Jumat, 11 Juni 2010

Poligami dan Kendalanya


Hukum Poligami

Para ulama telah sepakat bahwa poligami diperbolehkan di dalam Islam hingga empat istri. Hal ini berlandaskan kepada Kitabullah dan as-Sunnah. Adapun dalil dari al-Qur'an adalah firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (QS. 4:3)

Sedangkan dari as-Sunnah adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Ahmad, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafi ketika dia masuk Islam dan memiliki sepuluh orang istri, "Engkau pilih empat orang dan engkau ceraikan yang lainnya." (al-Hadits)

Dari sini jelas sekali hukum poligami dalam Islam, dan dalil-dalil yang lainnya tentu masih banyak. Orang yang mengharamkan dan menentang poligami berarti telah menentang al-Qur'an dan as-Sunnah, dan dia tidak termasuk dalam lingkaran Islam. Dalam hal ini mendebat mereka hanya akan membuang-buang waktu saja. Kecuali bagi mereka yang terkena fitnah syubhat dalam pemikiran, maka diharapkan penyakit tersebut dapat disembuhkan.

Poligami sebenarnya bukan hal baru yang dibawa oleh Islam, namun ia telah ada pada umat-umat sebelum Islam. Poligami telah ada dalam agama yahudi, nashrani, ada pada bangsa Romawi, Persia, Yunani, India, Cina, Mesir dan bangsa-bangsa lain.

Hikmah di Balik Poligami

Poligami dalam Islam disunnahkan bagi laki-laki yang memiliki kemampuan. Allah subhanahu wata’ala mensyari'atkan poligami tentunya dengan membawa hikmah yang mendalam. Orang yang diberi pengetahuan oleh Allah akan mengetahuinya sedangkan yang dibutakan hatinya maka dia tidak akan tahu. Hikmah poligami amat banyak, di antara yang terpenting adalah:

1. Islam menganjurkan agar memperkuat serta memperbanyak keturunan dan generasi. Poligami merupakan salah satu sarana untuk mencapai hal tersebut.

2. Secara alamiyah wanita memiliki halangan biologis seperti haid dan nifas, dan terkadang menderita berbagai penyakit tertentu, sedangkan sang suami dalam kondisi yang prima, sementara berzina diharamkan dalam Islam. Jika dia dilarang menikah lagi dan juga dilarang berzina serta nikah mut'ah maka dia menghadapi kesulitan besar. Sehingga Allah subhanahu wata’ala membolehkan seseorang untuk berpoligami karena di dalamnya terdapat manfaat untuk menghilangkan kerusakan dan kehancuran.
Sungguh amat buruk yang dilakukan oleh musuh Islam dan para penentang poligami, yang memaksa kaum lelaki untuk menikah hanya seorang istri saja. Sehingga sama saja menyuruh para suami (yang mampu berpoligami) untuk mencari wanita-wanita haram dan pelacur. Demikian pula para wanita yang tidak sempat menikah akhirnya mencari laki-laki hidung belang, baik untuk kepuasan atau mencari penghidupan, karena tidak memiliki suami yang menafkahinya secara lahir dan batin.

3. Terkadang kaum wanita tidak lagi memiliki gairah dan keinginan untuk berhubungan suami istri karena kondisi biologis. Maka seorang suami menikah dengan wanita lain lebih baik daripada menceraikan istrinya. Demikain pula terkadang seorang istri ada yang mandul, sedang untuk menceraikan tidak mungkin, sehingga terjadi problem rumah tangga. Maka jalan keluar yang terbaik adalah dengan berpoligami.

4. Terkadang ada seorang wanita yang berusia agak lanjut (dan belum menikah), atau mengalami cacat dan kekurangan dari segi fisik, sehingga dia sangat memungkinkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang telah memiliki istri.

5. Jumlah kaum wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki, bahkan mungkin berlipat ganda. Maka kaum laki-laki jelas menghadapi kerusakan dan bahaya yang besar. Membatasi hanya menikah dengan satu wanita saja jelas menjadikan jumlah wanita tak bersuami akan membengkak. Padahal tidak menikahnya para wanita akan menimbulkan problem yang sangat besar, seperti terlantarnya kaum wanita, kemiskinan, serta kesempitan jiwa dan beban psikologis. Ini jelas akan membuka berbagai pintu kerusakan, na'udzu billah min dzalik.

Demikian di antara beberapa hikmah dan manfaat poligami. Adapun di negara-negara barat dan negara kafir yang menjalankan aturan sekuler maka kita dapati mereka sangat anti dan menentang poligami. Namun dalam waktu bersamaan mereka melegalkan perzinaan, pelacuran dan berbagai tindakan keji lainnya.

Dan sangat kita sayangkan bahwa sebagian kaum muslimin pun ada yang mengikuti pemikiran kaum kafir ini. Mereka menyangka bahwa segala yang datang dari barat adalah kemajuan dan kebaikan meskipun itu berupa kebatilan. Sehingga tidak mengherankan jika ada negara yang mengklaim sebagai negeri islami atau penduduknya mayoritas muslim, namun memberlakukan peraturan larangan poligami. Maka bukan rahasia lagi, jika orang-orang yang sebenarnya mampu berpoligami justru lebih memilih mencari " istri simpanan", berselingkuh atau bahkan pergi ke pelacuran daripada menikah secara sah. Salah satu penyebabnya adalah karena lingkungan dan sistem perundang-undangan tidak mendukung dan tidak memberi toleransi terhadap poligami, bahkan bagi sebagian masyarakat poligami sudah dianggap sebagai suatu tindakan kejahatan.

Kita tidak mengingkari, bahwa berpoligami terkadang mendatangkan berbagai problem, baik yang berkaitan dengan suami-istri maupun anak-anak, dan ini merupakan sesuatu yang wajar. Dan masalah rumah tangga tidak hanya dihadapi oleh mereka yang berpoligami saja, yang beristri satu pun pasti akan menghadapinya, tinggal bagaimana para suami dan istri menyelesaikan masalah tersebut.

