Minggu, 28 Februari 2010

Nuzulul Qur'an Sebagai Peringatan Atau Pelajaran


Pada bulan Ramadhan banyak umat Islam yang menggelar acara peringatan Nuzulul Qur'an. Untuk itu perlu kiranya kali ini menyoroti masalah Nuzulul Qur'an, hukum memperingatinya dan fungsi utama diturunkannya Al-Qur'an.

Syekh Shofiyur Rohman Al-Mubarakfuriy (penulis sirah nabawiyah) menyatakan bahwa para ahli sejarah banyak berbeda pendapat tentang kapan waktu pertama kali diturunkannya Al-Qur'an, pada bulan apa dan tanggal berapa, paling tidak ada tiga pendapat :

Pertama : Pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur'an itu ada pada bulan Rabiul Awwal,

Kedua : Pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur'an itu pada bulan Rajab,

Ketiga : Pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur'an itu pada bulan Ramadhan.

Yang berpendapat pada bulan Rabiul Awwal pecah menjadi tiga, ada yang mengatakan awal Rabiul Awwal, ada yang mengatakan tanggal 8 Rabiul Awwal dan ada pula yang mengatakan tanggal 18 Rabiul Awwal (yang terakhir ini diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallaahu anhu).

Kemudian yang berpendapat pada bulan Rajab terpecah menjadi dua. Ada yang mengatakan tanggal 17 dan ada yang mengatakan tanggal 27 Rajab (hal ini diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu-lihat Mukhtashar Siratir Rasul, Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdy, hal. 75-).
Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani di dalam Fathul Bari berkata bahwa: Imam Al-Baihaqi telah mengisahkan bahwa masa wahyu mimpi adalah 6 (enam) bulan.

Maka berdasarkan kisah ini permulaan kenabian dimulai dengan mimpi shalihah (yang benar) yang terjadi pada bulan kelahirannya yaitu bulan Rabiul Awwal ketika usia beliau genap 40 tahun. Kemudian permulaan wahyu yaqzhah (dalam keadaan terjaga) dimulai pada bulan Ramadhan.

Sesungguhnya kita menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur'an ada pada bulan Ramadhan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an" (Al-Baqarah: 185).
Dan Allah berfirman, artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan" (Al-Qadr :1).

Seperti yang telah kita maklumi bahwa Lailatul Qadr itu ada pada bulan Ramadhan yaitu malam yang dimaksudkan dalam firman Allah yang artinya: "Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan" (Ad-Dukhaan: 3).

Dan karena menyepinya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam di gua Hira' adalah pada bulan Ramadhan, dan kejadian turunnya Jibril as adalah di dalam gua Hira'.
Jadi Nuzulul Qur'an ada pada bulan Ramadhan, pada hari Senin, sebab semua ahli sejarah atau sebagian besar mereka sepakat bahwa diutusnya beliau menjadi Nabi adalah pada hari Senin. Hal ini sangat kuat karena Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ketika ditanya tentang puasa Senin beliau menjawab: "Di dalamya aku dilahirkan dan di dalamnya diturunkan (wahyu) atasku" (HR. Muslim).

Dalam sebuah lafadz dikatakan: "Itu adalah hari dimana aku dilahirkan dan hari dimana aku diutus atau diturunkan (wahyu) atasku" (HR. Muslim, Ahmad, Baihaqi dan Al-Hakim).

Akan tetapi pendapat ketiga inipun pecah menjadi lima, ada yang mengatakan tanggal 7 (hari Senin), ada yang mengatakan tanggal 14 (hari Senin), ada yang mengatakan tanggal 17 (hari Kamis), ada yang mengatakan tanggal 21 (hari Senin) dan ada yang mengtakan tanggal 24 (hari Kamis). Pendapat "17 Ramadhan" diriwayatkan dari sahabat Al-Bara' bin Azib dan dipilih oleh Ibnu Ishaq, kemudian oleh Ustadz Muhammad Huzhari Bik. Pendapat "21 Ramadhan" dipilih oleh Syekh Al-Mubarakfuriy, karena Lailatul Qadr ada pada malam ganjil, sedangkan hari Senin pada tahun itu adalah tanggal 7, 14, 21 dan 28. Sedangkan pendapat "24 Ramadhan" diriwayatkan dari Aisyah, Jabir dan Watsilah bin Asqo' , dan dipilih oleh Ibnu Hajar Al-Haitamiy, ia mengatakan: "Ini sangat kuat dari segi riwayat".

Karena itu memperingati peristiwa turunnya Al-Qur'an pertama kali tidaklah penting, sebab di samping hal itu tidak dicontohkan oleh Rasulullah, para sahabatnya dan para tabi'in, Al-Qur'an diturunkan tidaklah untuk diperingati tetapi untuk memperingatkan kita.
Peristiwa Nuzulul Qur'an bukanlah diharapkan agar dijadikan sebagai hari raya oleh umat ini, yang dirayakan setiap tahun, karena Islam bukanlah agama perayaan sebagaimana halnya agama-agama lain."

Islam tidak memerlukan polesan, tidak perlu dibungkus dengan perayaan-perayaan yang membuat orang-orang tertarik kepadanya. Karena itu pesta hari raya tahunan di dalam Islam hanya ada dua yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

Jadi turunnya Al-Qur'an bukan untuk diperingati setiap tahunnya, melainkan untuk memperingatkan kita setiap saat. Allah Subhanahu wa Ta'ala menegaskan, artinya: "Alif Lam Mim Shaad. Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir) dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman" (Al-A'raaf: 1-2).

Bukan Cara Salafus Shalih

Memperingati peristiwa turunnya Al-Qur'an bukanlah cara orang-orang shaleh yang muttaqin. Akan tetapi jejak ulama-ulama salaf adalah membaca Al-Qur'an, membaca dan membaca lagi. Allah ¥ berfirman, artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi" (Faathir: 29).

Apalagi di bulan Ramadhan, bulan Al-Qur'an ini, Umar radhiallaahu anhu berkata: "Seandainya kita bersih, tentu akan merasa kenyang dari kalam Allah. Sesungguhnya aku amat tidak suka manakala datang sebuah hari sementara aku tidak membaca Al-Qur'an. Karena itu beliau tidak meninggal dunia sehingga mushafnya sobek karena seringnya dibaca. Dan ketika menjadi imam pada shalat shubuh beliau sering membaca surat Yusuf yang terdiri dari 111 ayat tertulis dalam 13 halaman, yang berarti satu sepertiga juz.

Hal ini tidak mengherankan karena khalifah kedua Umar bin Khatthab radhiallaahu anhu ketika memimpin shalat shubuh juga selalu membaca surat-surat yang bilangan ayatnya lebih dari 100 ayat seperti surat Al Kahfi (11 halaman), surat Maryam (7 halaman) dan surat Thaha (10 halaman).

Begitulah generasi Qur'ani sangat mencintai Al-Qur'an. Mereka tidak pernah merayakan peristiwa Nuzulul Qur'an tetapi shalatnya membaca ratusan ayat, sementara kita sebaliknya.

Shalat tarawih di jaman salaf rata-rata membutuh-kan waktu 5 jam, dan kadang-kadang semalam suntuk, yang berarti setiap satu rakaat tarawih (dari sebelas rakaat) membutuhkan waktu 40 menit. Bahkan para sahabat banyak yang shalat sambil bersandar dengan tongkat karena terlalu lamanya berdiri.

Mengkhususkan Membaca Al-Qur'an

Para tabi'in dan tabi'ittabi'in, karena begitu memahami arti dari Ramadhan, bulan Al-Qur'an, dan begitu kuatnya dalam mencintai Al-Qur'an, maka bila bulan Ramadhan tiba mereka mengkhususkan diri untuk membaca Al-Qur'an seperti yang dilakukan oleh Imam Az-Zuhri dan Sufyan Ats-Tsauri. Sehingga dalam satu bulan khatam Al-Qur'an berpuluh puluh kali. Imam Qatadah umpamanya, di luar Ramadhan khatam setiap tujuh hari, di dalam Ramadhan khatam setiap tiga hari, dan di sepuluh hari terakhir khatam setiap hari. Sementara Imam Syafi'i di luar Ramadhan setiap hari khatam sekali, dan di dalam Ramadhan setiap hari khatam dua kali. Itu semua di luar shalat.

Begitulah ulama Ahlus Sunah tidak pernah merayakan Nuzulul Qur'an, namun setiap hari khatam Al-Qur'an, ada yang sekali dan ada yang dua kali. Sementara kita sebulan Ramadhan jika khatam sekali saja maka sudah puas dan gembira. Itupun bisa dihitung dengan jari.

Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah selama di dalam penjara, dari tanggal 7 Sya'ban 726 H sampai wafatnya 22 Dzulqa'dah 728 H, selama 2 tahun 4 bulan beliau telah mengkhatamkan Al-Qur'an bersama saudaranya Syeikh Zainuddin Ibnu Taimiyah sebanyak 80 kali khatam, yang berarti rata-rata setiap 10 hari khatam satu kali. Semoga Allah merahmati kita bersama mereka dan semoga kita bisa meneladani Rasulullah n, dan para sahabatnya, dan para ulama salaf dalam mencintai Al-Qur'an dan di dalam tata cara ibadah lainnya. Amin. (Abu Hamzah As-Sanuwi)
READ MORE - Nuzulul Qur'an Sebagai Peringatan Atau Pelajaran

Sabtu, 27 Februari 2010

Kita Dan Al Qur'an


AL-QUR’AN BERBICARA TENTANG AL-QUR’AN

1. Al-Qur’an Merupakan Obat dan Rahmat

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (QS. 17:82)

2. Al-Qur’an adalah Petunjuk dan Cahaya.

“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”. (QS. 5:16)

3. Al-Qur’an Merupakan Kabar Gembira bagi Orang-Orang Beriman, bahwa Mereka Memperoleh Pahala yang Besar.

“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”. (QS. 17:9)

4. Al-Qur’an Merupakan Hikmah yang Amat Agung.

“Demikianlah (kisah ‘Isa), Kami membacakannya kepada kamu sebagian dari bukti-bukti (kerasulannya) dan (membacakan) Al-Qur’an yang penuh hikmah”. (QS. 3:58)

5. Al-Qur’an Merupakan Peringatan dan Pelajaran.

“Maka beri peringatanlah dengan Al-Qur’an orang yang takut kepada anca-man-Ku”. (QS. 50:45)
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. 10:57)

6. Al-Qur’an adalah Ruh dan Kehidupan

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh/wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami”.

7. Al-Qur’an Merupakan Samudra Ilmu Pengetahuan dan Penjelasan

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Rabblah mereka dihimpunkan”. (QS. 6:38)

"Dan sesungguhnya Kami telah meng-ulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur’an ini bermacam-macam perumpa-maan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (QS. 18:54)
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. 16:89)

8. Allah Telah Bersumpah dengan Al-Qur’an dan Menyifatinya dengan Kemuliaan.

“Qaaf Demi Al-Qur’an yang sangat mulia”. (QS. 50:1)
Selanjutnya Allah memerintahkan hambaNya untuk mempelajari Al-Qur’an, dan Dia menyifati orang yang tidak mau mempelajari Al-Qur’an sebagai orang yang gelap hatinya dan buta nuraninya.
“Maka apakah mereka tidak memper-hatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci” (QS. 47:24)
Apa yang telah disebutkan di atas merupakan penjelasan tentang betapa agung dan mulianya keberadaan Al-Qur’an, serta besarnya keutamaan orang yang menaruh perhatian terha-dapnya, baik itu dengan membaca, menghafal, mempelajari, memahami serta mengamalkan serta mengajar-kannya.

