hakiki. Selain itu adalah semu/ palsu. Keadaan partai-partai dan firqah-firqah yang ada sekarang ini adalah saksi hidup dan bukti nyata atas kekeliruan dasar ukhuwah mereka, dan kegagalan perjuangan mereka. 

(Abu Hamzah).
READ MORE - Berbeda Manhaj dan Aqidah Tidak Mungkin Bersatu

Rabu, 27 Januari 2010

Hukum Memperolok-Olok Agama


Agama Islam datang dari Allah, disampaikan kepada umat manusia melalui Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam. Ajaran-ajarannya tertuang di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan sumber hukum dan petunjuk bagi setiap muslim. Oleh karena itu seorang muslim harus memuliakan ayat-ayat al-Qur’an, sunnah Nabi dan juga sesama muslim.

Seorang muslim dilarang keras berolok-olok, menghina dan mengejek Allah, Rasul dan ayat-ayat-Nya. Karena hal itu dapat menjerumuskan pelaku-nya ke dalam riddah (keluar dari Islam) sebagaimana yang pernah terjadi dimasa Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam.
Berikut ini kami sampaikan fatwa para ulama tentang hukum memper-olok-olok agama, semoga bermanfaat bagi kita semua.
  • Tanya: Bolehkah menggunakan ayat-ayat al-Qur'an untuk membuat perumpamaan sesuatu. Seperti mengumpamakan (rokok, red) dengan ayat, "yang tidak mengemukakan dan tidak pula menghilangkan lapar.”(QS. 88:7) Atau berkata (tentang tanah) dengan ayat," Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya, Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain. (QS. 20:55).

    Jawab: Tidak apa-apa membuat perumpamaan dengan ayat al-Qur'an jika penggunaan dan tujuannya adalah benar seperti contoh yang dikemukakan. Apabila dengan ayat-ayat tersebut dimaksudkan untuk mengingatkan orang tentang bahaya rokok atau, bahwa manusia itu diciptakan dari tanah lalu akan kembali ke tanah dan dibangkitkan dari perut bumi, maka permisal-an seperti ini dibolehkan karena tidak adanya unsur berolok-olok dan menghina al-Qur'an. Namun jika perumpamaan yang digunakan adalah untuk mengolok-olok dan menghina al-Qur'an maka masuk dalam kategori murtad dari Islam, sebab telah menjadikan peringatan Allah sebagai bahan per-olokan dan permainan, sebagaimana firman Allah artinya,
    "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah, "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema'afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. 9:65-66) (Syaikh Shalih al-Fauzan)
  • Tanya: Bagaimana hukumnya orang yang memegang al-Qur'an lalu merobek-robeknya padahal ia tahu bahwa itu adalah al-Qur'an dan juga telah ada orang yang memperi-ngatkannya? Kemudian bagaimana pula dengan orang yang dengan sengaja mematikan puntung rokok pada mushaf al-Qur'an?

    Jawab: Kedua orang itu dihukumi kafir, karena telah memperolok-olok dan menghina kitabullah, dan keduanya termasuk golongan mustahzi'in yang hukumnya seperti difirmankan Allah (QS. 9:65-66). (Al-Lajnah ad-Daimah)
  • Tanya: Kami melihat masih banyak orang ketika mereka melihat orang lain yang bersungguh-sungguh dalam beragama atau beribadah malah memperolok-oloknya. Sebagian yang lain ada yang berbicara tentang agama dengan nada mengejek dan memperolok-olok. Bagaimanakah orang yang seperti ini?

    Jawab: "Memperolok-olok agama Islam atau bagiannya adalah kufur akbar, berdasarkan firman Allah (QS.9 : 65-66)
    Barang siapa mengolok-olok orang yang bersungguh-sungguh dalam ber-agama atau menjaga shalatnya disebabkan kesungguhan dan konsistennya di dalam beragama, maka tergolong ke dalam mengolok-olok agama. Tidak diperbolehkan duduk-duduk dan bersahabat dengan orang seperti ini. Demikian juga dengan orang yang membicarakan masalah-masalah agama dengan nada menghina dan mengejek, maka dapat dikategorikan kafir, tidak boleh berteman dan duduk bersama mereka.

    Bahkan kita harus menging-karinya, mengingatkan orang lain agar jangan mendekatinya, juga menganjurkan kepadanya agar bertaubat kepada Allah karena sesungguhnya Dia Maha menerima taubat. Jika ia tidak mau bertaubat, maka dia dapat diajukan ke pengadilan setelah benar-benar terbukti ia melakukan penghinaan dan pelecehan terhadap agama Islam dan dengan membawa saksi yang adil supaya mendapatkan keputusan hukuman dari mahkamah syar’iyyah (pengadilan Islam).

    Intinya, bahwa masalah ini adalah masalah yang sangat besar dan berba-haya, maka wajib bagi setiap muslim untuk mengetahui ajaran agamanya, supaya dapat berhati-hati dari hal ini dan agar dapat mengingatkan orang tentang bahaya menghina, mengolok-olok dan melecehkan agama. Sebab hal ini merusak aqidah dan merupakan penghinaan terhadap al-haq dan para pelakunya. (Syaikh Ibnu Baz)
  • Tanya: Apa hukumnya menghina dan mengolok-olok orang yang berpegang teguh dengan agamanya?

    Jawab: Orang yang mengolok-olok mereka yang beriltizam dalam agama Allah, yang berpegang teguh perintah-perintah Allah maka dapat dikate-gorikan munafik, karena Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman,
    “(orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mu'-min yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disede-kahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan mem-balas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.” (QS. 9:79)

    Apabila penghinaan itu dikarenakan syariat atau ajaran agama yang dia pegang, maka penghinaan tersebut masuk dalam penghinaan terhadap syariat, dan menghina syariat adalah kekufuran. Jika penghinaan tersebut semata-mata hanya ditujukan kepada orang (pribadi) yang bersangkutan tanpa adanya unsur penghinaan terhadap apa yang ia pegang berupa ajaran agama atau sunnah maka tidak masuk kategori kafir. Sebab boleh jadi seseorang menghina orang lain secara pribadinya saja, dan tidak mangaitklan sama sekali dengan amal yang dilaku-kannya, namun hal ini juga merupakan sesuatu yang sangat berbahaya.

    Yang seharusnya adalah memberikan dorongan kepada orang tersebut agar tetap berpegang dengan syariat Allah serta mendukungnya, bukan menghinanya. Apabila dirinya memang memiliki kesalahan, maka hendaknya diluruskan sesuai dengan kesalahan yang dia kerjakan. (Syaikh Ibnu Utsaimin)
  • Tanya:Bagaimana hukumnya mengejek orang yang memanjangkan jenggot atau mengangkat pakaian (celana) diatas mata kakinya?