Kendala Berpoligami

Tidak diragukan lagi bahwa poligami kini menghadapi berbagai kendala dan masalah, namun harus disadari bahwa setiap masalah pasti memiliki sebab dan jalan keluar. Di antara kendala terbesar poligami adalah sebagai berikut:
 
1. Keberhasilan musuh-musuh Islam dan para penentang poligami dalam menyebarkan berbagai statemen miring dan tuduhan negatif terhadap poligami. Sehingga terbentuk opini di masyarakat bahwa poligami adalah sebuah tindak kejahatan dan keburukan yang harus ditentang. Sebagian kaum muslimin terpengaruh dengan pemikiran ini, dan para "cendekiawan" pun angkat bicara melemparkan syubhat poligami melalui berbagai media. Di antara syubhat-syubhat yang mereka sampaikan adalah:
  • Bahwa laki-laki tidak akan dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya. Mereka berdalih dengan firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
    “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (QS. an-Nisa’:29)

    Mereka tidak faham bahwa adil yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah dalam masalah hati dan cinta. Ada pun dalam hal nafkah, rumah, mabit, pakaian dan semisalnya maka itu sesuatu yang sangat dapat dilakukan. Jadi maksud ayat di atas adalah janganlah seorang suami condong terhadap salah satu istrinya sehingga menelantarkan istrinya yang lain, walaupun dari segi rasa cinta berbeda antara satu dengan yang lain.
      
  • Syubhat ke dua, bahwa poligami hanya akan menimbulkan permusuhan dan kebencian antar istri dan anak-anak, sehingga merusak rumah tangga. Jawaban untuk syubhat ini adalah, bahwa penyebab permusuhan dan kebencian bukanlah poligami namun lebih pada masalah siasat (niat buruk) elemen keluarga, baik suami, istri atau anak-anak, dan juga seorang istri terhadap madunya. Berapa banyak suami yang hanya memiliki satu istri, namun terjadi permusuhan dengan istri dan anak-anaknya. Dan tidak sedikit suami yang melakukan poligami namun keluarganya tentram dan bahagia tanpa ada permusuhan.
  • Syubhat ke tiga, bahwa poligami akan menyebabkan kemiskinan dan kefakiran. Pemikiran seperti itu berbahaya dan tidak diperbolehkan, karena rizki ada di tangan Allah. Amat banyak keluarga yang dalam kecukupan, meskipun mempunyai anggota keluarga yang besar. Dan banyak pula manusia yang fakir dalam kesendiriannya. Namun demikian berpoligami hanya dapat dilakukan jika seorang laki-laki memenuhi syarat mampu dan adil.
2. Perlakuan buruk sebagian suami yang berpoligami. Ini merupakan salah satu masalah dalam berpoligami, yaitu ketika seorang suami menikah dengan wanita lain, dia tidak berbuat adil dalam hal yang dia mampu, berupa nafkah, mabit, pakaian dan semisalnya. Sebagian suami ada yang tidak dapat mengatur rumah tangganya dengan baik, sehingga dia terkadang berterus terang lebih mencintai salah satu istrinya dari pada yang lain, memuji sebagian istrinya di hadapan istri yang lain dan berbagai kesalahaan yang semisal ini.

Maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah subhanahu wata’ala semaksimal mungkin, dan menjauhi sikap pilih kasih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda bahwa apabila seorang suami memiliki dua istri lalu condong kepada salah satunya maka dia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan bahunya miring.

3. Kurangnya kesabaran para wanita. Ditambah cemburu yang melampaui batas sehingga menimbul kan permusuhan antar istri. Dan umumnya problem yang sering terjadi dalam poligami adalah dalam hal ini, apalagi jika kedua belah pihak sama-sama tidak setuju dengan poligami. Cemburu adalah suatu yang dapat ditolerir sebagaimana hal itu terjadi pada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun tentu harus ada batasnya. Bukan cemburu buta dan tanpa batas, hingga melaknat, mencaci, membenci ketetapan Allah dan syari’atnya, atau melakukan ghibah, namimah (adu domba) agar sang suami mentalak madunya. Bahkan mungkin ada di antara wanita yang pergi ke dukun untuk memisahkan suaminya dengan istrinya yang lain, atau mengguna-guna suaminya agar selalu condong kepada dirinya. Semua ini merupakan perkara yang terlarang dalam agama Islam dan termasuk dosa yang sangat besar. Na’udzu billah min dzalik

Sumber: Tsalatsun Majlisan fi Irsyadil Ummah, Dr Ahmad bin Sulaiman al Uraini. (Abu Ahmad).
READ MORE - Poligami dan Kendalanya

Kamis, 10 Juni 2010

Kunci Hidup Sukses - K.H. Abdullah Gymnastiar

"Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu..." (Q. S Ali Imran (3) : 160)

Bagaimana kita memahami pengertian hidup sukses? Dari mana harus memulainya ketika kita ingin segera diperjuangkan? Tampaknya tidak terlalu salah bila ada orang yang telah berhasil menempuh jenjang pendidikan tinggi, bahkan lulusan luar negeri, lalu menganggap dirinya orang sukses. Mungkin juga seseorang yang gagal dalam menempuh jalur pendidikan formal belasan tahun lalu, tetapi saat ini berani menepuk dada karena yakin bahwa dirinya telah mencapai sukses. Mengapa demikian? Karena, ia telah memilih dunia wirausaha, lalu berusaha keras tanpa mengenal lelah, sehingga mewujudlah segala buah jerih payahnya itu dalam belasan perusahaan besar yang menguntungkan.

Seorang ayah dihari tuanya tersenyum puas karena telah berhasil mengayuh bahtera rumah tangga yang tentram dan bahagia, sementara anak anaknya telah ia antar ke gerbang cakrawala keberhasilan hidup yang mandiri. Seorang kiai atau mubaligh juga berusaha mensyukuri kesuksesan hidupnya ketika jutaan umat telah menjadi jamaahnya yang setia dan telah menjadikannya sebagai panutan, sementara pesantrennya selalu dipenuh sesaki ribuan santri. Pendek kata, adalah hak setiap orang untuk menentukan sendiri dari sudut pandang mana ia melihat kesuksesan hidup. Akan tetapi, dari sudut pandang manakah seyogyanya seorang muslim dapat menilik dirinya sebagai orang yang telah meraih hidup sukses dalam urusan dunianya?