Keutamaan Mempelajari Al-Qur’an dan Mengajarkannya

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman,
“Berkatalah orang-orang kafir, “Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasul”. Katakanlah, “Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu dan antara orang yang mempunyai ilmu Al-Kitab”. (QS. 13:43)
Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda,
“Orang terbaik di antara kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.”(HR. Al-Bukhari)

Keutamaan Membaca Al-Qur’an

"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi," (QS. 35:29)
Nabi telah bersabda,
“Bacalah oleh kalian Al-Qur’an, sesung-guhnya ia akan datang pada Hari Kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi yang membacanya.” (HR. Muslim)
Dan sabdanya yang lain,
“Orang yang mahir membaca Al-Qur’an, maka dia bersama para malaikat yang mulia dan baik-baik dan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata serta ia mengalami kesulitan, maka baginya dua pahala.” (Muttafaq ‘alaih)

Tentang pahala kebaikan yang diberikan kepada orang yang membaca Al-Qur’an, Nabi juga telah menjelaskan dengan sabdanya,
[ii]“Barang siapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka ia mendapatkan satu kebaikan, dan satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh kali lipat. Tidaklah aku mengatakan bahwa alif laam miim satu huruf, tetapi alif satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf.” (HR.At-Tirmidzi ia mangatakan, “Hasan shahih”)

Beliau juga bersabda tentang orang yang tidak pernah membaca Al-Qur’an,
“Sesungguhnya orang yang di dalam hatinya tidak terdapat sesuatu dari Al-Qur’an, ibarat rumah kosong dan rusak.” (HR. At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hasan Shahih”)

Adab-Adab Membaca Al-Qur’an
  • Mengikhlaskan niat dalam membaca Al-Qur’an semata-mata karena Allah, sebagaimana juga yang dituntut dalam ibadah-ibadah yang lain.
  • Bersuci dan bersiwak sebelum membaca Al-Qur’an.
  • Jangan membaca Al-Qur’an di tempat-tempat kotor, seperti kamar mandi/tempat wudhu dan jangan membacanya dalam keadaan junub.
  • Berlindung kepada Allah dari syetan ketika memulai membaca-nya yaitu mengucap ta’awudz atau isti’adzah.
  • Membaca basmallah pada setiap permulaan surat, kecuali surat At-Taubah.
  • Membaguskan bacaan Al-Qur’an sesuai kemampuan, juga hendak-nya membaca dengan memelas, khusyu’ dan disertai tangisan.
  • Bersujud ketika melewati ayat-ayat Sajadah.
  • Menghentikan bacaan ketika ke luar angin, menguap dan merasa ngantuk.
  • Membaca Al-Qur’an dengan tartil dengan memperhatikan hukum-hukum dalam ilmu tajwid.
  • Membaca Al-Qur’an dengan niat untuk mengamalkannya dan meng-gambarkan seolah-olah Allah sedang berfirman dengan bacaan tersebut.
  • Disunnahkan bagi yang membaca Al-Qur’an, ketika melewati ayat-ayat tentang rahmat supaya memohonnya kepada Allah, dan berlindung kepada-Nya tatkala melewati ayat-ayat adzab.
Sikap Muslim terhadap Al-Qur’an

Apabila kita mau memperhatikan keadaan kita saat ini, maka akan di dapati bahwa masih banyak di antara kita yang amat jauh dari Al-Qur’an, bahkan ada yang begitu amat jauh dari petunjuk dan pengajaran yang ada di dalamnya.

Masih amat banyak di antara mereka yang tidak mau membaca Al-Qur’an seluruhnya, sebagian lagi ada yang membacanya hanya ketika waktu shalat saja, ada pula yang membacanya hanya ketika dalam kondisi kepepet atau kesulitan. Tak jarang pula di anta-ranya ada yang membaca, namun tidak mau mentadaburi dan memperhatikan isinya, atau membacanya tapi tidak mau mangamalkannya.

Bahkan yang paling parah adalah ada di antaranya yang mendustakan sebagian ayat-ayatnya dan selalu mempermasalahkannya. Ia katakan bahwa ayat-ayat tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kehidupan masa kini, ketinggalan zaman dan tidak cocok untuk diterapkan. Tidak diragukan lagi bahwa sikap semacam ini adalah kekufuran yang nyata, dan bukan merupakan jalannya orang-orang Mukmin.

Ada beberapa bentuk sikap menjauhi Al-Qur’an, di antaranya sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnul Qayim adalah sebagai berikut:
  • Tidak mau mendengarkan, meng-imani dan perhatian terhadapnya.
  • Tidak mau mengamalkannya, dan tidak menerima apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan, meskipun ia membaca dan percaya kepada-nya.
  • Tidak mau berhukum dan memu-tuskan perkara dengannya, baik dalam masalah ushul (pokok) agama maupun cabang-cabangnya.
  • Tidak mau mentadaburi, memahami serta mempelajari apa yang dike-hendaki oleh Allah dalam firman tersebut.
  • Tidak mau mempergunakannya sebagai penyembuh dan obat bagi berbagi penyakit hati.
    Keseluruhan yang telah tersebut di atas, masuk pada kategori firman Allah,
    “Berkatalah Rasul, “Ya Rabbku, sesung-guhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini sesuatu yang tidak diacuh-kan”. (QS. 25:30)
Dan bentuk-bentuk hajr (ketidakpe-dulian) tersebut antara satu dengan yang lain berbeda-beda tingkatannya.

Demikian semoga Allah memasukkan kita semua sebagai ahli Al-Qur’an, orang suka membacanya, mendengar-kan dan mentadaburinya untuk kemu-dian mengamalkannya, amin ya Rabbal ‘alamain.

Sumber : Buletin, “Haluna Ma’al Qur’an, Al-Qism, Al-Ilmi Darul Wathan.
Abu Abdillah Tata)


Netter Muslim yang dimuliakan Allah.
Setiap muslim berkewajiban untuk berdakwah sesuai dengan kemampuannya. Kesempatan kita saat ini untuk turut berdakwah adalah menyampaikan Buletin ini kepada rekan, keluarga dan saudara kita yang belum mengetahuinya. 
READ MORE - Kita Dan Al Qur'an

Jumat, 26 Februari 2010

Adab Terhadab Al-Quran


Setiap muslim harus meyakini kesucian Kalam Allah, keagungannya, dan keutamaannya di atas seluruh kalam (ucapan). Al-Qur'anul Karim itu Kalam Allah yang di dalamnya tidak ada kebatilan. Al-Qur'an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Allah Ta'ala.

Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur'an. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkan-nya." (HR. Bukhari).

Dalam riwayat Imam Muslim dijelaskan: "Bacalah Al-Qur'an, sesungguhnya Al-Qur'an itu akan menjadi syafa'at di hari Qiyamat bagi yang membacanya (ahlinya)." (HR. Muslim).

Wajib bagi kita menghalalkan apa yang dihalalkan Al-Qur'an dan meng-haramkan apa yang diharamkannya. Diwajibkan pula beradab dengannya dan berakhlaq terhadapnya. Di saat membaca Al-Qur'an seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur'an:
  • Agar membacanya dalam keadaan yang sempurna, suci dari najis, dan dengan duduk yang sopan dan tenang. Dalam membaca Al-Qur'an dianjurkan dalam keadaan suci. Namun apabila dia membaca dalam keadaan najis, diperbolehkan dengan Ijma' umat Islam. Imam Haromain berkata; orang yang membaca Al-Qur'an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama. (At-Tibyan, hal.58-59). 

  • Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 
    "Siapa saja yang membaca Al-Qur'an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami" (HR. Ahmad dan para penyusun Kitab-Kitab Sunan). 
    Dan sebagian kelompok dari generasi pertama membenci pengkhataman Al-Qur'an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rasulullah telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatamkan Al-Qur'an setiap satu minggu (7 hari). (Muttafaq Alaih). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas'ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit , mereka mengkhatamkan Al-Qur'an sekali dalam seminggu. 

  • Membaca Al-Qur'an dengan khusyu'. Dengan memeperlihatkan duka cita atau menangis, karena sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan. Rasulullah n bersabda: 
    "Bacalah Al-Qur'an dan menangislah, apabila kamu tidak menangis maka usahakan seakan-akan menangis (karena ayat yang engkau baca). (HR. Al-Bazzar). 
    Di dalam sebuah ayat Al-Qur'an, Allah Ta'ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hambaNya yang shalih: 
    " Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu' (Al-Isra': 109). 

  • Agar membaguskan suara di dalam membacanya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : 
    "Hiasilah Al-Qur'an dengan suaramu" (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). 
    Di dalam hadits lain dijelaskan: 
    "Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur'an" (HR. Al-Bukhari dan Muslim). 
    Maksud hadits di atas, membaca Al-Qur'an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah Tajwid. 

  • Membaca Al-Qur'an dimulai dengan Isti'adzah. 
    Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 
    "Dan bila kamu akan membaca Al-Qur'an, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk" (An-Nahl: 98). 
    Apabila ayat yang dibaca dimulai adri awal surat, setelah isti'adzah terus membaca Basmalah, dan apabila tidak di awal surat cukup membaca isti'adzah. Khusus surat At-Taubah walaupun dibaca mulai awal surat tidak usah membaca Basmalah, cukup dengan membaca isti'adzah saja. 

  • Membaca Al-Qur'an dengan berusaha mengetahui artinya dan memahami inti dari ayat yang dibaca dengan beberapa kandungan ilmu yang ada di dalamnya. Firman Allah Ta'ala: 
    "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an, ataukah hati mereka terkunci? (Muhammad: 24). 

  • Membaca Al-Qur'an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih atau dalam hati secara khusyu'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 
    "Orang yang terang-terangan (di tempat orang banyak) membaca Al-Qur'an, sama dengan orang yang terang-terangan dalam shadaqah" (HR. Tirmidzi, Nasa'i, dan Ahmad). 
    Dalam hadits lain dijelaskan: 
    "Ingatlah bahwasanya setiap hari dari kamu munajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh mengangkat suara atas yang lain di dalam membaca (Al-Qur'an)" (HR. Abu Dawud, Nasa'i, Baihaqi dan Hakim), ini hadits shahih dengan syarat Shaikhani (Bukhari-Muslim). 
    Jadi jangan sampai ibadah yang kita lakukan tersebut sia-sia karena kita tidak mengindahkan sunnah Rasulullah dalam melaksanakan ibadah membaca Al-Qur'an. Misalnya, dengan suara yang keras pada larut malam, yang akhirnya mengganggu orang yang istirahat dan orang yang shalat malam. 

  • Dengarkan bacaan Al-Qur'an 
    Jika ada yang membaca Al-Qur'an, maka dengarkanlah bacaannya itu dengan tenang, Allah Ta'ala berfirman: 
    "Dan tatkala dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah, semoga kamu diberi rahmat" (Al-A'raaf: 204). 

  • Membaca Al-Qur'an dengan saling bergantian. 
    Apabila ada yang membaca Al-Qur'an, boleh dilakukan membacanya itu secara bergantian, dan yang mendengarkannya harus dengan khusyu' dan tenang. Rasulullah n bersabda: 
    "Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam rumah-rumah Allah, mereka membaca Al-Qur'an dan saling mempelajarinya kecuali akan turun atas mereka ketenangan, dan mereka diliputi oleh rahmat (Allah), para malaikat menyertai mereka, dan Allah membang-ga-banggakan mereka di kalangan (malaikat) yang ada di sisiNya." (HR. Abu Dawud). 

  • Berdo'a setelah membaca Al-Qur'an. Dalam sebuah riwayat dijelas-kan, bahwa para sahabat apabila setelah khatam membaca Al-Qur'an, mereka berkumpul untuk berdo'a dan mengucapkan: 'Semoga rahmat turun atas selesainya membaca Al-Qur'an'. Dan sebuah hadits dijelaskan, diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallah 'anhu bahwasanya apabila ia telah khatam membaca Al-Qur'an, ia mengumpulkan keluarganya dan berdo'a. (HR Abu Dawud).