    Jawab: Barang siapa yang menghina orang yang memelihara jenggot atau mengangkat pakaiannya di atas mata kaki, padahal ia tahu bahwa itu adalah syariat Allah maka ia telah meng-hina syariat Allah tersebut.Namun jika dia menghinanya selaku pribadi, karena adanya faktor pendorong yang sifat-nya pribadi pula, maka ia tidak dikafir-kan dengan perbuatan itu. (Syaikh Ibnu Utsaimin)
  • Tanya: "Apa hukum syara' terhadap orang yang mengejek orang yang berjenggot dengan memang-gilnya, "Hai si jenggot! Mohon untuk dijelaskan.

    Jawab: “Mengolok-olok jenggot adalah kemungkaran yang besar, kalau dia mengucapkannya dengan tujuan menghina jenggot, maka itu adalah kufur, namun jika karena panggilan julukan atau pengenal (karena dengan menyebut nama saja belum tentu tahu yang dimaksudkan, red) maka tidak masuk dalam kekufuran.
    Namun tidak selayaknya menjuluki atau memanggil orang dengan panggilan seperti ini. Sebab dikhawatirkan masuk dalam golongan yang difirmankan Allah dalam surat at-Taubah 65-66. (al-Lajnah ad-Daimah)
  • Tanya: Apa hukumnya mengejek wanita muslimah yang mengenakan hijab syar'i dengan menyebutnya sebagai 'ifritah (jin Ifrit wanita/ hantu, red) atau kemah yang berjalan, dan kalimat-kalimat lain yang sifatnya mengejek?

    Jawab: Barang siapa yang menghina seorang muslim atau muslimah dikarenakan ajaran syariat yang dia pegang maka dia adalah kafir, baik itu dalam masalah hijab syar'i atau yang selainnya.

    Hal ini berdasarkan pada hadits Ibnu Umar Radhiallaahu anhum yang mengisahkan salah saorang laki-laki yang berkata dalam perang Tabuk,"Aku tidak pernah melihat orang yang semisal ahli baca kita (dia maksudkan Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam dan para shahabatnya) yang mereka itu lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih penakut ketika berhadapan dengan musuh." Maka seorang laki-laki lain berkata,"Kamu telah berdusta, bahkan kamu adalah seorang munafik, aku akan memberitahukan ini kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam ! Ketika orang tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam ternyata telah turun ayat,

    Abdullah Ibnu Umar mengatakan, "Aku melihat laki-laki tersebut berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sedang kedua kakinya tersandung-sandung batu seraya mengatakan," Wahai Rasulullah sebenarnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja." Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda (membacakan ayat), "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema'afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. 9:65-66)

    Maka Allah telah menjadikan, bahwa berolok-olok terhadap orang mukmin(karena syariat yang dia pegang) merupakan bentuk olok-olok terhadap Allah, rasul dan ayat-ayat-Nya.
  • Tanya: Bagaimana hukumnya mengatakan, bahwa kitab-kitab akidah adalah kering dan tidak sesuai untuk mendidik anak-anak di masa ini?

    Jawab: Masalah ini perlu dirinci, jika yang dimaksudkan adalah al-Qur'an dan as-Sunnah (dalam buku tersebut), maka ini adalah riddah (murtad). Maka siapa saja yang mengatakan, bahwa nash al-Qur'an adalah kaku, kering, tidak sesuai untuk manusia dan tidak memberikan penjelasan apa-apa, maka berarti telah mencela dan mengolok-olok nash (ayat), ini merupakan keku-furan. Ada pun jika yang dimaksudkan adalah ucapan salah seorang ulama itu kering, maka urusannya lebih ringan dan tidak menyebabkan riddah, namun ungkapan tersebut tidak sopan, cenderung berlebihan dan tidak selayaknya untuk diucapkan. (Syaikh Ibnu Baz)
  • Tanya: Bagaimana hukumnya mempelajari filsafat, mantiq atau wacana (teori) yang didalamnya berisi olok-olok terhadap ayat-ayat Allah, apakah boleh duduk bersama mereka?

    Jawab: Jika ia seorang yang berilmu, yakin terhadap diri sendiri dan tidak ada kekhawatiran akan terkena fitnah dalam hal agamanya baik melalui bacaan atau pun dialog dengan mereka, kemudian ia berniat untuk membantah atau meluruskan yang batil, menegakkan yang hak, maka boleh untuk mempelajarinya. Namun jika tidak demikian, maka tidak boleh mempelajarinya, tidak boleh bergaul bersama mereka sebagai suatu bentuk sikap menjauhi kebatilan dan pelakunya serta menjaga diri dari fitnah. (al-Lajnah ad-Daimah)

    Sumber: Buku “Fatawa fi Man Istahza’a Biddin wa Ahlihi” oleh kumpulan para ulama dan Al-Lajnah Ad-Daimah.
READ MORE - Hukum Memperolok-Olok Agama

Selasa, 26 Januari 2010

Bahaya Bid'ah

Bid'ah atau amalan yang diada-adakan dalam agama, padahal bukan bagian dari agama adalah sesuatu yang berbahaya. Di antara bahaya dan akibat buruk terbesar dari perbuatan bid'ah adalah sebagai berikut:

1. Dapat Mengantarkan kepada Kekufuran

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda,
"Tidak akan terjadi hari Kiamat sehingga ummatku mengambil (jalan hidup) orang-orang yang sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta." Lalu ditanyakan, " Apakah seperti orang-orang Persia dan Romawi? Maka beliau menjawab, "Orang yang mana lagi kalau bukan mereka." (HR. al-Bukhari)

Demikian pula dalam hadits dari Abu Said al-Khudri , Rasulullah juga bersabda,
"Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti jalan hidup orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sekalipun mereka masuk ke dalam lobang biawak kalian akan ikut memasukinya juga." Kami (para sahabat, red) bertanya, " Apakah mereka itu yahudi dan nasrani?” Maka beliau menjawab," Siapa lagi (kalau bukan mereka)." (Muttafaq 'alaih)

Jika yang diikuti adalah prinsip-prinsip pokok yang dapat menggu gurkan keimanan maka jelas orang yang melakukannya dapat terjerumus ke dalam riddah (keluar dari Islam).