Membangun Fondasi

Kalau kita hendak membangun rumah, maka yang perlu terlebih dahulu dibuat dan diperkokoh adalah fondasinya. Karena, fondasi yang tidak kuat sudah dapat dipastikan akan membuat bangunan cepat ambruk kendati dinding dan atapnya dibuat sekuat dan sebagus apapun. Sering terjadi menimpa sebuah perusahaan, misalnya yang asalnya memiliki kinerja yang baik, sehingga maju pesat, tetapi ternyata ditengah jalan rontok. Padahal, perusahaan tersebut tinggal satu dua langkah lagi menjelang sukses. Mengapa bisa demikian? ternyata faktor penyebabnya adalah karena didalamnya merajalela ketidakjujuran, penipuan, intrik dan aneka kezhaliman lainnya.

Tak jarang pula terjadi sebuah keluarga tampak berhasil membina rumah tangga dan berkecukupan dalam hal materi. Sang suami sukses meniti karir dikantornya, sang isteri pandai bergaul ditengah masyarakat, sementara anak-anaknya pun berhasil menempuh jenjang studi hingga ke perguruan tinggi, bahkan yang sudah bekerjapun beroleh posisi yang bagus. Namun apa yang terjadi kemudian?

Suatu ketika hancurlah keutuhan rumah tangganya itu karena beberapa faktor yang mungkin mental mereka tidak sempat dipersiapkan sejak sebelumnya untuk menghadapinya. Suami menjadi lupa diri karena harta, gelar, pangkat dan kedudukannya, sehingga tergelincir mengabaikan kesetiaannya kepada keluarga. Isteripun menjadi lupa akan posisinya sendiri, terjebak dalam prasangka, mudah iri terhadap sesamanya dan bahkan menjadi pendorong suami dalam berbagai perilaku licik dan curang. Anak-anakpun tidak lagi menemukan ketenangan karena sehari-hari menonton keteladanan yang buruk dan menyantap harta yang tidak berkah.

Lalu apa yang harus kita lakukan untuk merintis sesuatu secara baik? Alangkah indah dan mengesankan kalau kita meyakini satu hal, bahwa tiada kesuksesan yang sesungguhnya, kecuali kalau Allah Azza wa Jalla menolong segala urusan kita. Dengan kata lain apabila kita merindukan dapat meraih tangga kesuksesan, maka segala aspek yang berkaitan dengan dimensi sukses itu sendiri harus disandarkan pada satu prinsip, yakni sukses dengan dan karena pertolongan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan fondasi yang tidak bisa tidak harus diperkokoh sebelum kita membangun dan menegakkan mernara gading kesuksesan.

Sunnatullah dan Inayatullah

Terjadinya sesoang bisa mencapai sukses atau terhindar dari sesuatu yang tidak diharapkannya, ternyata amat bergantung pada dua hal yakni sunnatullah dan inayatullah. Sunatullah artinya sunnah-sunnah Allah yang mewujud berupa hukum alam yang terjadinya menghendaki proses sebab akibat, sehingga membuka peluang bagi perekayasaan oleh perbuatan manusia. Seorang mahasiswa ingin menyelesaikan studinya tepat waktu dan dengan predikat memuaskan. Keinginan itu bisa tercapai apabila ia bertekad untuk bersungguh-sungguh dalam belajarnya, mempersiapkan fisik dan pikirannya dengan sebaik-baiknya, lalu meningkatkan kuantitas dan kualitas belajarnya sedemikian rupa, sehingga melebihi kadar dan cara belajar yang dilakukan rekan-rekannya. Dalam konteks sunnatullah, sangat mungkin ia bisa meraih apa yang dicita-citakannya itu.

Akan tetapi, ada bis yang terjatuh ke jurang dan menewaskan seluruh penumpangnya, tetapi seorang bayi selamat tanpa sedikitpun terluka. Seorang anak kecil yang terjatuh dari gedung lantai ketujuh ternyata tidak apa-apa, padahal secara logika terjatuh dari lantai dua saja ia bisa tewas. Sebaliknya, mahasiswa yang telah bersungguh-sungguh berikhtiar tadi, bisa saja gagal total hanya karena Allah menakdirkan ia sakit parah menjelang masa ujian akhir studinya, misalnya. Segala yang mustahil menurut akal manusia sama sekali tidak ada yang mustahil bila inayatullah atau pertolongan Allah telah turun.

Demikian pula kalau kita berbisnis hanya mengandalkan ikhtiar akal dan kemampuan saja, maka sangat mungkin akan beroleh sukses karena toh telah menetapi prasyarat sunnatullah. Akan tetapi, bukankah rencana manusia tidak mesti selalu sama dengan rencana Allah. Dan adakah manusia yang mengetahui persis apa yang menjadi rencana Nya atas manusia? Boleh saja kita berjuang habis-habisan karena dengan begitu orang kafirpun toh beroleh kesuksesan. Akan tetapi, kalau ternyata Dia menghendaki lain lantas kita mau apa? mau kecewa? kecewa sama sekali tidak mengubah apapun. Lagipula, kecewa yang timbul dihati tiada lain karena kita amat menginginkan rencana Allah itu selalu sama dengan rencana kita. Padahal Dialah penentu segala kejadian karena hanya Dia yang Maha Mengetahui hikmah dibalik segala kejadian.

Rekayasa Diri

Apa kuncinya? Kuncinya adalah kalau kita menginginkan hidup sukses di dunia, maka janganlah hanya sibuk merekayasa diri dan keadaan dalam rangka ikhtiar dhahir semata, tetapi juga rekayasalah diri kita supaya menjadi orang yang layak ditolong oleh Allah. Ikhtiar dhahir akan menghadapkan kita pada dua pilihan, yakni tercapainya apa yang kita dambakan - karena faktor sunnatullah tadi - namun juga tidak mustahil akan berujung pada kegagalan kalau Allah menghendaki lain. Lain halnya kalau ikhtiar dhahir itu diseiringkan dengan ikhtiar bathin.