Setiap orang Islam wajib mengatur hidupnya sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan harus dipelihara kesucian dan kemuliaannya, serta dipelajari ayat-ayatnya, dipahami dan dilaksanakan sebagai konsekuensi kita beriman ke-pada Al-Qur'an. (Abu Habiburrahman) 

Sumber: 
Kitab Minhajul Muslim 
Fiqih Sunnah 
At-Tibyan Fi Adaabi Hamlatil Qur'an 

READ MORE - Adab Terhadab Al-Quran

Kamis, 25 Februari 2010

Cara Memahami Nash Al Qur'an


1. Memahami Ayat dengan Ayat

Menafsirkan satu ayat Qur'an dengan ayat Qur'an yang lain, adalah jenis penafsiran yang paling tinggi. Karena ada sebagian ayat Qur'an itu yang menafsirkan (baca, menerangkan) makna ayat-ayat yang lain. Contohnya ayat, yang artinya: "Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah merasa cemas dan tidak pula merasa bersedih hati." (Yunus : 62)
Lafadz auliya' (wali-wali), diterangkan/ditafsirkan dengan ayat berikutnya yang artinya : "Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa." (Yunus : 63)

Berdasarkan ayat di atas maka setiap orang yang benar-benar mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka mereka itu adalah para wali Allah. Tafsiran ini sekaligus sebagai bantahan orang-orang yang mempunyai anggapan, bahwa wali itu ialah orang yang mengetahui perkara-perkara yang gaib, memiliki kesaktian, di atas kuburnya terdapat bangunan kubah yang megah, atau keyakinan-keyakinan batil yang lain. Dalam hal ini, karamah bukan sebagai syarat untuk membuktikan orang itu wali atau bukan. Karena karamah itu bisa saja tampak bisa pula tidak.

Adapun hal-hal aneh yang ada pada diri sebagian orang-orang sufi dan orang-orang ahli bid'ah, adalah sihir, seperti yang sering terjadi pula pada orang-orang majusi di India dan lain sebagainya. Itu sama sekali bukan karamah, tetapi sihir seperti yang difirmankan Allah, artinya: "Terbayang kepada Musa, seolah-olah ia merayap cepat lantaran sihir mereka." (Thaha: 66)

2. Memahami Ayat Al-Qur'an dengan Hadits Shahih

Menafsirkan ayat Al-Qur'an dengan hadits shahih sangatlah urgen, bahkan harus. Allah menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Shallallahu alaihi wasalam . Tidak lain supaya diterangkan maksudnya kepada semua manusia. Firman-Nya, artinya: "...Dan Kami turunkan Qur'an kepadamu (Muhammad) supaya kamu terangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka pikirkan." (An-Nahl : 44)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda, artinya: "Ketahuilah, aku sungguh telah diberi Al-Qur'an dan yang seperti Qur'an bersama-sama." (HR. Abu Dawud)

Berikut contoh-contoh tafsirul ayat bil hadits:
  • Ayat yang artinya: "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya." (Yunus : 26)
    Tambahan di sini menurut keterangan Rasulullah, ialah berupa kenikmatan melihat Allah. Beliau bersabda, artinya: "Lantas tirai itu terbuka sehingga mereka dapat melihat Tuhannya, itu lebih mereka sukai dari pada apa-apa yang diberikan kepada mereka." Kemudian beliau membaca ayat ini : Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya. " (HR. Muslim).
  • Ketika turun ayat, yang artinya: "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukan iman mereka dengan kezhaliman...." (Al-An'am : 82)
    Menurut Abdullah bin Mas'ud, para sahabat merasa keberatan karena-nya. Lantas merekapun bertanya, "Siapa di antara kami yang tidak menzalimi dirinya, ya Rasul?" Beliau jawab, "Bukan itu maksudnya. Tetapi yang dimaksud kezaliman di ayat itu adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar/ucapan Lukman kepada putranya yang berbunyi: "Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah. Karena perbuatan Syirik (menyekutukan Allah) itu sungguh suatu kezaliman yang sangatlah besar." (HR. Muslim)

    Dari ayat dan hadits itu dapat dipetik kesimpulan : Kezaliman itu urutan-nya bertingkat-tingkat. Perbuatan maksiat itu tidak disebut syirik. Orang yang tidak menyekutukan Allah, mendapat keamanan dan petunjuk.
3. Memahami Ayat dengan Pemahaman Sahabat

Merujuk kepada penafsiran para sahabat terhadap ayat-ayat Qur'an seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud sangatlah penting sekali untuk mengetahui maksud suatu ayat. Karena, di samping senantiasa menyertai Rasulullah, mereka juga belajar langsung dari beliau. Berikut ini beberapa contoh tafsir dengan ucapan sahabat, tentang ayat yang artinya: "Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'arsy." (Thaha 5)

Al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Kitab Fathul Baari berkata, Menurut Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lain, istawa itu maknanya irtafa'a (naik atau meninggi).

4. Harus Mengetahui Gramatika Bahasa Arab

Tidak diragukan lagi, untuk bisa memahami dan menafsiri ayat-ayat Qur'an, mengetahui gramatika bahasa Arab sangatlah urgen. Karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab.
Firman Allah, artinya:
"Sungguh Kami turunkan Al-Qur'an dengan bahasa Arab supaya kamu memahami." (Yusuf : 2)
Tanpa mengetahui bahasa Arab, tak mungkin bisa memahami makna ayat-ayat Qur'an. Sebagai contoh ayat: "tsummas tawaa ilas samaa'i". Makna istawaa ini banyak diperselisihkan. Kaum Mu'tazilah mengartikannya menguasai dengan paksa. Ini jelas penafsiran yang salah. Tidak sesuai dengan bahasa Arab. Yang benar, menurut pendapat para ahli sunnah waljamaah, istawaa artinya 'ala wa irtafa'a (meninggi dan naik). Karena Allah mensifati dirinya dengan Al-'Ali (Maha Tinggi).

Anehnya, banyak orang penganut faham Mu'tazilah yang menafsiri lafaz istawa dengan istaula. Pemaknaan seperti ini banyak tersebar di dalam kitab-kitab tafsir, tauhid, dan ucapan-ucapan orang. Mereka jelas menging-kari ke-Maha Tinggian Allah yang jelas-jelas tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur'an, hadits-hadits shahih, perkataan para sahabat dan para tabi'in, Mereka mengingkari bahasa Arab di mana Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa itu. Ibnu Qayyim berkata, Allah memerin-tahkan orang-orang Yahudi supaya mengucapkan "hitthotun" (bebaskan kami dari dosa), tapi mereka pelesetkan atau rubah menjadi "hinthotun" (biji gandum). Ini sama dengan kaum Mu'tazilah yang mengartikan istawa dengan arti istaula.

Contoh kedua, pentingnya Bahasa Arab dalam menafsiri suatu ayat, misalnya ayat yang artinya:
"Maka ketahuilah, bahwa tidak ada ilah (yang haq) melainkan Allah..." (Muhammad: 19).
Ilah artinya al-ma'bud (yang disembah). Maka kalimat Laa ilaaha illallaah, artinya laa ma'buuda illallaah (tidak ada yang patut disembah kecuali Allah saja). Sesuatu yang disembah selain Allah itu banyak; orang-orang Hindu di India menyembah sapi. Pemeluk Nasrani menyembah Isa Al-Masih, tidak sedikit dari kaum Muslimin sangat disesalkan karena menyembah para wali dan berdo'a meminta sesuatu kepadanya. Padahal, dengan tegas Nabi Shallallahu alaihi wasalam berkata, artinya: "Doa itu ibadah". (HR At-Tirmidzi).

Nah, karena sesuatu yang dijadikan sesembahan oleh manusia banyak macamnya, maka dalam menafsirkan ayat di atas mesti ditambah dengan kata haq sehingga maknanya menjadi Laa ma'buuda haqqon illallaah (tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah). Dengan begitu, semua sesembahan-sesembahan yang batil yakni selain Allah, keluar atau tidak masuk dalam kalimat tersebut. Dalilnya ialah ayat berikut, yang artinya: "Demikianlah, karena sesungguhnya Allah. Dialah yang haq. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil." (Luqman: 30).

Dengan diartikannya lafadz ilah menjadi al-ma'buud, maka jelaslah kekeliruan kebanyakan orang Islam yang berkeyakinan bahwa Allah ada di mana-mana dan mengingkari ketinggianNya di atas 'Arsy dengan memakai dalil ayat berikut, yang artinya: "Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi." (Az-Zukhruf: 84).

Sekiranya mereka memahami arti ilah dengan benar, nisacaya mereka tidak memakai dalil ayat tersebut. Yang benar, seperti yang telah diterangkan di atas, al-ilah itu artinya: al-ma'buud sehingga ayat itu artinya menjadi : "Dan Dialah Tuhan ( yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi."

Contoh ketiga, pentingnya mengetahu gramatika bahasa Arab untuk supaya bisa menafsiri ayat dengan benar, ialah mengetahui ungkapan kata akhir tapi didahulukan, dan kata depan tapi ditaruh di akhir kalimat. Sebagai contoh, firman iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. artinya: "Hanya kepadamu kami menyembah, dan hanya kepadamu pula kami memohon pertolongan." (Al-Fatihah: 5).
Didahulukannya kata iyyaka atas kata kerja na'budu dan nasta'in , ialah untuk pembatas dan pengkhususan, maka maksudnya menjadi laa na'budu illaa iyyaaka walaa nasta'iinu illaa bika yaa Allaah, wanakhusshuka bil 'ibaadah wal isti'aanah wahdaka. (kami tidak menyembah siapapaun kecuali hanya kepadaMu. Kami tidak mohon pertolongan kecuali hanya kepadaMu, ya Allah. Dan hanya kepadaMu saja kami beribadah serta memohon pertolongan).

5. Memahami Nash Al-Qur'an dengan Asbabun Nuzul

Mengetahui sababun nuzul (peristiwa yang melatari turunnya ayat) sangat membantu sekali dalam memahami Al-Qur'an dengan benar.
Sebagai contoh, ayat yang artinya: "Katakanlah: Panggillah mereka yang kamu anggap sebagai (Tuhan) selain Allah, mereka tidak akan memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkan-nya. Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengha-rapkan rahmatNya, serta takut akan adzab-Nya. Karena adzab Tuhanmu itu sesuatu yang mesti ditakuti." (Al-Israa': 56-57).

Ibnu Mas'ud berkata, segolongan manusia ada yang menyembah segolongan jin, lantas sekelompok jin itu masuk Islam. Karena yang lain tetap bersikukuh dengan peribadatannya, maka turunlah ayat: Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka (Muttafaq 'alaih).
Ayat itu sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyeru dan bertawassul kepada para nabi atau para wali. Tapi, sekiranya orang-orang itu bertawassul kepada keimanan dan kecintaan mereka kepada para nabi atau wali, tentu tawassul semacam itu boleh-boleh saja.