2. Ucapan Atas Nama Allah dengan Tanpa Ilmu

Jika kita memperhatiakn ahli bid'ah, maka kita dapati bahwa mereka adalah orang yang banyak berdusta dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya. Padahal Allah sudah memperingatkan melalui firman-Nya, artinya,
“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” (QS. al-Haaqah:44-46).

Rasulullah juga mengancam dengan keras orang yang berdusta mengatasnamakan beliau,
"Barang siapa yang sengaja berdusta mengatasnamakan aku maka hendaknya dia menyediakan tempat duduknya dari api neraka." (Muttafaq 'alaih)

3. Menyebabkan Benci terhadap Sunnah dan Ahlinya.

Ini merupakan salah satu bahaya bid'ah, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ismail bin Abdur Rahman ash-Shabuni, "Tanda-tanda ahli bid'ah adalah sangat jelas dan terang, dan di antara tanda-tandanya yang paling nyata adalah kerasnya permusuhan serta penghinaan mereka terhadap orang yang membawakan khabar dari Nabi." (Aqidah Ahlussunnah Ashhabul Hadits, hal 299)

4. Amalannya Tertolak

Berdasarkan sabda Nabi,
"Barang siapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami (agama) ini, apa yang bukan dari bagiannya maka dia tertolak." Dan dalam riwayat yang lain disebutkan, "Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada dasar perintahnya dari kami maka dia tertolak." (Muttafaq 'alaih, hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)

5. Lebih Berbahaya Dibanding Maksiat

Syetan menjerumuskan manusia dengan banyak jalan yang jika diikuti akan berakibat fatal, dan jalan yang paling berbahaya adalah kesyirikan. Kalau seseorang terlepas dari syirik, maka tahapan selanjutnya syetan menjerumuskan melalui bid'ah. Ini menunjukkan bahwa bid'ah lebih berbahaya dibanding maksiat. (periksa Madarijus Salakin, Ibnul Qayyim 1/222).

Oleh karena itu Imam Sufyan ats-Tsauri berkata, "Bid'ah itu lebih disukai oleh iblis dibanding kemaksiatan, karena (biasanya) pelaku maksiat mau bertaubat, sedangkan pelaku bid'ah sulit untuk bertaubat." (Syarhus Sunnah, al-Baghawi, 1/216)

6. Ahli Bid'ah Pemahamannya Terbalik

Dia memandang kebaikan sebagai keburukan dan keburukan sebagai kebaikan, sunnah dibilang bid'ah dan bid'ah dikatakan sunnah. Dari Hudzaifah Ibnul Yaman dia berkata, "Demi Allah, sungguh bid'ah benar-benar akan menyebar meskipun hanya sedikit dari sunnah yang ditinggalkan." (dikeluarkan oleh Imam Ibnu Wadhdhah).

7. Persaksian dan Riwayat Ahli Bid'ah Tidak Diterima

Para ahli ilmu, ulama hadits, fuqaha dan ahli ushul sepakat bahwa pelaku bid'ah yang sampai tingkat kufur maka riwayatnya tidak diterima. Adapun jika kebid'ahannya tidak sampai pada tingkat kufur maka ada perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Imam an-Nawawi berpendapat bahwa jika dia bukan penyeru bid'ah, maka diterima riwayatnya sedangkan jika dia menyerukan kebid'ahannya, maka tidak diterima.

8. Terjerumus di dalam Fitnah

Allah telah berfirman, artinya,
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur :63)
Di dalam ayat di atas Allah menjelaskan bahwa menyelisihi Rasul akan menyebabkan manusia terjerumus di dalam fitnah atau adzab yang pedih. Orang yang melakukan bid'ah berarti telah menyelisihi Rasul dan bermaksiat kepada beliau.

9. Mubtadi' Telah Menambahi Syari'at

Karena seorang ahli bid'ah (mubtadi’) sama saja menyatakan dirinya sebagai pembuat syariat dan penyempurna agama. Padahal di dalam surat al-Maidah ayat 3 Allah telah menjelaskan bahwa agama Islam ini telah sempurna.

10. Memcampuradukkan yang Haq dengan yang Batil

11. Menanggung Dosa Pengikutnya

Di dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda,
"Barang siapa yang mengajak kepada petunjuk maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa mengajak kepada kesesatan maka dia mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun." (HR. Muslim, 4/2060 no.2674)

12. Mendatangkan Laknat

Di dalam sebuah hadits dari Anas Rasulullah bersabda tentang orang yang membuat-buat perkara baru di Madinah, "Barang siapa membuat perkara baru di sana atau melindungi seorang pembuat perkara baru, maka dia mendapatkan laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia. Allah tidak menerima darinya bayaran dan tebusan." (Muttafaq 'alaih)

13. Terhalang dari Telaga Nabi

Disebutkan di dalam beberapa riwayat yang shahih bahwa ummat Nabi akan melewati telaga beliau, siapa yang lewat akan meminum airnya, dan siapa yang telah meminum dari air telaga itu, maka dia tidak akan merasa haus selamanya. Dalam satu riwayat Rasulullah mengatakan,
"Sungguh akan mendatangiku suatu kaum yang aku mengenal mereka dan mereka mengenalku, namun kemudian terhalang antaraku dan antara mereka." Di dalam salah satu lafazh disebutkan, "Sesungguhnya mereka adalah golonganku." Maka dikatakan, "Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak tahu apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu." Maka aku (Rasulullah) berkata, "Celaka, celaka orang yang mengubah (agama) setelahku." (HR al-Bukhari)

14. Sedikit Berdzikir

Ahli bid'ah biasanya berdzikir dengan cara-cara yang tidak disunnah kan oleh Rasulullah. Mereka mengganti dzikir-dzikir yang warid dengan dzikir-dzikir yang bid'ah buatan mereka sendiri. Dengan demikian meskipun mereka mengucap kan lafal-lafal tertentu, namun sebenarnya mereka sedang berpaling dari dzikir yang sunnah. Maka amatlah sedikit ahli bid'ah yang berdzikir dengan sebenarnya.

15. Menyembunyikan yang Haq

Ahli bid'ah biasanya menyembunyi kan yang haq, dan tidak menyampaikan kepada para pengikutnya.

16. Memecah Belah Ummat

Ahli bid'ah adalah pemecah belah ummat, karena ketika seseorang membuat bid'ah dengan para pengikutnya, maka berarti dia telah membuat kelompok tersendiri. Maka akhirnya muncul berbagai aliran dan golongan yang beraneka ragam.

17. Boleh Disebut Keburukannya

Salah satu ghibah yang dibolehkan adalah menyebutkan keburukan ahli bid'ah yang terang-terangan dengan kebid'ahannya, dengan tujuan agar ummat berhati-hati terhadapnya.