Mengawalinya dengan dasar niat yang benar dan ikhlas semata mata demi ibadah kepada Allah. Berikhtiar dengan cara yang benar, kesungguhan yang tinggi, ilmu yang tepat sesuai yang diperlukan, jujur, lurus, tidak suka menganiaya orang lain dan tidak mudah berputus asa. Senantiasa menggantungkan harap hanya kepada Nya semata, seraya menepis sama sekali dari berharap kepada makhluk. Memohon dengan segenap hati kepada Nya agar bisa sekiranya apa-apa yang tengah diikhtiarkan itu bisa membawa maslahat bagi dirinya mapun bagi orang lain, kiranya Dia berkenan menolong memudahkan segala urusan kita. Dan tidak lupa menyerahkan sepenuhnya segala hasil akhir kepada Dia Dzat Maha Penentu segala kejadian. Bila Allah sudah menolong, maka siapa yang bisa menghalangi pertolongan-Nya? Walaupun bergabung jin dan manusia untuk menghalangi pertolongan yang diturunkan Allah atas seorang hamba Nya sekali-kali tidak akan pernah terhalang karena Dia memang berkewajiban menolong hamba-hambaNya yang beriman.

"Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu. Jika Allah membiarkan kamu (tidak memberikan pertolongan) maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal" (QS Ali Imran (3) : 160).
READ MORE - Kunci Hidup Sukses - K.H. Abdullah Gymnastiar

Rabu, 09 Juni 2010

Mengubah dengan Kekuatan Tauladan - K.H. Abdullah Gymnastiar

Mudah-Mudahan kita semua tidak menjadi contoh keburukan bagi orang lain. Mudah-mudahan anak-anak kita tidak mencontoh perilaku buruk yang pernah khilaf kita, para orang tuanya lakukan. Dan mudah-mudahan pula anggota lingkungan masyarakat kita tidak menjadikan kita sebagai salah satu figur keburukan, akibat perilaku buruk yang kita lakukan.

Alangkah ruginya dalam hidup yang cuma sekali-kalinya ini dan orang lain meniru keburukan kita, naudxubillah. Ingatlah bahwa jika kita berperilaku buruk dan tidak bermoral, maka ketika orang berbicara, akan berbicara tentang keburukan kita. Apalagi jika orang lain mencontoh perilaku buruk itu, berarti kita juga akan memikul dosanya.

Namun seandainya justru orang atau masyarakat di sekitar kita yang berperilaku kurang baik, maka sudah sewajarnya bila kita menekadkan diri untuk mengubahnya menuju arah kebaikan. Lalu, bagaimana cara mengubah orang menjadi lebih baik secara efektif ?

Salah satu caranya adalah dengan kekuatan suri tauladan atau menjadi contoh terlebih dahulu. Jika ingin mengubah orang lain, maka pertanyaan pertama yang harus dilakukan adalah sudah pantaskah kita menjadi contoh kebaikan akhlak bagi orang lain? Sudahkah kita menjadi suri tauladan bagi apa yang kita inginkan ada pada diri orang lain itu?

Rasulullah SAW gemilang menyeru ummat ke jalan-Nya, mengubah karakter ummat dari zaman kegelapan menuju jalan penuh cahaya yang ditempuh hampir 23 tahun. Salah satu pilar strategi keberhasilannya adalah karena Rasul memiliki kekuatan suri tauladan yang sungguh luar biasa. Yakinlah bahwa cara paling gampang mengubah orang lain sesuai keinginan kita adalah dengan cara menjadikan diri kita sebagai media atau contoh yang layak ditiru.

Karenanya, jangan bercita-cita memiliki anak yang santun, lembut, kalau kesantunan dan kelembutan itu tidak ada dalam diri orang tuanya. Jangan bercita-cita punya anak yang tahu etika, kalau cara mendidik yang dilakukan orang tuanya tidak menggunakan etika. Sangat mustahil akan terwujud ketika para pimpinan ingin anggotanya berdisiplin, padahal disiplin itu bukan bagian dari diri pimpinannya. Contoh sederhana, mengapa P4 gagal menjadi pedoman hidup yang jadi acuan bangsa Indonesia ? Karena tidak ada contoh tauladannya. Siapa sekarang pemimpin bangsa ini yang paling Pancasilais ? Susah mencarinya. Seumpama mata air di pegunungan yang sudah keruh tercemar. Kalau dari sumbernya sudah keruh, walau yang di bawah di bening-beningkan juga tidak akan bisa. Di hilir menjadi keruh karena di hulunya juga keruh.

Orang tua ingin anak-anaknya tidak merokok padahal ternyata orang tuanya perokok berat, bagaimana mungkin ? Para guru ingin murid-muridnya tidak mengganja, padahal ganja itu awalnya dari rokok, dan ternyata para guru merokok di depan murid-muridnya. Jangan-jangan kita yang menjerumuskan mereka ?

Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta ada sebuah contoh menarik tentang mengapa anak-anak menjadi seorang perokok atau pengganja. Di salah satu dindingnya tergantung sebuah potret seorang ibu yang sedang menimang-nimang bayinya, dan ternyata si ibu ini melakukannya sambil merokok. Tidak bisa tidak. Perilaku si Ibu ini merupakan contoh bagi si bayi yang ada dipangkuannya.