Demikian penjelasan Muhammad Ibn Jamil Zainu dalam Kitab kaifa Nafhamul Qur'an. (Dept. Ilmiyah)

Rujukan: Muhammad Ibn Jamil Zainu, Kaifa Nafhamul Qur'an , terjemahan Masyhuri Ikhwani: Pemahaman Al-Qur'an, Gema Risalah Press Bandung, cetakan pertama, 1997
READ MORE - Cara Memahami Nash Al Qur'an

Rabu, 24 Februari 2010

Beberapa Kesalahan Tehadap Al Qur'an


I. TENTANG BERKUMPUL UNTUK MEMBACA AL QUR'AN

1. Membaca Al Qur'an secara berjama'ah (koor)

Membaca Al Qur'an termasuk ibadah yang paling afdhal, dan pada prinsipnya hendaklah cara membaca ini disesuaikan dengan cara yang pernah dilakukkan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para shahabatnya Radhiallaahu anhum . Membaca Al Qur'an dengan satu suara tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para shahabatnya, akan tetapi mereka membaca sendiri-sendiri atau salah satu dari mereka membaca dan yang lainnya mendengarkan bacaan tersebut. Namun jika tujuannya untuk belajar mengajar Insya Allah tidak apa-apa.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam pernah memerintahkan kepadanya untuk membaca Al Qur'an maka ia berkata: Wahai Rasulullah, apakah aku akan membaca Al Qur'an untukmu, padahal Al Qur'an itu diturunkan kepadamu? Maka beliau bersabda: "Sesungguhnya aku senang untuk mendengarkannya dari selainku." (HR. Al Bukhari No. 5050).

Selayaknya kita mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para sahabatnya, karena beliau pernah bersabda:
"Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan maka perbuatan itu tertolak." (HR. Al Bukhari)

2. Membagi bacaan kepada orang-orang yang hadir

Membagi bacaan kepada hadirin, si fulan juz sekian, fulan yang lain sekian, agar masing-masing membaca, meskipun genap seluruh juz dalam Al Qur'an tidak di hitung sebagai khatam Al Qur'an. Kadang mereka berkeyakinan adanya barokah dari bacaan orang yang selainnya sehingga saling mendukung dan dianggap sebagai khatam Al Qur'an. Cara ini tidak dibenarkan.

3. Bacaan Al Fatihah setelah shalat fardhu atau witir dalam shalat malam

Membaca Al Qur'an adalah amal yang utama, namun seseorang tidak diperbolehkan mengkhususkan membaca surat atau ayat tertentu pada waktu tertentu dan dengan tujuan tertentu kecuali apa-apa yang telah dikhususkan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam seperti membaca Al Fatihah untuk meruqyah atau dalam tiap rakaat shalat, membaca ayat kursi, Al Ikhlas, Al Falaq dan An-Nas ketika membaringkan badan untuk tidur. Adapun membaca Al-Fatihah setelah shalat fardlu atau shalat witir tidak pernah dilakukan oleh nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam .

4. Membaca Al Fatihah setelah selesai berdo'a

Tidak pernah ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para shahabat membaca surat tersebut setelah selesai berdo'a.

II. TENTANG KHATAMAN AL QUR'AN

1. Walimah (perayaan) khataman Al Qur'an.

Walimah untuk merayakan khatam Al Qur'an sama sekali tidak pernah ada pada masa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam ataupun khulafaur rasydin Radhiallaahu anhum. Bahkan merupakan amalan baru yang diada-adakan. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda:
Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini, padahal ia bukan darinya maka ia tertolak." (HR. Al Bukhari)

2. Membagikan makanan/snack dan minuman setelah khatam Al Qur'an di bulan Ramadhan

Pada dasarnya jika ini dilakukan secara kebetulan karena sedang ada makanan atau sesekali saja maka menurut fatwa Lajnah Daimah (Lembaga fatwa di Arab Saudi) tidak jadi soal. Yang jadi permasalahan ialah jika hal itu dilakukan secara rutin dan diyakini sebagai kelengkapan atau kesempurnaan dari ibadah membaca Al Qur'an, sedangkan kita semua tahu bahwa ibadah yang paling baik adalah yang mencocoki petunjuk Nabi baik ketika permulaan, pertengahan maupun penutupnya.

III. TENTANG BACAAN AL QUR'AN UNTUK MAYIT

1. Bacaan Al Qur'an untuk mayit

Perbuatan ini tidak ada dasar dan landasannya. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para shahabat tidak pernah memberi petunjuk tentang hal ini, sedangkan beliau bersabda, dalam sebuah khutbah di hari Jum'at:
"Adapun sesudahnya, sungguh sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah. Sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan seburuk-buruk perkara (dalam agama) ialah yang diada-adakan (bid'ah), sedang setiap bid'ah itu kesesatan." (HR. Muslim)
Demikian pula membaca Al Fatihah untuk orang yang telah meninggal
Tidak pernah ada nash yang menjelaskan masalah ini oleh karenanya tidak selayaknya kita melakukan amalan tersebut. Karena pada dasarnya ibadah itu terlarang sehingga ada dalil yang menjelaskan kebolehannya (disyariatkannya).

2. Membaca Al Qur'an untuk kedua orangtua yang telah meninggal

Ada sebagian pendapat yang membolehkan membaca Al Qur'an dan mengirimkan pahalannya untuk kedua orangtua, akan tetapi perbuatan ini tidak ma'tsur dan tidak ada dalil yang mendasarinya. Jika hanya dilakukan sesekali saja dan tidak mengkhususkan waktu tertentu menurut fatwa Syaikh Abdurrahman Al Jibrin (anggota Dewan Ulama Arab Saudi) merupakan sesuatu yang bisa ditolerir.

3. Bacaan Al Fatihah untuk kedua orang tua

Mengkhususkan bacaan Al Fatihah untuk orang yang telah mati, baik kedua orang tua atau selainya adalah bid'ah. Tidak pernah dilakukan dan dianjurkan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam. Yang disyariatkan adalah mendo'akan mereka, ketika shalat atau setelahnya, beristighfar dan memohonkan ampunan untuk mereka serta berdoa sesuai dengan yang diajarkan.

IV. TENTANG MEMBACA AL QUR'AN DIATAS KUBUR

1. Membaca Al Qur'an di atas kubur seseorang

Seorang muslim wajib untuk meniti jalan hidup pendahulu dari umat ini (Salaful Ummah) baik shahabat, Tabi'in dan para pengikutnya, yang mereka semua berada diatas petunjuk dan kebaikan.
Membaca Al Qur'an diatas kubur tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabatnya, oleh karena itu tidak pantas bagi kita mengada-adakannya. Karena perkara yang diada-adakan dalam syariat adalah bid'ah, dan setiap bid'ah pasti sesat.

Adapun berdo'a untuk mayit disisi kubur atau ketika melewati kubur maka tidak apa-apa, yaitu dengan cara berhenti sejenak lalu berdo'a untuknya seperti mengucapkan: "Ya Allah ampunilah dia, kasihanilah dia, jagalah dia dari siksa neraka, masukkanlah dia kedalam surga dan yang semisalnya. Akan tetapi jika ia mendatangi kuburan dan berdo'a untuk dirinya sendiri maka termasuk kategori bid'ah karena mengkhususkan atau menentukan tempat dilakukannya do'a, yang ia termasuk ibadah (Syariat).

2. Membaca Al Qur'an di kuburan dan beristighatsah kepada penghuninya

Membaca Al Qur'an di atas kubur adalah bid'ah dan tidak pernah disyariatkan. Dan jika kepergiannya ke kuburan (baik kuburan umum atau kuburan orang yang dianggap sebagai wali) untuk beristighatsah kepada mereka, minta tolong dan minta kemudahan maka ini sudah masuk kategori syirik besar, jika seseorang hendak beristighatsah, berdo'a dan minta dilepaskan dari kesusahan maka yang bisa menjawab dan memenuhi semua itu hanyalah Allah Subhannahu wa Ta'ala .

V. TENTANG BEROBAT DENGAN AL QUR'AN

1. Ruqyah (jampi-jampi) dengan Al Qur'an

Ruqyah atau jampi-jampi baik dengan Al Qur'an, dzikir-dzikir, dan doa-doa selagi tidak mengandung unsur kesyirikan dan kalimatnya bisa difahami maknanya tidak apa-apa dan dibolehkan. Selain itu harus diyakini bahwa itu hanya sebab yang sama sekali tidak berpengaruh tanpa takdir dan izin Allah. Dari Auf bin Malik, Nabi bersabda:
"Tidak apa-apa dengan ruqyah selagi tidak mengandung unsur syirik." (HR. Muslim)

2. Menggantungkan ayat Al Qur'an di leher/anggota badan lainya (sebagai jimat)

Hal ini juga tidak diperbolehkan dengan alasan sebagai berikut:
  • Keumuman hadits tentang larangan menggantungkan jimat dengan tanpa mengecualikan ayat Al Qur'an.
  • Untuk preventif (penjagaan), karena kalau jimat dari ayat Al Qur'an bisa dipakai ada kemungkinan merembet ke yang lainya.
  • Tidak terlepasnya manusia dari aktivitas biologis, seperti buang air, mandi, hubungan suami isteri dan sebagainya, dimana disitu tidak selayaknya membawa tulisan ayat Al Qur'an.

    Adapun jimat selain ayat Al Qur'an maka larangannya lebih keras lagi, karena termasuk syirik, sebagaimana sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam :
    "Barangsiapa mengagantungkan tamimah (azimat) maka ia telah syirik." (HR. Imam Ahmad dalam musnadnya 4/156)
3. Berobat dengan air yang dicelupkan di dalamnya tulisan ayat Al Qur'an

Sebagian ahli ilmu membolehkan hal ini dengan mengibaratkan sebagaimana ruqyah. Namun yang lebih benar bukan begitu, karena yang diajarkan oleh Nabi n adalah dengan membacanya secara langsung lalu meniupkannya ke anggota badan yang sakit, atau meniupkannya ke air, lalu meminumkan air tersebut kepada yang sakit. Hendaknya kita mengikuti cara-cara yang telah dianjurkan ini karena lebih utama dan lebih selamat. Walahu 'alam.

4. Mengambil berkah dari air yang dicelupkan didalamnya ayat-ayat Al Qur'an

Berkah disini bisa untuk keluasan harta kepandaian atau ilmu, kesehatan dan sebagainya.Dalam kasus ini tidak pernah ada riwayat yang menyebutkan Nabi n pernah memberi izin atau rukhsah untuk melakukannya. Dan untuk keperluan diatas sudah ada doa-doa yang dianjurkan, jadi kalau seseorang sudah merasa cukup dengan apa yang disyariatkan, maka Allah Subhannahu wa Ta'ala akan menjadikan kecukupan dan tidak perlu cari-cari yang lain yang tidak diketahui secara pasti sumber dan kebenarannya.

(Sumber, Bida'un Naas fil Qur'an, dari fatwa-fatwa Syaikh Bin Baaz, Syaikh Al-Jibrin, Syaikh Al-Fauzan dan Lajnah Daimah) (Dept. Ilmiah)
READ MORE - Beberapa Kesalahan Tehadap Al Qur'an

Selasa, 23 Februari 2010

Kesalahan Metode Istidlal Golongan Menyimpang


Natal

Tidak di ketahui secara pasti kapan Nabi Isa Dilahirkan, walaupun para penganut Kristiani mengklaim bahwa kelahiran Al Masih adalah tanggal 25 Desember namun keyakinan itu sama sekali tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara pasti. Yang jelas Nabi Isa dilahirkan pada musim panas, sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur'an bahwa setelah melahirkan putranya, sang ibu Maryam bersandar di sebuah pohon kurma lalu di wahyukan kepadanya agar menggoyang batang kurma itu,maka berjatuhanlah rutob dari atas pohon tersebut. Rutob adalah buah korma yang telah masak (empuk), dan buah kurma tidak akan bisa matang jika tidak ada angin panas yang bertiup. Jika ada yang berkeya-kinan bahwa Nabi Isa lahir pada musim salju (dingin) maka itu adalah salah.