Sumber: Nur as-Sunnah wa Zhulumat al-Bid’ah, hal 142-153, Dr. Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani. (AAT)
READ MORE - Bahaya Bid'ah

Senin, 25 Januari 2010

Hukum Bertawassul Dengan Para Wali & orang Shaleh


Muqaddimah
Pada prinsipnya bertawassul (berperantara) kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala merupakan salah satu bentuk ibadah termulia bagi seorang hamba untuk mendekatkan (bertaqarub) kepada-Nya, dan hal ini memang dianjurkan kepada kita, sebagaimana firman Nya: 

"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang dapat mendekatkan diri kepada Nya dan berjihadlah pada jalan Nya supaya kamu mendapat keberuntungan." (Q.S. Al Maidah : 35) 

Dalam ayat ini, Allah Ta'ala telah memberikan penjelasan, bahwa bertaqwa kepada Nya, mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihad di jalan-Nya, merupakan suatu cara dan jalan bagi seorang hamba untuk memperoleh kebahagiaan dan keberuntungan.

Definisi Tawassul

Secara bahasa, tawassul berarti menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk mencapai tujuan. (Mu'jamul alfaadzil 'Aqidah, hal.104).
Adapun menurut istilah syara' berarti seseorang mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala untuk tujuan tertentu dengan menjadikan suatu amal sebagai per-antara.(Mu'jamul alfaadzil 'Aqidah, hal.104, Muhtaarush Shihah, hal. 526)

Bentu-Bentuk Tawassul

Tawassul ada dua macam:
  • Tawassul yang disyari'atkan (diperbolehkan), yaitu tawassul untuk tujuan tertentu dengan perantara yang dibenarkan oleh syari'at Islam. Seperti bertawassul dengan nama-nama (asma') dan sifat Allah, bertawassul dengan amal shaleh kita yang telah kita lakukan serta dengan perantaraan do’a orang yang masih hidup.

    Selain tiga bentuk tawassul ini tidak- pernah ditetapkan dasar hukumnya dalam agama Islam, padahal segala bentuk ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah harus berdasarkan pada syari'at Allah Subhannahu wa Ta'ala yang di bawa oleh Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam . (Harus ada dalilnya).
  • Tawassul yang tidak disyari'atkan (tidak dibenarkan), yaitu bertawassul dengan perantara-perantara yang tidak ada dalil atau dasar hukumnya di dalam Islam.

Bertawassul dengan Nabi, Para Wali dan Shalihin.

Dari penjelasan di atas sebetulnya telah jelas bagi kita, bahwa bertawasul kepada para wali dan orang shalih khususnya kepada Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam setelah mereka wafat dengan cara mendatangi kubur mereka, mohon pertolongan mereka, bertawassul dengan menggunakan kemuliaan dan kedudukan mereka, memohon kepada mereka ketika turun bencana, memohon agar semua kebutuhannya terpenuhi, diselamatkan dari segala mara bahaya adalah merupakan bentuk penyimpangan terhadap sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. Itu semua merupakan bentuk perkara yang diada-adakan, dan sama sekali tidak memiliki dasar dan alasan yang kuat baik dari al-Qur'an mapun as-Sunnah (baca: haram).
Allah berfirman yang artinya: 

"Dan di antara manusia ada orang- orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka menyintainya sebagaimana mereka menyintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dzalim itu (syirik) mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada Hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaNya (niscaya mereka menye-sal)." (Q.S. Al-Baqarah:165).
 
Allah Subhannahu wa Ta'ala juga berfirman, yang artinya:
"Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya." (Q.S. Al-Isra’ : 56)

Mereka beranggapan bahwa mu'jizat (kejadian luar biasa yang terjadi pada para Nabi) dan karamah (kejadian luar biasa yang terjadi pada orang-orang shalih dengan tanpa direncanakan sebelumnya) akan terjadi pada setiap saat dan atas kesadarannya, sehingga para wali dan orang shalih memiliki kekuatan untuk melakukan perkara yang bersifat mu'jizat dan karomah pada waktu dan kondisi yang mereka kehendaki, kapan saja dapat diminta, bahkan setelah mereka meninggal.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman melarang kita untuk beribadah kepada selain Nya, yang artinya:
"Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi mudharat kepada-mu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang dzalim." (Q.S Yunus: 106)

Adapun dasar pijakan Ulama tentang tidak diperbolehkannya bertawassul (berperantara) dengan para wali dan shalihin (setelah mereka mening-gal) adalah sebagai berikut:
  • Secara logika, pada dasarnya seseorang yang telah meninggal dunia, maka dia tidak akan dapat berdo'a sebagaimana ketika dia hidup (amal sudah ditutup). Dan bagaimana mungkin seseorang yang tidak mempunyai kemampuan apa-apa ketika itu, lalu bisa membantu dan menolong orang lain yang masih hidup dalam hal-hal tertentu.
  • Pada asalnya setiap bentuk ibadah itu adalah haram untuk dila-kukan sebelum ada dalilnya dan sebelum ada dasar pijakan baik dari al-Qur'an maupun as-Sunnah(contoh dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ). Dan karena itulah setiap ibadah bersifat tauqifiyah (sesuai dengan perintah dan contoh dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ). Yang menjadi ukuran dalam hal ini bukanlah baik dan tidaknya, atau enak dan tidak enaknya menurut perasaan dan naluri kita. Lain halnya dengan urusan keduniaan yang pada dasarnya boleh untuk dilakukan, kecuali ada larangannya.
  • Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam tidak pernah memberikan contoh dalam masalah ini, padahal beliau adalah sosok suri tauladan yang patut kita ambil dan kita tiru dalam setiap hal. Begitu juga para shahabat, mereka tidak pernah melakukan seperti apa yang sering dilaku-kan oleh kebanyakan orang saat ini.
  • Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala , yang artinya,
    "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ke dalam Jahannam, itu seburuk-buruk tempat kembali." (Q.S an-Nisa' : 115 ) 

    Di dalam surat yang lain Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman yang artinya,
    "Dan Apa yang diberikan Rasul kepada-mu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkan-lah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya." (Q.S. al-Hasyr : 7)
  • Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam,
    "Barangsiapa melakukan suatu per-buatan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka ibadahnya itu tertolak" (H.R. Muslim) 

    Dan dalam riwayat yang lain Nabi Shalallaahu alaihi wasalam besabda :
    “Barangsiapa yang membuat-buat ibadah dalam ajaran kami (Islam) yang bukan merupakan bagian darinya, maka amalan itu tertolak.” (HR. Al-Bukhari) 