AH, sahabat. Sayang sekali kita terlalu banyak menuntut pada orang lain, padahal sebenarnya yang paling layak kita tuntut adalah diri kita sendiri. Para guru bertanggung jawab kalau para murid akhlaknya menjadi jelek. Karena mungkin akhlak Pak Gurunya dan Akhlak BU Gurunya kurang baik. Lihat moral para mahasiswa yang bejat, kumpul kebo, mengganja, dan sebagainya. Tidak usah heran, lihatlah akhlak para dosennya, moral para dosennya yang mungkin tidak jauh berbeda. Santri di pondok-pondok jadi turun ibadahnya, jelek akhlaknya, jarang tahajutnya, lihat saja akhlak para ustadnya. Di kantor karyawan sering datang terlambat, kinerjanya tidak optimal, kasus kehilangan meningkat, lihat saja akhlak pimpinannya. Pimpinan mencuri, karyawan pun akan mencontohnya dengan mencuri pula.

Oleh karena itu, pertanyaan yang harus selalu kita lakukan adalah sudahkah diri kita ini menjadi contoh kebaikan atau belum ? Omong kosong kita bicara masalah disiplin atau masalah aturan, kalau ternyata kita sendiri belum membiasakan diri untuk berdisiplin atau taat aturan. Sehebat apapun kata-kata yang terlontar dari mulut ini, perilaku yang terpancar dari pribadi kita justru akan jauh berpengaruh lebih dahsyat daripada kata-kata.
Bersiap-siaplah untuk menderita bagi seorang ayah yang tidak bisa menjadi contoh kebaikan bagi anak-anaknya. Bersiaplah untuk memikul kepahitan bagi seorang ayah yang tidak dapat menjadi suri tauladan bagi keluarga dan keturunannya. Bersiap-siaplah untuk menghadapi perusahaan yang ruwet dan rumit kalau seorang atasan tidak menjadi contoh bagi karyawannya. Bersiaplah menghadapi kepusingan jikalau seorang pimpinan tidak menjadi contoh bagi yang dipimpinnya.

Ingat, jangan mimpi mengubah orang lain sebelum diawali dengan mengubah diri sendiri. Allah SWT, dengan tegas menyatakan kemurkaannya bagi orang yang menyuruh berperilaku apa-apa yang sebenarnya tidak ia lakukan.

"Sungguh besar kemurkaan di sisi ALLAH bagi orang yang berkata-kata apa-apa yang tidak diperbuatnya" (QS Ash Shaaf 21 : 3).

Bukan tidak boleh berkata-kata, tapi kemuliaan akhlak pribadi akan jauh lebih memperjelas kata-kata kita.
Dan menjadi contoh juga tidak akan efektif kecuali contoh itu penuh keikhlasan. Karena ada pula yang memberi contoh tapi riya, ingin dipuji, ingin dinilai orang lain hebat, ingin dihormati, dan ingin dihargai. Kalau tujuannya seperti ini, tidak akan berarti apa-apa. Hati hanya bisa disentuh oleh hati lagi. Contoh yang tidak ikhlas tidak akan dicontoh oleh orang lain. Contoh yang karena pujian, over acting tidak akan masuk kepada hati orang lain. Contoh haruslah dilakukan dengan ikhlas. Jangan berharap atau bahkan berpikir untuk dipuji dan dihormati.

Nah Sahabat. Selalulah tanya pada diri ini contoh apa yang akan kita tunjukkan dalam hidup yang sekali-kalinya ini. Apakah contoh tauladan kebaikan ? Ataukah malah sebaliknya contoh tauladan keburukan ? Naudzhubillah.

Apakah contoh pribadi yang matang ataukah malah pribadi yang kekanak-kanakan? Karenanya menjadi suatu keharusan bagi seorang ayah, seorang ibu, seorang pemimpin, dan bagi siapa pun untuk memberikan contoh terbaik dari dirinya. Hidup cuma sekali dan belum tentu panjang umur. Akan menjadi suatu yang sangat indah jikalau kenangan dan warisan terbesar bagi keluarga dan lingkungan sekitar adalah terpancarnya cahaya pribadi kita yang layak di tauladani oleh siapa pun. Semuanya tiada lain adalah buah dari mulianya akhlak.

Bandung, 29 Oktober 1999
READ MORE - Mengubah dengan Kekuatan Tauladan - K.H. Abdullah Gymnastiar

Selasa, 08 Juni 2010

MENGOPTIMALKAN DAYA UBAH - K.H. Abdullah Gymnastiar

Mengubah perilaku ternyata tidak cukup hanya dengan contoh, akan tetapi kita juga harus mau mendidik, melatih, dan membina secara sistematis, berkesinambungan, dan terus menerus. Seorang pemimpin haruslah punya kesabaran dalam mendidik, membimbing, melatih, dan membina yang dipimpinnya dengan penuh kasih sayang. Bahkan dia harus memiliki kesabaran pangkat tiga. Sabar, sabar, dan sabar. Sungguh, proses itu adalah bagian dari perubahan, pepatah mengatakan ‘ala bisa karena biasa’. Karenanya, daripada membeli barang-barang di rumah yang mahal-mahal dan tidak terlalu diperlukan, lebih baik uangnya digunakan untuk mendidik anak, melatih anak ita supaya mampu hidup lebih baik.

Sebuah illustrasi, suatu waktu ada sebuah keluarga sederhana yang sungguh sangat mengesankan. Di rumahnya tidak banyak barang berharga, tidak ada barang mewah, tapi semua anak-anaknya ternyata bisa menyelesaikan kuliah S-1, S-2, bahkan S-3 dengan baik. Akhlaknya juga bagus. Ketika ditanya, "Saya lihat penghasilan Bapak lebih dari cukup, tapi kenapa keluarga Bapak nampak begitu sederhana?". Si Bapak ini menjawab terus terang, "Penghasilan yang saya dapat selama ini saya kumpulkan supaya anak-anak saya bisa belajar terus menerus, bisa berlatih terus menerus dan bisa terdidik terus menerus. Prioritas keluarga kami bukan membeli barang-barang yang bagus. Yang terpenting adalah bagaimana agar anak-anak kami punya kesempatan untuk terus melatih diri."

Subhanallaah, demikian indahnya kebersamaan sebuah keluarga yang memiliki komitmen yang luar biasa akan penambahan ilmu pengetahuan.