Jangankan sampai sedetil tanggal lahirnya, tahun kelahirannya saja antara Biebel dan pencetus kalender Masehi yang dipakai saat ini ada perbedaan. Dalam Matius sebutkan bahwa Isa dilahirkan pada masa raja Herodas dari Roma. Sementara itu para pakar sejarah mereka mengatakan bahwa raja Herodas mati pada tahun 4 sebelum Masehi, artinya 4 tahun sebelum kelahiran nabi Isa. Jika Biebel memang benar maka seharusnya tahun Masehi (yang sekarang 2001) seharusnya sudah 2005. dan jika yang benar adalah pencipta kalender maka Bibel (kitab suci) mereka yang salah. Ada kemung-kinan juga kedua-duanya salah, dan tidak mungkin keduanya benar.

Sitem Kerahiban dan Taklid Buta

Sungguh kacaunya sebuah agama desebabkan karena sumber asli (kitab suci) dari agama tersebut telah diacak-acak dan diputar balikan oleh orang-orang yang menamakan dirinya atau dinamai ahli ilmu dan ahli ibadah. Dengan seenaknya orang-orang semacam ini membuat fatwa dan hukum yang menyelisihi sumber otentik dari agama itu sendiri. Mereka dianggap sebagai wakil Tuhan dan orang suci yang tidak punya salah atau ma'shum. Sehingga ucapan mereka ibarat wahyu yang harus ditaati meskipun itu mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

Jika demikian maka ini berarti telah menjadikan orang alim (baik itu ulama, pendeta, rahib dan sebagainya) sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Mungkin mereka beralasan dengan mengatakan: "Kami kan tidak menyembah mereka!" Alasan serupa juga pernah disampaikan oleh seorang Ahlu Kitab yang masuk Islam, Adiy bin Hatim, tatkala ia mendengar Nabi Shallallaahu alaihi wa salam membaca firman Allah, yang artinya:
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS. 9:31)
Mendengar pembelaan diri dari Adiy, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam lalu bertanya:
"Tidaklah mereka itu mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah lalu kamu pun mengharamkannya? Dan tidaklah mereka itu menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah lalu kamupun (ikut) menghalalkannya?"
Semua pertanyaan Nabi Shallallaahu alaihi wa salam dibenar-kan oleh Adiy, maka beliaupun bersabda: "Itulah ibadah (penyembahan) kepada meraka."
(HR. Imam Ahmad dan At-Tirmidzi dengan mengatakan hasan)

Fenomena seperti ini ternyata juga merebak di kalangan kaum muslimin dimana masih banyak diantara mereka terjebak dalam kultus Individu, menganggap wali ma'shum terhadap seseorang yang segala tingkah laku dan ucapannya tidak boleh disalahkan, dengan alasan takut kuwalat (tertimpa bencana), atau beranggapan mereka memiliki maqom (kedudukan) yang tidak bisa dimengerti dan dicapai orang awam.

Demikianlah sistem kerahiban dalam agama Nashara telah menjadikan penganutnya dicap Allah sebagai orang dloollin (sesat). Sistem ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat Al Hadid ayat 27 merupakan perkara yang diada-adakan dan sama sekali tidak pernah diperintahkan oleh Allah. Artinya: "Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang yang fasik." (QS. 57:27)

Dengan kata lain mereka telah membuat bid'ah dalam tata cara agama mereka,sehingga mereka menjadi sesat. Oleh karena itu Rasulullah, jauh-jauh sudah mengingatkan, agar Islam terjaga kemurniannya maka beliau bersabda, yang artinya: "Setiap hal yang baru (dalam urusan agama adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat." (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).

Bagaimana Dengan Maulid Nabi SAW?

Maulid (peringatan Hari kela-hiran) Nabi Shallallaahu alaihi wa salam sudah menjadi tradisi bagi sebagian besar kaum muslimin di Indonesia. Hari tersebut dianggap sebagai hari besar (hari raya) yang harus diperingati secara rutin tiap tahun. Peringatan secara rutin dan terus menerus dalam istilah Arab disebut dengan Ied, sedang kalau kita mau meneliti dalam kitab-kitab hadits bab tentang hari raya disana biasanya tertulis Kitabul Idain (kitab tentang dua hari raya atau hari besar), maksudnya Iedul Fithri dan Iedul Adha. Dari sini jelas sekali bahwa hari Besar dalam Islam yang diperingati secara rutin tiap tahun hanya ada dua hari saja. Sekiranya ada hari besar lain yang waktu itu dirayakan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, tentu kaum muslimin mulai zaman shahabat, tabiin dan tabiut-tabiin sudah lebih dahulu melakukannya. Sebagaimana mereka merayakan Idain secara mutawatir, tanpa ada khilaf, dan sudah barang tentu juga dijelaskan adab-adabnya dan bagaimana prakteknya.

Sedangakan dalam tinjauan syar'i peringatan maulid Nabi sebagaimana di kemukakan syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullaah dalam kitabnya At Tahdzir minal Bida', adalah merupakan hal baru dalam Islam, yang tidak pernah di contohkan oleh Rasulullah, para shahabat dan tabi'in. Ada beberapa alasan mengapa beliau tidak memperbolehkan peringatan semacam ini

Pertama: merupakan amalan baru yang tertolak, sebagaimana sabda Nabi n, yang artinya: "Barangsiapa mengada-adakan (sesuatu hal baru) adalam urusan (agama) kami, yang bukan merupakan ajarannya maka akan ditolak" (Muttafaq Alaih).

Kedua: Menyelisihi Sunnah Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Nabi Shallallaahu alaihi wa salam bersabda, artinya: "Kamu semua harus berpegang teguh pada sunnahku (setelah Al-Qur'an) dan sunnah khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk Allah setelahku." (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi).

Ketiga: Mengambil ajaran bukan dari Nabi, Firman Allah. artinya: "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dila-rangnya bagimu maka tinggalkan-lah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesung-guhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." (QS. 59:7)

Keempat: Tidak pernah dicon-tohkan dan diteladankan oleh Nabi Shallallaahu alaihi wa salam padahal sebisa mungkin kita harus meneladani beliau, Firman Allah, artinya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (keda-tangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. 33:21)

Kelima: Agama Islam telah sempurna tidak perlu penambahan ajaran baru lagi. Firman Allah, artinya: "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu." (QS. 5:3)

Keenam: Bahwa Rasulullah telah menunjukan seluruh kebaikan kepada umatnya dan telah memperingatkan dari kejahatan yang beliu ketahui, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim. Beliau tidak pernah memberi petunjuk tentang peringatan maulid ini, bahkan sebaliknya memperingatkan dari perkara-perkara baru dalam Islam.

Ketujuh: Membuat ajaran baru dalam Islam merupakan seburuk-buruk perkara, sebagaiaman penggalan sabda beliau Shallallaahu alaihi wa salam dalam sebuah khutbahnya, yang artinya: " Dan seburuk-buruk perkara(dalam agama) ialah yang di ada-adakan (bid'ah), dan setiap bid'ah itu kesesatan." (HR. Muslim)

Kedelapan: Merupakan sikap tasyabuh (meniru-niru) ahli kitab dari kaum Yahudi dan Nashrani dalam hari-hari besar mereka.

Belum lagi jika dalam acara tersebut terdapat ghuluw (sikap berlebihan) terhadap Nabi Shallallaahu alaihi wa salam misalnya berkeyakinan kalau Nabi datang dalam acara tersebut dan bisa menjawab do'a, ikhtilath yaitu bercampur baur pria dan wanita yang bukan muhrim, atau diselingi dengan pentas musik dan sebaginya.

Kalau kita selidiki kedua kasus di atas baik itu natal maupun maulid Nabi n, ternyata sumber kekeliruannya adalah sama yaitu Niat baik yang salah cara penyalurannya.Padahal Islam telah mengajarkan bahwa suatu amal dikatakan Shalih dan akan diterima oleh Allah selain diniatkan dengan ikhlas juga harus mengikuti cara dan petunjuk yang dibawa oleh Nabi n. Karena kalau kita lihat dalam Al-Qur'an, orang kafir yang dikatakan oleh Allah sebagai orang yang paling rugi amalnya ternyata dikarenakan salah prediksi (perkiraan). Mereka sangka apa yang mereka lakukan adalah kebaikan-kebaikan sebagaimana yang mereka niatkan, padahal sebenarnya adalah kesesatan, firman Allah, artinya: "Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. 18:103-104)

Janganlah kita seperti mereka, cocokkan cara ibadah kita dengan cara ibadah Nabi Shallallaahu alaihi wa salam dan para sahabatnya, dan sertailah dengan niat ikhlas karena Allah. (Dept. Ilmiah)
READ MORE - Kesalahan Metode Istidlal Golongan Menyimpang

Senin, 22 Februari 2010

Wali Allah Dan Wali Syetan


Pengertian Wali

Wali dalam konteks sebagai pelaku (fa’il) memiliki makna an-Nashir/Penolong ( fathul bayan fi maqasidil Qur’an, 2/101, Abu Thayib al-Bukhari). al-wali juga memiliki arti al muhibb (yang mencintai), ash-shadiq (teman/rekan), serta an-nashiir (pembela/pendukung) (Tartib qamus al-muhith IV/685, ath-Thahir Ali az-Zawi). Seseorang dikatakan sebagai wali terhadap yang lainnya dikarenakan kedekatannya, keta’atannya dan karena selalu mengikutinya.

Dengan demikian, wali Allah adalah orang yang selalu menurut dan mengikuti segala yang dicintai dan diridhai Allah, menjauhi dan membenci serta melarang dari apa yang telah dilarang oleh-Nya (al furqan baina auliya’ ar-Rahman wa auliya’ asy-syaithan 53-54, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah). Mereka mendapatkan petunjuk berupa dalil yang jelas dari Allah, tunduk kepada-nya serta menegakkan yang haq yaitu beribadah, berda’wah dan menolong agama Allah.

Setiap hamba yang bertakwa kepada Allah, setia, menaati-Nya, melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi segala yang dilarang-Nya, maka dia adalah wali Allah. Mereka tidak merasakan takut di saat menusia merasa takut dan mereka tidak gentar di kala manusia merasa gentar nanti pada Hari Kiamat (al-qaul al jalil hal 36, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Abdus Salam Khudlar)

Tanda-Tanda dan Sifat Wali Allah
  • Beriman dan Bertakwa 
    Allah Subhannaahu wa Ta'ala telah berfirman menjelas tentang wali-Nya, 
    “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa” (10 :62-63) 

  • Mencintai Sesuatu yang Dicintai Allah dan Membenci Sesuatu yang Dibenci Allah 
    Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam telah bersabda, 
    “Ikatan iman yang paling kokoh adalah menyintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya) 

  • Memihak Kepada Sesama Mukmin dan Memusuhi Orang Kafir. 
    “Hai orang-orang yang beriman, jangan-lah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia”. (QS. 60 :1) 

  • Senantiasa Mengikuti Syari’at yang Dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallaahu Alaihi wa Sallam , Lahir dan Batin. 
    Katakanlah: ”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 3:31) 


    “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah RasulNya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagi-mu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59) 

    Wali Allah memiliki tingkat yang berbeda antara satu dengan yang lain-nya, puncaknya adalah Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam kemudian disusul para Nabi dan lebih khusus mereka yang mendapat predikat ulul azmi. Kemudian para shahabat terutama khulafaur rasyidin, selanjut-nya para pengikutnya menurut derajat ketakwaan masing-masing. 
    “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Menge-tahui lagi Maha Mengenal” (QS. 49:13) 

    Di antara mereka ada yang sabiqun bil khairat (bersegera dan berlomba dalam kebaikan) dan ada pula yang muqtashid (orang yang hanya melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang haram ). Dan yang ma’shum atau terjaga dari kesalahan hanyalah para nabi dan rasul saja. Allah Subhannaahu wa Ta'ala telah berfirman mengabarkan ucapan para shahabat Nabi Shallallaahu Alaihi wa Sallam, 

    (Mereka berdo’a), “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami”.(QS.2:286) 
    Dengan demikian untuk menentukan standar kebenaran, maka acuannya adalah Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam, karena beliau adalah ma’shum. 

  • Berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah 
    Firman Allah Subhannaahu wa Ta'ala, 
    “Sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendi-rikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (QS. 2:177) 

    Katakanlah, ”Ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepada-mu.Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tiada lain kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”. (QS. 24:54) 

  • Selalu Bertaubat, Memohon Ampun dan Mengingat Allah 
    Dia menyadari, bahwa Allah adalah Maha Mengawasi dan Maha Menolong, sehingga hal ini akan mendorongnya untuk selalu melakukan kebaikan. 

    “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan”. (QS.16:128) 
    “Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS.24:31) 

  • Selalu Menyadari akan Kelemahan, Kekurangan dan Kekhilafannya. 
    Sehingga hal itu mendorong untuk terus berlindung kepada Allah dari buruknya jiwa serta memohon curahan rahmat-Nya. 
    Sebagaimana tercermin di dalam do’a berikut ini. 

    “Ya Allah sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dengan kezhaliman yang amat banyak, dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau, maka ampunilah aku dengan pengampunan dari sisi-Mu dan kasihanilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Bakar Radhiallaahu Anhu) 

    Dia juga menyadari, bahwa setiap kebaikan yang ada pada dirinya adalah semata-mata berasal dari rahmat Allah, sedangkan yang selain itu adalah berasal dari diri sendiri. 
    “Barang siapa yang mendapatkan kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah, dan barang siapa mendapati selain yang demikian, maka janganlah mencela kecuali terhadap dirinya sendiri.” 

  • Sabar, Berserah diri kepada Allah, Ridha dan Bersyukur Kepada-Nya. 
    Allah Subhannaahu wa Ta'ala berfirman, 
    “Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Rabbmu pada waktu pagi dan petang”. (QS. 40:55) 
    Firman-Nya yang lain, 
    “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. 64:11) 

  • Memahami Hakikat Segala Sesuatu. 
    Yaitu mengetahui, bahwa alam semesta ini diatur oleh Allah atas kehendak-Nya, kemudian hakikat tentang agama diatur oleh Allah berdasarkan keridhaan dan cinta-Nya.Maka tidak dibenarkan seseorang menjalankan agama berdasarkan perasaan atau kemauan pribadi masing-masing. Syariat bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang harus selalu menjadi bingkai amal ibadah seluruh umat, karena Nabi Muhammad Shallallaahu Alaihi wa Sallam membawa risalah Islam untuk seluruh bangsa jin dan manusia.

Wali Syetan

Wali syetan adalah orang yang berpaling dari Al-Qur’an, mengingkari dan kufur kepadanya sehingga mereka dikeluarkan oleh syetan dari kebenaran menuju kebodohan, kesesatan dan kekafiran. 
Allah Subhannaahu wa Ta'ala berfirman, 
“Barangsiapa yang berpaling dari pe-ngajaran (Rabb) Yang Maha Pemurah (al-Qur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan), maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS. 43:36) 
Dalam ayat yang lain disebutkan, 
“Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang menge-luarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. 2:257) 
Bahkan mereka semua terus dihasung oleh syetan untuk bermaksiat kepada Allah, dan apa yang mereka perbuat itu dihiasai oleh syaitan sehingga mereka merasa dalam kebenaran dan petunjuk. 
Firman Allah Subhannaahu wa Ta'ala, 
“Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka meman-dang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka dan tetaplah atas mereka keputusan azab pada umat-umat yang terdahulu sebelum mereka dari jin dan manusia; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.” (QS. 41:25) 
“Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira, bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS. 7:30) 

Penutup 

Umat manusia digolongkan menja-di dua golongan yaitu hizbullah (kelompok Allah) dan hizbusy syaithan (kelompok syetan).Dan ukuran seseorang disebut sebagai wali Allah atau bukan adalah berdasar pada keta’atan-nya kepada Allah, al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam seutuhnya, lahir dan batin. Semakin taat seseorang berarti semakin dekat tingkat kewaliannya, dan semakin durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia semakin dekat dengan syetan yang menipunya. Kesaktian dan kejadian luar biasa yang terjadi pada seseorang bukanlah ukuran untuk menentukan karamah dari kewalian. Tetapi harus dilihat keta’atan dan kesesuaiannya dengan ajaran Islam. 
Imam Asy-Syafi’i berkata, “... Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas permukaan air atau melayang di udara, maka janganlah terpedaya dengannya hingga kalian cocokkan keadaannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah”. 

(Tafsir Ibnu Katsir I hal :116. QS.2:34 Cet. Darus Salam 1994. Lihat Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah. hal:769) 
(Waznin Mahfud) 

READ MORE - Wali Allah Dan Wali Syetan

Minggu, 21 Februari 2010

Beberapa Catatan Tentang Ajaran Sufi


Nama dan ajaran Sufisme tidak pernah dikenal atau ada pada masa kehidupan Rasul Shallallaahu 'alaihi wa Salam, para shahabat dan Tabi'in. kemudian setelah itu muncul sekelompok orang zuhud yang mengenakan pakaian sangat sederhana yang disebut dengan shuf (kulit domba) dan dari situlah awal penamaan sufi. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa sufi berasal dari kata sufiya yang dalam buku-buku falsafah Yunani diartikan dengan hikmah.

Yang jelas munculnya nama baru ini ternyata membawa dampak bagi kaum muslimin, dimana akhirnya ajaran Sufi ini pecah menjadi sekian banyak aliran (tharikat) dan sufi yang berkembang sekarang ini lebih banyak kebid'ahan dan pemyimpangannya dibanding pendahulunya. Berikut ini penjelasan syaikh Muhammad bin Jamil Zainu tentang beberapa pokok ajaran sufi beserta tinjauannya dari pandangan Al Qur'an dan Sunnah.
  • Ajaran sufisme memiliki tharikat yang sangat banyak, masing-masing mengklaim bahwa tharikatnya yang paling benar. Padahal Al Qur'an melarang itu semua sebagaimana dalam firman Allah, artinya:
    "Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." (QS. Ar Rum :31-32)
    Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam juga menjelaskan bahwa tariqah atau jalan yang lurus hanyalah satu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Ibnu Mas'ud.
  • Ajaran sufisme membolehkan berdoa kepada selain Allah, baik itu nabi, para wali yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Diantara mereka ketika beristighatsah ada yang mengucapkan: "Ya Syaikh Abdul Qadir Jailani, Ya Rifai atau ya Nabi kepadamulah kami bersandar dan minta pertolongan". Ini menyalahi firman Allah yang artinya: "Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim". (QS. 10:106)
  • Ajaran sufisme meyakini adanya Abdal (wali badal), Aqthab (wali kutub) dan wali-wali lain yang diserahi oleh Allah mengatur segala urusan dan perkara di alam ini. Padahal orang-orang musyrik saja sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur'an mengetahui bahwa yang mengatur semua urusan adalah Allah.
  • Sebagian penganut sufisme meyakini wihdatul wujud (alam adalah satu kesatuan sebagai wujud Rabb), ittihad atau hulul (bersatunya hamba dengan rabb) sehingga tidak ada beda antara khaliq dan makhluk. Ajaran ini disebarkan oleh Ibnu Arabi yang dalam penggalan syairnya ia berkata: "Hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba". (Al Futuhat Al Makiyyah , Ibnu Arabi).

    Ajaran ini sangat keterlaluan karena orang yang musyrik atau sangat bodoh sekalipun akan bisa membedakan dirinya dengan Rabb (Tuhan).
  • Sebagian kaum sufi mengajarkan zuhud dalam kehidupan, namun dengan cara meninggalkan sebab-sebab atau usaha dan jihad (berjuang) padahal Allah telah berfirman, artinya: " Dan carilah pada apa yang telah dianu-gerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu." (QS. 28:77)

    "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi." (QS. 8:60)
  • Tingkatan ihsan dalam sufi adalah ketika mereka berdzikir (kepada Allah), mereka membayangkan syaikh mereka bahkan ketika shalat pun demikian, tidak jarang diantara mereka yang menghadap gambar syaikhnya ketika shalat. Ini bertentangan dengan makna hadits Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Ihsan adalah beribadah kepada Allah seolah-olah kita melihatNya.
  • Dalam tasawuf seseorang tidak boleh beribadah kepada Allah karena takut neraka dan karena mengharap surga. Padahal Allah memuji para Nabi yang berdoa kepadaNya karena mengharap surga dan karena takut akan SiksaNya. Firman Allah, artinya: "Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas."(QS. 21:90), yakni mengharap surga dan cemas akan siksa dan adzab Allah.
  • Ajaran Sufisme membolehkan mengeraskan suara dalam do'a atau zikir dan terkadang diiringi alat musik dan disertai tari-tarian sedang Allah telah berfirman, artinya: "Berdo'alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. 7:55)
  • Sebagian kaum sufi tidak malu-malu menyebut nama khamar, mabuk, wanita dan jatuhcinta dalam syair-syairnya dan terkadang itu dibaca dalam acara-acara yang diadakan di masjid, sambil diiringi tepuk tangan dan teriakan-teriakan. Dalam Al Qur'an dijelaskan bahwa bertepuk tangan merupakan adat orang-orang musyrik dalam ibadah mereka. Firman Allah, artinya: "Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu." (QS. 8:35)
  • Sebagian orang Sufi ada yang senang melakukan atraksi-atraksi tertentu, misalnya menusuk, memukul diri dengan besi lalu ia memanggil ya jaddah (wahai eyang) sehingga ia tidak sakit atau terluka. Sebagian orang jahil menyangka bahwa ini adalah karamah padahal tidak lain adalah istidraj (pemberian yang menjerumuskan).
  • Orang-orang Sufi meyakini metode kasyf untuk menyingkap perkara-perkara ghaib. Padahal tidak ada yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah sebagaimana Firman Nya, yang artinya: "Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan." (QS. 27:65)
  • Orang Sufi berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Salam diciptakan oleh Allah dari NurNya. Kemudian dari Nur Muhammad diciptakan alam ini. Sedang Al Qur'an menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Salam adalah manusia biasa yag diberi wahyu, dalam artian bahwa beliau anak turun Nabi Adam yang diciptakan dari tanah dan terlahir melalui seorang ibu. Firman Allah, artinya: "Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa". (QS. 18:110)

    Kaum Sufi punya keyakinan bahwa dunia dan seisinya diciptakan karena Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Salam padahal Allah telah berfirman bahwa jin dan manusia diciptakan adalah untuk beribadah, yang artinya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". (QS. 51:56)

    Ajaran Sufisme juga meyakini bahwa seseorang bisa melihat Allah ketika di dunia. Sedang Al Qur'an menyangkal semua ini. Sebagaimana kisah Nabi Musa yang ingin melihat Allah, artinya: " Rabb berfirman: "Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihatKu, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. (QS. 7:143)

    Diantara orang Sufi ada yang mengaku bisa bertemu Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Salam (setelah beliau meninggal) dalam keadaan terjaga atau sadar penuh. Ini adalah sesuatu kedustaan, karena Al Qur'an menjelaskan bahwa alam barzah itu terdinding sehingga tidak mungkin orang yang telah meninggal kembali lagi ke dunia, Firman Allah, artinya: "Dan di hadapan mereka(yang telah meninggal) ada dinding sampai hari mereka dibangkitan." (QS. 23:100)

    Sebagian penganut tasawwuf ada yang mengaku bahwa ia mendapat ilmu langsung dari Allah tanpa melalui Rasul Shallallaahu 'alaihi wa Salam. Ibnu Arabi mengatakan: "Dan dikalangan kami ada yang mengambil ilmu langsung dari Allah, maka ia menjadi pengganti Allah (khali-fatullah)."