    Di hadits yang lain beliau bersabda:
    Artinya, "Jauhilah perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena setiap perkara baru adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah kesesatan ." (HR. Ahmad) Dalam riwayat An-Nasa’i terdapat tambahan, bahwa setiap kesesatan itu masuk neraka.
    Dan sabda beliau adalah bersifat umum dan menyeluruh.
  • Adapun atsar dari Umar bin Khaththab Radhiallaahu anhu yang mengabarkan beliau bertawasul kepada al-Abbas dan dijadikan dalil oleh sebagian orang yang melakukan amalan ini tidaklah tepat. Karena Umar ketika itu bertawassul lewat do'a al-Abbas dan bukan terhadap dirinya, sementara cara yang demikian dan dengan syarat orang yang ditawassuli (dijadikan perantara) masih hidup tidaklah dilarang dan bahkan termasuk yang disyari'atkan.
  • Dan alasan bahwa mereka memohon kepada Allah Ta'ala agar yang mereka minta terkabulkan dengan cara menggunakan kemulyaan para wali dan orang shalih, bukan menyembah kubur (menurut mereka), itu sama saja dengan yang dilakukan orang-orang musyrik jahiliyah yang beranggapan, bahwa beribadah tidaklah sama dengan berdo'a atau sebaliknya. Anggapan seperti itu tidaklah benar, karena me-minta berkah dari mayit pada dasarnya adalah berdo'a, sebagaimana orang jahiliyah pada saat itu berdo'a kepada berhala-berhala mereka. Dan tidak ada bedanya antara apa yang mereka lakukan dengan yang dilakukan orang zaman sekarang ini, di mana mereka menjadikan kubur para wali dan orang shalih sebagai tempat pengaduan.

    Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya,
    “Orang-orang musyik Jahiliyah mengatakan, "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (Q.S. az-Zumar: 3)


Dari penjelasan di atas, jelaslah bagi kita, bahwa bertawassul kepada Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam setelah beliau wafat, kepada para wali dan orang shalih setelah mereka wafat tidaklah pernah disyari'atkan dan tidak juga dianjurkan. Bahkan hal ini tidak diperbolehkan di dalam Islam, karena meskipun Rasu-lullah adalah orang paling mulia di sisi Allah, tetap saja itu bukan merupakan sebab syar`i untuk diterimanya do'a seseorang, apalagi orang selain Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. 

Kebanyakan orang melakukan hal itu karena dorongan rasa cinta dan hormat, namun cenderung berlebihan dan salah penerapannya. 


Khatimah


Akhirnya kami berpesan kepada mereka yang terjerat dalam perkara ini, walaupun mempunyai tujuan baik dan menghendaki kebaikan, apabila anda memang menghendaki kebaikan, maka tidak ada jalan yang lebih baik daripada jalan para generasi terdahulu, yaitu para shahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in, dan orang-orang yang senan-tiasa komitmen di jalan mereka. 

Dan sesungguhnya, anda akan mendapati kebanyakan orang yang suka mengerjakan perkara bid'ah merasa enggan dan malas untuk mengerjakan hal-hal yang sudah jelas diperintahkan dan disunnahkan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam. Itu semua merupakan dampak dari perbuatan tersebut terhadap hati seseorang. 

Semoga Allah memberikan kepada kita penunjuk jalan menuju petunjuk Nya dan pemimpin yang membawa kepada kebaikan, menerangi hati kita dengan iman dan ilmu, menjadikan ilmu yang kita miliki membawa berkah dan bukan bencana. Serta mudah-mudahan Allah membimbing kita kepada jalan para hambaNya yang beriman, menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertaqwa lagi beruntung. 

Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi kita, Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam, keluarga dan para shahabatnya serta orang-orang yang senantiasa mengikuti jalan beliau sampai Hari Kiamat. Wallahu a'lam bish shawab. 



Disusun dari berbagai sumber. 

( Ibnu Arba'in. ) ( 08-10-2003 )
READ MORE - Hukum Bertawassul Dengan Para Wali & orang Shaleh

Minggu, 24 Januari 2010

Tathayyur, kesialan Tak Beralasan


Arti Tathayyur

Tathayyur (baca; tatoyur yakni merasa sial ketika melihat jenis burung tertentu atau selainnya), sebagaimana dikatakan al Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berasal dari kata thiyarah atau tiirah akar kata (mashdar) dari kata tathayyara, sebagaimana kata takhayyara mashdarnya khiyarah.

Asal-usul Tathayyur

Asal usul tathayyaur (dalam kehidupan Arab), bahwa pada masa jahiliyah orang orang mengandalkan arah terbangnya burung. Jika salah seorang dari mereka akan keluar rumah untuk suatu urusan maka apabila melihat burung terbang ke arah kanan mereka merasa beruntung dan melanjutkan perjalanan. Jika melihat burung terbang ke arah kiri maka mereka beranggapan sial dan membatalkannya. Terkadang juga mereka sengaja melepaskan burung lalu di lihat ke mana arah terbangnya kemudian dari situ ia menentukan sikap.

Tathayyur dalam Lintasan Sejarah

Sejarah tathayyur sudah ada smenjak dahulu kala, sudah lama orang-orang mempunyai anggapan bahwa kesialan itu dapat disebabkan oleh adanya makhluk tertentu yang menurut mereka membawa sial.
Kaum Tsamud juga telah bertathayyur, mereka merasa sial dengan keberadaan Nabi Shalih di tengah-tengah mereka, sebagaimana firman Allah swt,

Mereka menjawab:"Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu".Shaleh berkata:"Nasibmu ada pada sisi Allah, (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi kamu kaum yang diuji". (QS. an-Naml: 47)
Demikian pula dengan Bani Israil, sebagaimana firman Allah dalam surat al A'raf 130-131.

Tathayyur terus berlanjut hingga pada masa Arab Jahiliyah dengan berbagai macam bentuknya. Diantara mereka ada yang beranggapan sial dengan adanya jenis burung tertentu, bagaimana cara terbangnya, atau dengan angin, bintang ataupun dengan suara orang serta binatang tertentu.
Setelah Nabi saw diutus dengan membawa wahyu maka beliau jelaskan bahwa kepercayaan tathayyur tersebut adalah batil. Rasulullah saw bersabda, artinya,

“Tidak ada thiyarah (sial karena burung) dan tidak ada kesialan (karena makhluk tertentu)."
Beliau menjelaskan bahwa kepercayaan semacam ini timbul hanya berdasarkan persangkaan orang-orang (sama sekali tidak mempunyai dasar yang masuk akal,red). Beliau ajarkan bahwa apa yang mereka peroleh atau apa yang menimpa mereka tidak lain karena (takdir) yang telah ditetapkan Allah untuknya.