Sembari mendidik dan melatih, maka semestinya kita buat pula aturan atau sistem. Buatlah aturan di rumah kita, di kantor kita, di organisasi kita, atau dimana pun agar orang lain bisa terbantu untuk berubah sesuai yang diinginkan. Suatu sistem akan segera hancur berantakan jika tidak memiliki aturan main. Jalan raya yang tanpa aturan, akan kacau balau, macet dimana-mana. Setiap orang berebutan, saling mendahului, dan berhenti dimana saja. Tanpa aturan, semua berantakan. Karenanya semua harus ada aturannya.

Begitu pun rumah tangga yang tidak memiliki aturan main yang benar, yakin sekali rumah tangga yang semacam ini akan segera hancur. Anak tidak dididik agama secara serius, ibadah dibiarkan semaunya, dan tidak diberi contoh yang benar oleh orang tuanya. Saat-saat bersama di rumah tidak ada aturannya. Tidak punya aturan yang real bagaimana mendidik anak menjadi lebih baik. Karenanya rumah tangga yang tidak punya komitmen untuk sebuah aturan bahkan lagi tidak tahu aturan, akan cenderung saling menyakiti, saling melukai, dan saling menghancurkan.

Tegakkanlah aturan yang adil, yang dibuat atas kesepakatan bersama. Lingkungan kerja kita harus merupakan sistem yang kondusif yang dapat membantu orang berubah menjadi lebih baik. Haruslah terjadwal jam berapa baca Al Qur’an, jam berapa bersama memecahkan masalah, jam berapa bertukar pikiran, jam berapa harus bersilaturahmi, jam berapa harus bercengkerama, dan lain sebagainya. Kita harus membuat aturan yang jelas. Yakinlah bahwa rumah tangga yang tidak punya aturan, tidak punya sistem yang bagus, lambat laun akan berantakan dan menderita.

Semua perubahan ini akan berarti lagi jika didukung oleh kekuatan ruhiyah, yaitu do’a. Dan ternyata orang bisa berubah dengan kekuatan do’a. Ingatlah bahwa do’a adalah pengubah takdir. Banyak hal yang tidak bisa dilakukan dengan kekuatan fisik, tapi yakinlah bahwa Allah SWT Maha Menguasai, Maha Pembolak-balik hati setiap makhluk-Nya.

Karenanya, luar biasa sekali kekuatan do’a ini. Betapa tidak? Rumah tangga yang tidak tegak ibadahnya, rumah tangga yang jauh dari agama, rumah tangga yang tidak menambah ilmu dengan baik, akan segera dipusingkan oleh bergelombanngya masalah yang datang.

Sama saja dengan perusahaan yang karyawannya jarang shalat, aturan tidak ditaati, pimpinan tidak memberi contoh yang baik, bersiap-siaplah untuk segera bangkrut. Kondisi negara kita saat ini pun demikian, kehilangan contoh suri tauladan, pendidikan SDM-nya tidak jelas mau dibawa kemana, sistemnya juga berantakan, dan sebagian lagi, ibadahnya juga semrawut. Jangan heran jika yang kita dapati adalah derita demi derita, kehinaan demi kehinaan, naudzubillaah.

Karena itu, kekuatan ibadah, kekuatan do’a, kekuatan munajat harus menjadi tulang punggung, menjadi senjata untuk mengubah anak-anak juga teman-teman kita menuju arah kebaikan. Tegakkanlah di rumah tangga kita aturan dengan baik, panjatkan pula do’a secara terus menerus, melimpah dari lisan kita. Bantu agar orang lain menjadi lebih baik. Buat aturan yang benar, kondusif, dan pastikan diri kita jadi contoh. Mudah-mudahan hidup yang cuma sekali-kalinya ini bisa bermamfaat dengan mengubah orang lain menuju kebaikan.

Rasulullah SAW itu meskipun sedikit bicaranya, tapi jadi monumental sampai sekarang dalam bentuk hadits. Hal ini terjadi karena pribadinya sungguh luar biasa. Bermilyar kata terungkap dari pribadinya. Ketulusan beliau dalam mengajak orang lain berbuat lebih baik, membuat pribadi dan kata-katanya tersimpan di hati orang lain. Ingat baik-baik, hati hanya bisa disentuh oleh hati lagi. Emosional dalam memberi contoh, emosional dalam mendidik, emosional dalam membuat aturan, emosional dalam bersikap, tidak akan masuk ke hati orang lain, bahkan justru akan membuat hati mereka terluka.

Seharusnya diri pribadi kita ini terus menerus melimpah pancaran bagai mata air, menggelegak kasih sayang kita kepada orang lain. Setiap melihat orang yang berlumur dosa, ada keinginan di hati kita agar orang tersebut bisa bertaubat. Melihat orang yang tersesat di jalan Allah, ada keinginan hati ini agar orang tersebut dapat tuntunan supaya selamat dunia dan akhiratnya. Melihat orang yang nakal, ingin hati ini agar dia menjadi shaleh. Jangan pernah hidup dalam kebencian dan kedendaman. Kebencian dan kedendaman dalam mebuat contoh, aturan, nasihat, dan pelatihan yang dilakukan, tidak akan berarti apapun.

Sistem pelatihan yang penuh kemarahan semacam Ospek, tidak akan berhasil dengan baik kalau para mentornya, para panitianya melakukan segala bentuk kegiatannya dengan penuh kemarahan, angkara murka, tidak jadi suri tauladan yang baik. Apa yang diharapkan oleh mahasiswa baru dari para kakak kelasnya kalau mereka berperilaku semacam itu? Tidak ada perubahan kecuali dengan hati yang tulus, suri tauladan yang nyata.

Mudah-mudahan kita semua dapat mengevaluasi diri masing-masing. Hidup cuma sekali, kenangan terindah bagi anak-anak kita adalah kepribadian ayah ibunya yang benar-benar mulia. Kenangan terindah bagi masyarakat di sekitar kita adalah kearifan diri kita. Jangan sampai orang sibuk membicarakan contoh keburukan pribadi kita, naudzubillaah.