    Ini adalah ucapan yang batil, karena Al Qur'an menjelaskan bahwa perintah dan larangan Allah disampikan melalui RasulNya, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: "Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu." (QS. 5:67)

    Kemudian seseorang tidak akan mungkin jadi pengganti Allah, karena Allah tidak akan bisa lupa atau terlengah dalam mengawasi makhlukNya, justru Allahlah yang menjadi pengganti dalam menjaga keluarga kita, ketika kita sedang safar (bepergian) oleh karena itu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam mengajarkan do'a: "Ya Allah Engkaulah teman dalam safar dan pengganti dalam kelaurga." (HR. Muslim)
  • Kaum sufi merayakan maulid dengan berkumpul dan menamakannya Majlis Shalawat Nabi. Sebagian mereka beri'tiqad bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam datang dalam acara tersebut dan bisa menolong mereka.
  • Kebanyakan orang sufi bersusah payah menyiapkan bekal dan uang, sekedar untuk menziarahi kubur tertentu dan bertabaruk (mencari berkah) di sana, dan ada pula yang menyembelih binatang atau thawaf. Ini melanggar larangan Rasul Shallallaahu 'alaihi wa Salam, dalam sebuah sabdanya, yang artinya: "Tidak boleh bersusah payah menyiapkan bekal untuk berpergian kecuali ke tiga masjid : Masjidil Haram, Masjdku ini (Nabawi), dan Masjidil Aqsha." (Muttafaq 'Alaih).
    Yang dimaksud bepergian dalam hadits di atas adalah dalam rangka ibadah atau mendatangi tempat-tempat yang dianggap mulia.
  • Kaum Sufi sangat fanatik dengan perkataan syaiknya (gurunya), walaupun terkadang ucapan itu tidak sesuai dengan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam. Firman Allah, artinya: " Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah." (QS. 49:1)
  • Kaum sufi banyak menggunakan Thalasim (rajah), huruf-huruf, dan angka-angka dalam memilih (baca: meramal), juga ada yang menggunakan jimat dan pengasihan. Ini termasuk perbuatan Arraf (tukang ramal) yang berbuat kesyirikan.
  • Kaum sufi senang membikin-bikin shalawat yang isinya terkadang mengandung kemusyrikan dan jarang menggunakan shalawat yang telah diajarkan oleh Rasulullah.
Sumber: Ash-sufiyah fil Mizanil Kitab was Sunnah, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu (Dept. Ilmiah) 
READ MORE - Beberapa Catatan Tentang Ajaran Sufi

Sabtu, 20 Februari 2010

5 Prinsip dalam Menyikapi Faham Islam Liberal


Agama atau "dien" di dalam Bahasa Arab berarti aturan yang dipatuhi dan dijadikan sebagai jalan hidup. Ber-agama, katakanlah beragama Islam, itu artinya kita memilih dan menjadikan Islam yang diajarkan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam , sebagai pedoman atau jalan hidup yang kita tempuh dan kita patuhi selama menjalani kehidupan di dunia ini. Kita patuhi segala aturan dan ajarannya dengan penuh kesadaran, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan kolektif (masyarakat). Memilih Islam sebagai jalan hidup itu juga berarti kita rela dengan segala konsekwensinya, kita yakini dengan sepenuh hati dan penuh kesadaran jiwa dan akal akan apa yang diperin tahkan kepada kita untuk diyakini, dan kita laksanakan semua perintah-perintahnya dengan penuh kesadaran pula, dan kita jauhi larang-larangnya dengan penuh keikhlasan dan ketulus-an hati kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala .

Maka seorang muslim yang baik adalah muslim yang selalu memelihara dan menjaga komitmennya kepada keyakinannya, dan tetap berpegang teguh kepada pendirian dan keyaki-nannya sebagaimana tercermin di dalam ajaran Islam yang ia anut, apa pun resikonya. Itulah arti dari memilih Islam sebagai agama dan the way of life (jalan kehidupan).

Berikut ini beberapa prinsip dasar yang harus tetap kita yakini dan kita pelihara di tengah dahsyatnya kecamuk golombang pemikiran yang sesat dan menyesatkan yang dihembuskan oleh sekelompok orang yang tergabung dalam lingkaran syetan JIL (Jaringan Islam Liberal), pengusung faham Islam Inklusif atau pun Pluralisme, mereka berkeyakinan, bahwa semua agama adalah sama, tidak boleh mengatakan agama sendiri (Islam) yang benar, sebab semuanya adalah benar, semua menuju Tuhan, hanya penamaan Tuhan dan cara beribadahnya saja yang berbeda. Dengan memahami prinsip-prinsip dasar agama Islam, mudah-mudahan kita tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh syubhat/kerancuan yang mereka lontarkan, insya Allah.

Prinsip-prinsip dasar yang dimaksud yakni:
  • Prinsip pertama; Kita meyakini dengan sepenuh hati dan seyakin-yakinnya, bahwa hanya Allah yang berhak kita sembah. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Tidak ada sesuatu apa pun yang menyerupai-Nya.

    Prinsip ini jelas manafikan segala macam sesembahan dan obyek ibadah selain Allah, maka penamaan Tuhan (ilah) yang tidak berdasarkan keterangan yang dijelaskan sendiri oleh Allah dan Rasulullah adalah batil. Itu tidak lebih sebagaimana yang dikatakan Allah "asma' sammaitumuha antum wa abaukum" sebutan (nama-nama) Tuhan yang kalian dan moyang kalian julukkan, sama sekali tidak ada hujjah dan sulthan (kekuatan argumen) atasnya.

    Oleh karena itu, menamakan Allah dengan nama Brahma atau Kristus misalnya, serta beribadah kepadanya, maka jelas merupakan kebatilan, karena yang demikian bertentangan dengan prinsip tauhid atau keesaan Allah. Berbeda halnya ketika umat Islam menyebut ar-Rahman atau ar-Rahim, maka yang dituju dan dimaksud tetap Allah juga, karena Allah sendiri telah menyatakan, bahwa Dirinya memiliki nama demikian. Di samping itu, ada masalah yang lebih prinsip lagi yaitu, bahwa masing-masing penyebutan Tuhan di dalam setiap agama memiliki konsep, persepsi dan kaidah yang berbeda-beda yang jelas tidak mungkin bersatu dengan konsep ketauhidannya kaum muslimin. Maka menyamakan prinsip ketuhanan antara Islam dengan agama-agama yang lain, berarti menyamakan Allah dengan ilah-ilah yang lain atau kalau itu diisti-lahkan dalam Bahasa Arab namanya syirik alias menyekutukan Allah.
  • Prinsip ke dua ; Kita yakini, bahwa satu-satunya jalan keselamatan yang dapat mengantarkan kita kepada keridhaan Allah adalah menempuh jalan hidup di atas ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, Shalallaahu alaihi wasalam .

    Memegang prinsip ini berarti menolak tata cara ibadah yang tidak berdasarkan tuntunan yang dibawa oleh Rasulullah , maka tidak berlaku slogan banyak jalan menuju Roma, namun yang berlaku adalah beribadah hanya kepada Allah dengan cara yang telah diajarkan Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam, inilah makna syahadat la ilaha illallah Muhammad Rasulullah. Orang Islam tidak akan mungkin menyembah Allah di Pura dengan tata cara ibadah Hindu, meskipun dengan menyebut nama Allah, atau menyembah dewa Brahma, Kristus di dalam masjid. Demikian pula orang Hindu tidak akan mungkin melakukan shalat di masjid, meskipun dengan menyebut Tuhan mereka. Jika hal itu sampai dilakukan oleh seorang muslim, maka persaksian la ilaha illallah Muhammad rasulullah dengan sendirinya gugur dan batal, maka pengakuan seribu kali sebagai muslim pun tidak berlaku sebelum ia betaubat serta meninggalkan sesembahan selain Allah dan cara ibadah yang di luar Islam itu.

    "Sesungguhnya agama (yang diterima) di sisi Allah adalah Islam". (Ali Imran: 19)
    "Barang siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali Allah tidak akan menerimanya, dan ia di akhirat kelak termasuk orang-orang yang merugi". (Ali Imran: 85)
    "Pada hari ini telah Kusempurna-kan bagimu agamamu dan telah Kusem-purnakan atasmu karunia-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama bagi kamu". (al-Ma'idah: 3)
  • Prinsip ke tiga; Kita yakin dengan sepenuh hati, bahwa Islam telah mewakili dan sekaligus meng-hapus (muhaiminan `alaih) agama-agama yang pernah diturunkan Allah sebelumnya.

    Dan sebaliknya kita pula meyakini, bahwa agama lain sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai jalan menuju keselamatan, sekalipun kata pemeluk-nya merupakan jalan menuju kesela-matan. Karena al-Qur'an, kitab suci kita menginformasikan kepada kita, bahwa ajaran dan kitab suci agama-agama terdahulu (baca: Taurat dan Injil) telah tidak sempurna, mengalami perubahan substansial, diselewengkan (tahrif). Yang demikian itulah yang diajarkan oleh agama Allah. Dan kita wajib meyakini, bahwa siapa saja yang tidak beriman kepada Islam, Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam, dan keesaan Allah (tauhid) yang diajarkan oleh para nabi, adalah kafir dan tempatnya di neraka. Sebab Allah Subhannahu wa Ta'ala. dan Rasul-Nya telah menyatakan demikian!

    "Demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, tiada seorang Yahudi ataupun seorang Nasrani yang mendengar seruanku ini, lalu ia mati (padahal) tidak beriman kepada ajaranku, melainkan ia adalah penghuni neraka." (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

    Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah mengisyaratkan bahwa siapa saja dari umat yang dia dakwahi dan atau ia mendengarkan dakwah tersebut, namun tidak mau beriman dengan risalah yang beliau bawa, maka dia pasti menjadi penghuni neraka, tidak peduli Yahudi atau Nashrani.

    Akan tetapi, meskipun kita meyakini, bahwa Islam adalah jalan satu-satunya yang dapat mengantarkan kita kepada keselamatan, ia tidak boleh dipaksakan kepada non muslim untuk meyakini dan mengamalkan ajarannya, apalagi memaksa mereka supaya memeluknya. Sebab Allah telah menegaskan, “Tidak ada paksaan di dalam agama". Namun tugas yang diembankan kepada kita, yaitu me-nyampaikan dan menyosialisasikan ajaran Islam adalah harus dan wajib kita lakukan dengan penuh hikmah, pelan-pelan dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk merenung dan berproses secara bertahap.
  • Prinsip ke empat; Kita wajib mengafirkan mereka (non muslim) atau menyebut mereka sebagai orang kafir.

    Karena Allah telah menyatakan kekafiran mereka, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari Ahlu Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang musyrik, bahwa mereka tidak akan meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mere-ka bukti yang nyata". (al-Bayyinah:1)

    "Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata "sesungguhnya Allah itu ialah "Almasih putra Maryam". (al-Ma`idah: 72).
    Demikian pula tentang aqidah trinitasnya kaum Nashara, Allah telah menjelaskan dengan gamblang,
    "Sesungguhnya kafirlah orang- orang yang mengatakan (berkeyakinan) bahwasanya Allah itu salah satu dari yang tiga". (al-Ma`idah:73).