Tathayyur di Masa Kini

Di masa kini pengaruh- pengaruh tathayyur masih begitu kental dan terasa, terbukti dengan semakin marak dan menjamurnya paranormal alias dajjal yang mengklaim mengetahui perkara ghaib. Diantara mereka ada yang meramal dengan bintang, membaca telapak tangan ataupun dengan cara lainnya yang pada dasarnya merupakan pelecehan terhadap keberadan akal manusia.

Tak ketinggalan negara- negara yang katanya disebut sebagai negara maju, modern atau negara industri, dimana mereka lebih menyandarkan kepada hal-hal yang bersifat materi dan logika (akal) ternyata masyarkatnya banyak yang lari kepada dukun dan tukang ramal, bahkan hal itu telah menjadi keyakinan yang menancap pada kebanyakan masyarakatnya.

Tak terhitung para petinggi dan pejabat pemerintahan yang datang menghadap "orang pinter" dan tukang ramal baik yang pria maupun wanita, baik ke tempat praktek mereka, ataupun dalam event dan acara-acara yang disiarkan oleh berbagai media. Dan terbukti bahwa mereka yang datang rata-rata terpengaruh dan membenarkan apa saja yang diucapkan oleh sang paranormal. Yang demikian ini juga terjadi di negara-negara Amerika dan Eropa.

Dalam hal ini ada sebuah berita yang dikeluarkan oleh sebuah kantor berita di London bahwa mantan presiden AS Ronald Reagen bukanlah merupakan satu-satunya orang yang mengangkat penasehat dari kalangan dukun dalam membantu mengurus negaranya. (Diterbitkan dalam koran al Qabas (Kuwait) edisi 22 Mei 1998, tentang dunia sihir dan paranormal oleh Dr Sulaiman al Asyqar)

Sementara di Perancis telah diadakan sensus bahwa lebih dari sepuluh juta penduduk Perancis mendatangi paranormal dan tukang ramal secara rutin. Fenomena ini menyebar pada seluruh strata dan kelompok masyarakat mulai dari para petinggi negara hingga tukang sampah. Salah satu hal yang menggiring itu adalah banyak perpustakaan yang dipenuhi dengan buku-buku ramalan bintang dalam setiap penghujung tahun, mereka ingin tahu berbagai peristiwa yang bakal terjadi pada tahun berikutnya.

Telah menjadi kebiasaan orang-orang Prancis pada tiap akhir tahun mereka menunggu terbitnya buku-buku yang memuat ramalan-ramalan tukang tenung, terutama seorang peramal wanita yang dikenal dengan Elizabet Teisyih, yang presiden Faranso Mitaran banyak bertanya kepadanya, meminta petunjuk terhadap permasalahan yang dihadapinya.(Koran asy Syarq al Ausath no 8003 Jum'at 30-7-1421 H)

Di beberapa negara maju marak juga model perdukunan yang disebut dengan melihat bola kristal. Dimana sang penyihir komat-kamit mulutnya seraya membaca mantera dihadapan bola itu, lalu mendengarkan apa yang dibisikkan oleh setan, setelah itu memberitahukan bisikan setan itu kepada orang lain (pasiennya).

Salah satu bukti yang menunjukkan mendunianya paranormal, khurafat dan keyakinan batil terutama di negara yang mengaku maju adalah apa yang terdapat dalam uang dolar Amerika bergambar mata, yang dimaksudkan untuk menolak mata yang dengki (ain). (lihat 'Alamus sihri wa asy syu'udzah hal 65, Dr Sulaiman al Asyqar)

Orang-orang barat juga punya keyakinan bahwa angka tertentu merupakan pembawa sial, jika memiliki angka itu maka mereka berasumsi bahwa sial bakal menimpa. Diantara angka "keramat" itu adalah angak tiga belas (13), sehingga salah satu maskapai penerbangan internasional mambuang angka tersebut dari tempat duduk di dalam pesawat.

Demikian juga penduduk New Zealand, mereka juga beranggapan sial dengan angka tiga belas sehingga mereka tidak menulisnya pada apa-apa yang mereka miliki. Dan dengan sebab tidak dipakainya angka tiga belas ini sering terjadi kesalahpahaman di dalam berbagai pelayanan umum sebagaimana diungkapkan oleh para wartawan mereka. (koran New Zealand Hirald edisi 12-10-1420 H/19-1-2000 M, disiarkan juga oleh kantor berita reuters dan diterbitkan dalam koran ar Riyadh Kamis 13/10/1420).

Setelah diperhatikan maka diketahui bahwa angka tiga belas ternyata merupakan angka keramat (angka apes dan sial) bagi paranormal dan tukang ramal, dan ini menunjukkan bahwa tathayyur memiliki kaitan yang sangat erat dengan dunia perdukunan.

Di Eropa, jumlah paranormal dan peramal mancapai jutaan baik yang pria maupun wanita. Di Paris, ibu kota Perancis ada lebih dari dua puluh lima ribu juru nujum pria dan wanita. (Majalah Express, Perancis). Disana juga diadakan kontes paranormal dan juru nujum dengan skala internaisonal, tentunya untuk apa lagi kalau bukan mencari pelanggan.

Dalam kaitan pergantian milenium baru (th 2000) lalu beberapa paranormal kesohor meramalkan bahwa tahun 2000 merupakan tahun kehancuran alam semesta, ada lagi paranormal yang mengatakan bahwa pada tahun itu matahari akan meledak dan itu tersebar melalui beberapa pemberitaan media di dunia. Maka banyak penduduk dunia yang begadang pada malam pertama tahun itu (pergantian tahun) seraya menahan nafas menunggu apa yang bakal terjadi dengan alam ini. Namun apa yang terjadi, semua hanya dusta belaka.

Ramalan semacam ini sebenarnya hanya mengadopsi dari paranormal di masa lalu. Pada tahun 999 terdapat ramalan yang menyebutkan bahwa tahun 1000 akan terjadi peristiwa demikian dan demikian. Maka akibat ramalan itu, penduduk Eropa berbondong-bondong keluar menuju Baitul Maqdis, dengan harapan agar akhir kehidupan mereka berada di tempat yang suci. (at Tanabbu' bil ghaib, Ahmad asy Syantanawi, terbitan Dar al Ma'arif Mesir)

Bentuk-bentuk Tathayyur

Hampir dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari masih kita dapati adanya unsur tathayyur, baik disadari atau tidak.Dan aspek yang terbesar adalah tathayyur dan anggapan sial dalam hal yang berkaitan dengan sakit, kematian serta penghasilan atau rejeki. Dan nyata sekali bahwa antara tathayyur dengan dunia paranormal dan perdukunan memilki kaitan sangat kuat yang saling mendukung satu dengan lainnya.