(Sumber : Tabloid MQ EDISI 02/TH.II/JUNI 2001)

READ MORE - MENGOPTIMALKAN DAYA UBAH - K.H. Abdullah Gymnastiar

Senin, 07 Juni 2010

Nikmati Proses - K.H. Abdullah Gymnastiar

Sebenarnya yang harus kita nikmati dalam hidup ini adalah proses. Mengapa? Karena yang bernilai dalam hidup ini ternyata adalah proses dan bukan hasil. Kalau hasil itu ALLOH yang menetapkan, tapi bagi kita punya kewajiban untuk menikmati dua perkara yang dalam aktivitas sehari-hari harus kita jaga, yaitu selalu menjaga setiap niat dari apapun yang kita lakukan dan selalu berusaha menyempurnakan ikhtiar yang dilakukan, selebihnya terserah ALLOH SWT.

Seperti para mujahidin yang berjuang membela bangsa dan agamanya, sebetulnya bukan kemenangan yang terpenting bagi mereka, karena menang-kalah itu akan selalu dipergilirkan kepada siapapun. Tapi yang paling penting baginya adalah bagaimana selama berjuang itu niatnya benar karena ALLOH dan selama berjuang itu akhlaknya juga tetap terjaga. Tidak akan rugi orang yang mampu seperti ini, sebab ketika dapat mengalahkan lawan berarti dapat pahala, kalaupun terbunuh berarti bisa jadi syuhada.

Ketika jualan dalam rangka mencari nafkah untuk keluarga, maka masalah yang terpenting bagi kita bukanlah uang dari jualan itu, karena uang itu ada jalurnya, ada rizkinya dari ALLOH dan semua pasti mendapatkannya. Karena kalau kita mengukur kesuksesan itu dari untung yang didapat, maka akan gampang sekali bagi ALLOH untuk memusnahkan untung yang didapat hanya dalam waktu sekejap. Dibuat musibah menimpanya, dikenai bencana, hingga akhirnya semua untung yang dicari berpuluh-puluh tahun bisa sirna seketika.

Walhasil yang terpenting dari bisnis dan ikhtiar yang dilakukan adalah prosesnya. Misal, bagaimana selama berjualan itu kita selalu menjaga niat agar tidak pernah ada satu miligram pun hak orang lain yang terambil oleh kita, bagaimana ketika berjualan itu kita tampil penuh keramahan dan penuh kemuliaan akhlak, bagaimana ketika sedang bisnis benar-benar dijaga kejujuran kita, tepat waktu, janji-janji kita penuhi.

Dan keuntungan bagi kita ketika sedang berproses mencari nafkah adalah dengan sangat menjaga nilai-nilai perilaku kita. Perkara uang sebenarya tidak usah terlalu dipikirkan, karena ALLOH Mahatahu kebutuhan kita lebih tahu dari kita sendiri. Kita sama sekali tidak akan terangkat oleh keuntungan yang kita dapatkan, tapi kita akan terangkat oleh proses mulia yang kita jalani.

Ini perlu dicamkan baik-baik bagi siap pun yang sedang bisnis bahwa yang termahal dari kita adalah nilai-nilai yang selalu kita jaga dalam proses. Termasuk ketika kuliah bagi para pelajar, kalau kuliah hanya menikmati hasil ataupun hanya ingin gelar, bagaimana kalau meninggal sebelum diwisuda? Apalagi kita tidak tahu kapan akan meninggal. Karenanya yang paling penting dari perkuliahan, tanya dulu pada diri, mau apa dengan kuliah ini? Kalau hanya untuk mencari isi perut, kata Imam Ali, "Orang yang pikirannya hanya pada isi perut, maka derajat dia tidak akan jauh beda dengan yang keluar dari perutnya". Kalau hanya ingin cari uang, hanya tok uang, maka asal tahu saja penjahat juga pikirannya hanya uang.

Bagi kita kuliah adalah suatu ikhtiar agar nilai kemanfaatan hidup kita meningkat. Kita menuntut ilmu supaya tambah luas ilmu hingga akhirnya hidup kita bisa lebih meningkat manfaatnya. Kita tingkatkan kemampuan salah satu tujuannya adalah agar dapat meningkatkan kemampuan orang lain. Kita cari nafkah sebanyak mungkin supaya bisa mensejahterakan orang lain.

Dalam mencari rizki ada dua perkara yang perlu selalu kita jaga, ketika sedang mencari kita sangat jaga nilai-nilainya, dan ketika dapat kita distribusikan sekuat-kuatnya. Inilah yang sangat penting. Dalam perkuliahan, niat kita mau apa nih? Kalau mau sekolah, mau kuliah, mau kursus, selalu tanyakan mau apa nih? Karena belum tentu kita masih hidup ketika diwisuda, karena belum tentu kita masih hidup ketika kursus selesai.

Ah, Sahabat. Kalau kita selama kuliah, selama sekolah, selama kursus kita jaga sekuat-kuatnya mutu kehormatan, nilai kejujuran, etika, dan tidak mau nyontek lalu kita meninggal sebelum diwisuda? Tidak ada masalah, karena apa yang kita lakukan sudah jadi amal kebaikan. Karenanya jangan terlalu terpukau dengan hasil.

Saat melamar seseorang, kita harus siap menerima kenyataan bahwa yang dilamar itu belum tentu jodoh kita. Persoalan kita sudah datang ke calon mertua, sudah bicara baik-baik, sudah menentukan tanggal, tiba-tiba menjelang pernikahan ternyata ia mengundurkan diri atau akan menikah dengan yang lain. Sakit hati sih wajar dan manusiawi, tapi ingat bahwa kita tidak pernah rugi kalau niatnya sudah baik, caranya sudah benar, kalaupun tidak jadi nikah dengan dia. Siapa tahu ALLOH telah menyiapkan kandidat lain yang lebih cocok.

Atau sudah daftar mau pergi haji, sudah dipotret, sudah manasik, dan sudah siap untuk berangkat, tiba-tiba kita menderita sakit sehingga batal untuk berangkat. Apakah ini suatu kerugian? Belum tentu! Siapa tahu ini merupakan nikmat dan pertolongan dari ALLOH, karena kalau berangkat haji belum tentu mabrur, mungkin ALLOH tahu kapasitas keimanan dan kapasitas keilmuan kita.