    Meragukan kekafiran mereka adalah bentuk ketidakpercayaan kepada Allah dan firman-Nya dan wujud ketidakberimanan kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam. Maka dari itu para ulama menegaskan, bahwa di antara penyebab seseorang itu murtad, keluar dari Islam adalah "Tidak mengafirkan atau meragukan kekafiran orang-orang kafir", yaitu mereka yang dinyatakan oleh Allah sebagai orang kafir.
  • Prinsip ke lima ; Kita tidak boleh melakukan tindakan tidak beradab, anarkisme, pembunuhan, perusakan dan kekerasan terhadap siapa pun, terhadap orang muslim ataupun orang kafir.

    Selagi orang-orang kafir itu tidak mengganggu atau memerangi kita dalam bentuk apa pun. Bahkan sebaliknya Allah menganjurkan kepada kita agar kita berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka.
    "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (kafir) yang tidak memerangimu, karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesung-guhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku Adil". (al-Mumtahanah: 8)

    Rasulullah, Shalallaahu alaihi wasalam pun telah bersabda: "Barang siapa yang mengganggu seorang kafir dzimmi, maka aku adalah musuh-nya di Hari Kiamat kelak". (al-Hadits).
Begitu indahnya ajaran Islam yang kita anut ini! Ajarannya penuh dengan keadilan, kesejukan, keramahan dan ketegasan. Betapa indahnya eksklusifisme yang diajarkannya kepada kita! Ia mengajak kita supaya menjadi muslim yang eksklusif! Muslim yang benar-benar menampakkan jati diri, tidak mengkaburkan diri namun adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai budi pekerti yang luhur.

Eksklusif tapi tidak anarkis. Eksklusif tapi tidak memaksakan kehendak! Eksklusif tapi tetap bersikap baik terhadap siapa pun selagi tidak disakiti, tidak diganggu dan tidak diperangi! Eksklusif tapi adil! Eksklusif tapi tegas! Eksklusif tapi toleran dengan tidak mencampur baurkan ajaran agamanya dengan ajaran agama lain!

Jika demikian, maka kita kaum muslimin harus bangga dengan Islam yang kita anut, harus bangga menjadi seorang muslim yang eksklusif. "Katakanlah, saksikan, bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Islam!". 
READ MORE - 5 Prinsip dalam Menyikapi Faham Islam Liberal

Jumat, 19 Februari 2010

Dialog Seputar Fasiq dan Tafsiq


Merebaknya fenomena tafsiq, takfir dan tabdi' (memvonis orang per orang dengan fasiq, kafir dan bid'ah) di kalangan pemuda muslim adalah merupakan sebuah bencana dan pintu keburukan. Demikian peringatan dari Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, anggota Ulama Senior Arab Saudi (hai'ah kibaril ulama) dan juga anggota Komisi Tetap Urusan Penelitian Ilmiyah dan Fatwa (al-lajnah ad-daaimah lil buhuts al-ilmiyah wal iftaa’). Beliau menegaskan bahwa di antara ciri dari kelompok yang terjerumus di dalam sikap ini adalah mereka sibuk mencari-cari celah dan kesalahan orang lain (sesama muslim-red), lalu menyebarkannya agar diketahui khalayak ramai. Manhaj (pola hidup dan pemikiran ) seperti ini, dalam pandangan Syaikh al-Fauzan cukup berbahaya dan memberikan dampak negatif baik dalam waktu cepat atau lambat. 

Syaikh Shalih al-Fauzan tak lupa menjelaskan tentang bagaimana sikap ahlussunnah terhadap pelaku dosa besar. Beliau juga berpesan agar umat Islam meninggalkan cara-cara keliru tersebut, yang semua itu justru merugikan ummat dan merupakan bentuk sumbangan serta pelayanan terhadap musuh-musuh Islam. 

Berikut ini jawaban Syaikh al-Fauzan terhadap pertanyaan seputar masalah di atas, sebagaimana dikutip oleh majalah al-Da'wah No.1936, 11 Shafar 1425/April 2004, semoga bermanfaat. 

Termasuk masalah mengkhawatirkan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin adalah munculnya fenomena tabdi', tafsiq dan takfir. Menurut anda sebab-sebab apakah yang memicu merebaknya fenomena tersebut?

Pada masa ini khususnya kalangan para pemuda, juga kaum muslimin yang tidak mengetahui hakikat Islam, memiliki ghirah yang berlebihan atau semangat yang tinggi, namun mereka tidak bisa menempatkan diri. Maka tampaklah fenomena takfir, tafsiq dan tabdi', sehingga kesibukan mereka hanya untuk mencari-cari aib, memata-matai orang lalu menyebarkan kepada khalayak ramai. Ini merupakan suatu fitnah dan ciri keburukan. Kami memohon kepada Allah subhanahu wata'ala agar menjaga kaum muslimin dari keburukan fitnah tersebut. Dan semoga Allah subhanahu wata'ala membimbing para pemuda Islam kepada jalan yang benar, menganugerahkan amal yang sesuai dengan manhaj salafus shalih serta menjauhkan mereka dari para penyeru keburukan. 

Pemahaman orang berbeda-beda, khususnya tentang definisi dari hakikat sesuatu, barangkali dapat anda jelaskan arti fisq (fasik) dan kapan seorang muslim itu dikatakan fasiq? 

Al-fisq (fasik) artinya keluar dari ketaatan terhadap Allah. Ada dua macam fasiq, yaitu fasiq yang menyebabkan kufur dan fasiq yang tidak menyebabkan kufur dan tidak menyebabkan seseorang keluar dari agama Islam, akan tetapi mengurangi keimanan. Padanya ada semacam arah untuk keluar dari Islam namun pelakunya tidak sampai keluar darinya. Namun juga tidak dikatakan dengan fajir (maksiat), dan yang tepat adalah fasiq. Seorang muslim dikatakan fasiq jika melakukan salah satu dari kabair adz-dzunub (dosa-dosa besar) seperti zina, minum khamar,mencuri,makan riba, dan dosa-dosa besar yang semisal itu. Dia melakukan itu semata-mata karena dorongan atau kendali hawa nafsu dan syahwat, maka dengan demikian dia adalah seorang fasiq. (Namun jika dia melakukannya karena menghalalkan perbuatan tersebut, maka ia terkena hukum riddah atau keluar dari Islam, red) 

Bagaimana hukum orang fasiq, apakah keluar dari status iman?

Manurut ahlussunnah wal jama'ah hukumnya adalah dia seorang mukmin naqishul iman (mukmin yang berkurang imannya), atau mukmin karena keimanannya dan fasiq karena dosa besar yang dikerjakannya. Dia termasuk orang-orang mukmin dan ahlut tauhid, selagi tidak melakukan salah satu bentuk kesyirikan yang mengeluarkan dari millah (Islam). Maka status iman dan Islam masih tetap melekat pada dirinya, hanya saja dia seorang Muslim yang berkurang imannya, dan inilah yang disebut dengan fisq atau fasiq. 

Jika seseorang melakukan dosa besar maka dia harus dikenai hadd (sanksi) sesuai syari'at Islam, namun dia tetap berstatus sebagai orang mukmin, dan diperlakukan sebagai mukmin. Apabila dia memang bukan seorang mukmin maka tentu sanksi yang dijatuhkan bukanlah hadd namun hukuman murtad, yaitu hukuman mati sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alihi wasallam, artinya, "Barang siapa mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah dia." 

Keberadaan pelaku maksiat dosa besar yang dikenai sanksi (hadd) menunjukkan bahwa dia adalah termasuk ahlul iman, dan mendapatkan perlakuan sebagai orang mukmin. Berhak mendapatkan wala' (loyalitas) sesuai keimanannya dan berhak dibenci sesuai dengan kemaksiatan yang dikerjakannya, karena bagaimana pun dia masih masuk dalam lingkaran iman. Demikianlah madzhab ahlus sunnah wal jama'ah. 

Sebuah pertanyaan lain, bagaimana hukum pelaku dosa besar dalam pandangan ahlussunnah wal jama'ah?

Menurut ahlussunnah, orang mukmin yang melakukan dosa besar, dia tidak dikatakan mukmin yang sempurna imannya (kamilul iman), namun dia adalah naqishul iman (berkurang imannya). Dan yang menganggap sempurna atau utuh imannya adalah kaum murji'ah dimana mereka mengatakan bahwa maksiat tidak akan mengurangi iman sedikit pun sebagaimana ketaatan tidak ada pengaruhnya terhadap kekufuran. Kebalikan dari pendapat ini adalah pendapat khawarij yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar telah keluar dari iman. Begitu pula mu'tazilah menyatakan bahwa dia bukan mukmin tetapi bukan pula kafir, dan dia berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain). 

Adapun ahlussunnah bersikap pertengahan dalam masalah ini, tidak mengatakan kafir sebagaimana kha-warij, tidak mengatakan berada di manzilah baina manzilatain sebagai-mana mu’tazilah dan tidak mengatakan dia mukmin yang utuh imannya sebagaimana murji'ah. Akan tetapi mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah mukmin yang kurang imannya, dia mukmin karena keimanannya dan fasiq karena dosa besar yang dikerjakannya. Dia dicintai dalam satu sisi dan dibenci dalam sisi yang lain, dan jika dia mati belum bertaubat kepada Allah subhanahu wata'ala, maka urusannya ada di tangan Allah dan berada di bawah kehendak-Nya. Jika Allah menghendaki, maka akan mengampuni dan jika menghendaki, maka akan menyiksanya, kemudian dia akhirnya dikeluarkan dari neraka. Allah subhanahu wata'ala berfirman, artinya, 
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang menyekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. 4:48) 

Di dalam sebuah hadits juga disebutkan, perintah Allah subhanahu wata'ala kepada malaikat, artinya, 
"Maka keluarkanlah dari neraka orang yang dalam hatinya ada iman meski lebih kecil dari biji sawi." 

Madzhab ahlissunnah dibangun di atas landasan dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah, dia adalah madzhab pertengahan, karena berada di tengah-tengah antara kelompok-kelompok yang sesat, sebagaimana juga umat Islam merupakan umat yang pertengahan di antara umat-umat yang kafir, sebagaimana firman Allah subhanahu wata'ala , artinya, 
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (al-Baqarah 143) 

Apakah anda dapat mengemukakan dalil yang menunjukkan bahwa orang fasiq tidak keluar dari iman?

Dalil dalam masalah ini amat banyak, di antara dalil yang mengindikasikan bahwa orang fasiq tidak keluar dari keimanan adalah, firman Allah subhanahu wata'ala yang memerintahkan untuk mendamaikan dua kelompok orang mukmin yang saling serang. Dia berfirman, artinya, 
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang, maka damaikanlah antara keduanya.Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Hujurat:9) 

Allah subhanahu wata'ala menyebut dua kelompok yang saling berperang di antara orang mukmin sebagai saudara padahal mereka saling menyerang dan membunuh. 
“Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujurat :10) 

Allah subhanahu wata'ala menyebutkan, bahwa dua kelompok mukmin yang saling berperang adalah saudara bagi orang-orang mukmin yang lainnya. Maka ini menunjukkan, bahwa dosa besar selain syirik tidak mengeluarkan pelakunya dari lingkaran iman. 

Dan juga firman Allah subhanahu wata'ala tentang pelaksanaan hukum qishahsh, 
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) mambayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS. al-Baqarah:178) 

Allah subhanahu wata'ala menyebut orang yang dibunuh (korban) sebagai saudara bagi si pembunuh, padahal pembunuhan adalah dosa yang sangat besar di antara dosa-dosa besar, dan dua orang tersebut tetap dikatakan oleh Allah sebagai saudara. Maka ini menunjukkan bahwa dosa besar yang selain syirik tidak mengeluarkan seseorang dari millah (agama Islam). 

Sumber: Majalah “al-Da'wah” no 1936, 11 Shafar 1425, April 2004, alih bahasa, Khalif Muttaqin.
READ MORE - Dialog Seputar Fasiq dan Tafsiq