Ada diantara dukun itu yang meramal nasib dengan membaca telapak tangan. Ada pula bentuk ramalan dengan kartu, demikian juga yang banyak terpampang di halaman berbagai majalah atau koran berupa ramalam bintang (zodiak). Majalah dan koran semacam ini telah memberikan andil dalam penyebaran khurafat. Para artis dan penyayi pun tak ketinggalan sering mengungkapkan masalah masalah semisal, seperti dirinya berada dibawah naungan zodiak ini, sehingga dalam keseharian harus begini, pantangannya adalah ini dan itu.

Ada pula sebagian orang atau pengusaha yang apabila kedatangan tamu dengan ciri fisik tertentu maka dia merasa sial sehingga menutup toko atau kantornya takut rugi dan terkena musibah. Sebagian yang lain merasa sial dengan nomer atau angka tertentu seperti angka 13 atau angka 3 dan ada pula orang yang merasa sial apabila melihat cermin yang pecah.

Ada pula bentuk tathayyur yang merupakan warisan kaum Yahudi, yakni merasa sial apabila melihat wanita yang sedang dalam masa ‘iddah atau haidh. Ada juga sebagian masyarakat yang bertathayyur dengan burung gagak atau burung hantu (dan burung perkutut, red).
Tak ketinggalan orang rafidhah (syi'ah), mereka merasa sial dengan angka sepuluh. Menurut penjelasan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa orang syiah membenci angka sepuluh disebabkan kebencian mereka terhadap shahabat pilihan yaitu sepuluh shahabat yang dijamin masuk surga. (lihat Minhaj as Sunnah an Nabawiyah 1/38-39).

Walhasil masih banyak masyarakat di belahan bumi ini yang meyakini tathayyur, dan ini merupakan peluang emas bagi para dukun dan dajjal yang sering dianggap sebagai “orang pinter” untuk terus dan asyik menjalankan profesinya, “membodohi orang”. 
 
Islam telah mengingkari adanya tathayyur, dan jika dengan sebab tathayyur ini seorang muslim lantas medatangi dukun maka dia berhadapan dengan dua ancaman, tidak diterima shalatnya empat puluh hari atau yang lebih fatal lagi dicap kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad saw. Wallahu a’lam.

Diringkas dan disadur dengan bebas dari kitab “at-Tasya’um wa at-Tathayyur fi hayatin naas, Khalid bin Abdur Rahman asy-Syayi’
READ MORE - Tathayyur, kesialan Tak Beralasan

Sabtu, 23 Januari 2010

Sebab Munculnya Bid'ah


Kapan Bid'ah Muncul?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam Majmu' al-Fatawa 10/354, "Ketahuilah bahwa semua bid'ah yang berkaitan dengan keyakinan (i’tiqodiyah) dan amaliyah (ibadah praktis), terjadi pada ummat ini di masa akhir-akhir kepemimpinan Khulafa' ar-Rasyidin, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam "Barang siapa di antara kalian yang hidup (lama) maka dia akan melihat banyak pertentangan/ perselisihan, maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa' ar-Rasyidin yang mendapatkan hidayah." (HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi). Dan para shahabat telah menolak dan menentang para pelaku bid'ah ini. 

Tempat Munculnya Bid'ah

Ada perbedaan di beberapa negeri Islam berkaitan dengan awal mula munculnya bid'ah. Negeri-negeri besar yang dihuni oleh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan memancar darinya cahaya ilmu dan iman ada lima, yaitu: Mekkah, Madinah, Kufah, Bashrah dan Syam. Dari sanalah memancar cahaya al-Qur'an, hadits, fikih dan ibadah serta masalah-masalah keislaman yang lain. 

Akan tetapi muncul pula dari negeri-negeri tersebut -kecuali Madinah- berbagai bid'ah dalam masalah ushul (pokok) agama. Dan munculnya bid'ah itu dipengaruhi oleh jauh dekatnya suatu daerah dari Madinah. Kota Madinah sendiri selamat dari munculnya berbagai macam bid'ah ini, dan jika memang ada seseorang yang mengerjakannya, maka sungguh di mata penduduk Madinah mereka terhina dan tercela. 

Adapun pada masa tiga generasi terbaik pertama, maka pada saat itu di Madinah sama sekali tidak terdapat bid'ah yang dilakukan terang-terangan. Dan tidak pula ada bid'ah dalam masalah ushuluddin (dasar agama) sama sekali, sebagaimana yang terjadi di negeri-negeri Islam lainnya. 

Penyebab Munculnya Bid'ah

Tidak diragukan lagi bahwa dengan berpegang teguh kepada al-Qur'an dan as-Sunnah seseorang dapat selamat, tidak terjerumus ke dalam perbuatan bid'ah dan sesat. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, 
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS. 6:153) 

Firman Allah subhanahu wata’ala ini diperjelas lagi dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuat sebuah garis lurus kepada kami, lalu beliau bersabda, "Ini adalah jalan Allah.” Kemudian beliau membuat banyak garis di sebelah kanan dan sebelah kirinya, lalu bersabda, "Ini adalah jalan-jalan (lain) dan pada setiap jalan tersebut ada syaitan-syaitan yang mengajak orang kepadanya.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat surat al-An’am 153 (sebagaimana tersebut di atas). 

Oleh karena itu barang siapa yang berpaling dari al-Kitab dan as-Sunnah (jalan yang lurus) maka dia akan tertarik ke dalam berbagai jalan yang menyesatkan dan bid'ah-bid'ah yang diada-adakan. 

Sedangkan di antara penyebab yang mendorong munculnya bid'ah adalah sebagai berikut: 

1.Ketidaktahuan terhadap Hukum Agama

Setiap kali bertambah panjang perjalanan masa dan bertambah jauh manusia dari ajaran-ajaran Islam maka akan bertambah sedikitlah ilmu dan semakin meluas kebodohan.Hal ini seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam sabdanya, 
"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu itu dengan cara mencabutnya sekaligus dari hamba-hamba-Nya, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama. Sehingga bila tidak tersisa seorang alim pun maka manusia akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, lalu para pemimpin bodoh itu ditanya, kemudian mereka menjawab (berfatwa) dengan tanpa didasari ilmu pengetahuan, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan." 

Maka tidak ada yang dapat memberantas kebid'ahan selain ilmu dan para ulama.Bila ilmu dan ulama tidak ada, maka akan timbul dan merebaklah berbagai macam bid'ah dan semakin bertambah giat pula para pelakunya (karena mereka menyangka kebid'ahan itu bagian dari agama, red) 

2.Mengikuti Hawa Nafsu

Barang siapa yang berpaling dari al-Qur'an dan as-Sunnah maka berarti dia telah mengikuti hawa nafsu. Allah subhanahu wata’ala berfirman,artinya, 
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu, ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. 28:50) 

Di dalam ayat yang lain disebutkan, artinya, 
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah(membiarkannya sesat. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” (QS. 45:23) 

Dan berbagai bentuk perbuatan bid'ah itu tidak lain adalah merupakan hasil dari hawa nafsu yang diikuti. 

3.Fanatisme

Yaitu sikap fanatik dan melampaui batas terhadap pendapat atau tokoh tertentu. Fanatisme ini dapat menghalangi seseorang dari mengikuti dalil dan mengetahui kebenaran. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, 
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:"Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah". Mereka menjawab, "(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk". (QS. 2:170) 

Begitulah sikap orang-orang yang fanatik terhadap pendapat atau orang tertentu baik di masa lalu maupun sekarang ini, dari sebagian pengikut aliran-aliran sufi dan orang orang quburiyyin (orang yang meminta atau bertawassul kepada kubur). Apabila mereka diajak untuk mengikuti al-Qur'an dan as-Sunnah dan meninggal kan apa yang mereka kerjakan yang bertentangan dengan keduanya mereka mengeluarkan hujjah dengan pendapat (madzhab) mereka dan dengan pendapat guru-guru, orang tua dan nenek moyang mereka, walaupun bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah. 

4.Meniru Orang Kafir

Sikap meniru-niru orang kafir termasuk hal yang paling banyak menjerumuskan seseorang ke dalam perbuatan bid'ah, sebagimana disinyalir di dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Abu Waqid al Laitsi radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, 
"Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke perang Hunain, saat itu kami baru saja lepas dari kekafiran (baru masuk Islam). Orang-orang musyrik kala itu mempunyai pohon bidara yang mereka sering menetap berdiam di sisi pohon itu serta menggantungkan senjata-senjata mereka pada pohon itu. Pohon tersebut dikenal dengan nama "dzatul anwath" (tempat menggantungkan). Maka tatkala kami melewati sebuah pohon bidara, kami berkata, "Wahai Rasulullah jadikanlah buat kami pohon ini sebagai dzatul anwath sebagaimana mereka (orang-orang musyrik) juga mempunyai dzatul anwath. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Allahu Akbar, demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian telah mengatakan seperti yang telah dikatakan Bani Israil kepada Musa, "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)". Musa menjawab, "Sesungguh nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Ilah)". (QS. 7:138), Sungguh kalian akan meniru cara-cara kaum sebelum kalian." (HR at-Tirmidzi) 

Di dalam hadits ini dijelaskan bahwa meniru-niru orang kafir adalah merupakan salah satu hal yang mendorong kaum bani Israil untuk meminta permintaan yang jelek, yaitu menuntut Nabi Musa agar membuatkan bagi mereka tuhan-tuhan berhala yang dapat mereka sembah. 

Dan sikap meniru ini pulalah yang telah mendorong para shahabat meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjadikan bagi mereka sebuah pohon yang dapat diminta berkahnya dari selain Allah subhanahu wata’ala. Dan itu pulalah yang terjadi sekarang ini, dimana sebagian kaum muslimin senang meniru-niru kaum kufar dalam praktek-praktek bid'ah dan kesyirikan. 

Demikian di antara penyebab bid'ah yang disampaiakn oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, kami kutip dari Muqarrar Kitab Tauhid jilid 3 untuk tingkat ‘Ali (Madrasah Aliyah). 

Dan selain dari sebab-sebab di atas masih ada lagi penyebab yang dapat memicu munculnya bid'ah yaitu, menolak bid'ah dengan bid'ah yang serupa atau lebih parah. Sebagaimana sikap orang Murji'ah terhadap Khawarij. Tatkala mereka dimintai sikap terhadap Khawarij yang mengafir kan Ali radhiyallahu ‘anhumereka mengatakan, "Kita tidak bisa menghukumi mereka, kita serahkan ini kepada Allah." Hingga pada sebuah kesimpulan bahwa kemaksiatan apa pun bentuknya tidak ada pengaruhnya terhadap iman seseorang (sekalipun merupakan pembatal keimanan), sebagaimana ketaatan tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap orang kafir (tidak menjadikan mereka mukmin). Ini bertentangan dengan kaum Khawarij yang mengafirkan pelaku dosa besar. 

Menyikapi dua kelompok ini mucul lagi bid'ah model lain yakni Mu'tazilah, yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar tidak disebut kafir dan tidak pula mukmin. Mereka membuat istilah baru yang namanya manzilah baina manzilatain (sebuah kedudukan di antara dua kedudukan). Mereka semua saling menolak bid'ah dengan bid'ah pula. 

Dalam masalah asma' dan sifat Allah juga demikian, ada kelompok Jahmiyah yang menolak-sifat-sifat Allah karena menurut mereka Allah tidak layak mempunyai sifat-sifat, yang berarti sama dengan makhluk-Nya. lalu muncul kelompok lain yang menolak nya dengan menetapkan sifat Allah secara keterlaluan hingga terjerumus ke dalam tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan makhluk). 

Demikian juga kelompok Jabariyah ketika menolak aliran Qadariyah dalam masalah takdir, sehingga kedua-duanya sama-sama terjebak di dalam bid'ah. Kelompok Jabariyah mengatakan bahwa manusia sama sekali tidak punya kehendak dan kemampuan apa-apa, ibarat wayang yang digerakkan oleh dalang. Sementara aliran Qadariyah berpendapat bahwa Allah subhanahu wata’ala tidak ikut andil dalam perbuatan manusia, semua atas kehendak manusia sendiri tanpa ada campur tangan Allah subhanahu wata’ala sama sekali. 

Semoga Allah subhanahu wata’ala menjaga umat Islam dari berbagai bid’ah, baik dalam pemikiran maupun dalam ibadah dan amalan. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabat dan pengikutnya yang selalu berpegang dengan sunnahnya. Amin 

Sumber: “Kitab at-Tauhid lish-Shaf ats-Tsalits al-‘Ali,” Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, edisi Indonesia.
READ MORE - Sebab Munculnya Bid'ah