Oleh sebab itu, sekali lagi jangan terpukau oleh hasil, karena hasil yang bagus menurut kita belum tentu bagus menurut perhitungan ALLOH. Kalau misalnya kualifikasi mental kita hanya uang 50 juta yang mampu kita kelola. Suatu saat ALLOH memberikan untung satu milyar, nah untung ini justru bisa jadi musibah buat kita. Karena setiap datangnya rizki akan efektif kalau iman kitanya bagus dan kalau ilmu kitanya bagus. Kalau tidak, datangnya uang, datangnya gelar, datangnya pangkat, datangnya kedudukan, yang tidak dibarengi kualitas pribadi kita yang bermutu sama dengan datangnya musibah. Ada orang yang hina gara-gara dia punya kedudukan, karena kedudukannya tidak dibarengi dengan kemampuan mental yang bagus, jadi petantang-petenteng, jadi sombong, jadi sok tahu, maka dia jadi nista dan hina karena kedudukannya.

Ada orang yang terjerumus, bergelimang maksiat gara-gara dapat untung. Hal ini karena ketika belum dapat untung akan susah ke tempat maksiat karena uangnya juga tidak ada, tapi ketika punya untung sehingga uang melimpah-ruah tiba-tiba dia begitu mudahnya mengakses tempat-tempat maksiat.

Nah, Sahabat. Selalulah kita nikmati proses. Seperti saat seorang ibu membuat kue lebaran, ternyata kue lebaran yang hasilnya begitu enak itu telah melewati proses yang begitu panjang dan lama. Mulai dari mencari bahan-bahannya, memilah-milahnya, menyediakan peralatan yang pas, hingga memadukannya dengan takaran yang tepat, dan sampai menungguinya di open. Dan lihatlah ketika sudah jadi kue, baru dihidangkan beberapa menit saja, sudah habis. Apalagi biasanya tidak dimakan sendirian oleh yang membuatnya. Bayangkan kalau orang membuat kue tadi tidak menikmati proses membuatnya, dia akan rugi karena dapat capeknya saja, karena hasil proses membuat kuenya pun habis dengan seketika oleh orang lain. Artinya, ternyata yang kita nikmati itu bukan sekedar hasil, tapi proses.

Begitu pula ketika ibu-ibu punya anak, lihatlah prosesnya. Hamilnya sembilan bulan, sungguh begitu berat, tidur susah, berbaring sulit, berdiri berat, jalan juga limbung, masya ALLOH. Kemudian saat melahirkannya pun berat dan sakitnya juga setengah mati. Padahal setelah si anak lahir belum tentu balas budi. Sudah perjuangan sekuat tenaga melahirkan, sewaktu kecil ngencingin, ngeberakin, sekolah ditungguin, cengengnya luar biasa, di SD tidak mau belajar (bahkan yang belajar, yang mengerjakan PR justru malah ibunya) dan si anak malah jajan saja, saat masuk SMP mulai kumincir, masuk SMU mulai coba-coba jatuh cinta. Bayangkanlah kalau semua proses mendidik dan mengurus anak itu tidak pakai keikhlasan, maka akan sangat tidak sebanding antara balas budi anak dengan pengorbanan ibu bapaknya. Bayangkan pula kalau menunggu anaknya berhasil, sedangkan prosesnya sudah capek setengah mati seperti itu, tiba-tiba anak meninggal, naudzhubillah, apa yang kita dapatkan?

Oleh sebab itu, bagi para ibu, nikmatilah proses hamil sebagai ladang amal. Nikmatilah proses mengurus anak, pusingnya, ngadat-nya, dan rewelnya anak sebagai ladang amal. Nikmatilah proses mendidik anak, menyekolahkan anak, dengan penuh jerih payah dan tetesan keringat sebagai ladang amal. Jangan pikirkan apakah anak mau balas budi atau tidak, sebab kalau kita ikhlas menjalani proses ini, insya ALLOH tidak akan pernah rugi. Karena memang rizki kita bukan apa yang kita dapatkan, tapi apa yang dengan ikhlas dapat kita lakukan. ***

READ MORE - Nikmati Proses - K.H. Abdullah Gymnastiar

Minggu, 06 Juni 2010

Potensi Ruhiah - K.H. Abdullah Gymnastiar

Ternyata kekuatan adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh siapapun yang ingin memperoleh kemenangan. Terbukti jikalau badan lemah, ekonomi lemah, otak lemah, kepandaian lemah, kita tidak dapat berperan sebagai makhluk unggul yang membawa manfaat banyak, bahkan justru sebaliknya kita menjadi tertindas, baik oleh hawa nafsu, oleh syetan terkutuk, atau juga oleh makhluk-makhluk yang tidak menyukai kebenaran. Karenanya sudah menjadi suatu keharusan bagi siapapun untuk terus-menerus menggalang aneka potensi kekuatan yang ada pada dirinya.

Hanya saja harus kita sadari pula bahwa kekuatan itu tidak cukup hanya kekuatan lahir saja. Karena bagi siapapun yang berusaha membangun kekuatan ekonomi dengan meyakini bahwa hanya dengan kekuatan ekonomi itulah yang akan membuat dirinya menang, kuat, tanpa dibarengi kekuatan lain, maka akan hancurlah dia.

Sudah terlalu banyak contohnya, tengok saja ketika zaman masih ada Uni Soviet, pastilah saat itu di negara ini tidak kurang para profesornya, ada ahli ekonomi, ada ahli keuangan, ada ahli perencanaan pembangunan, ada juga ahli militer, dan ahli di berbagai bidang lainnya, tapi ternyata Uni Soviet yang nampak begitu kokohnya bisa rontok seketika.

Begitu juga kalau kita menganggap bahwa hanya kekuatan senjata sebagai satu-satunya kekuatan yang akan memenangkan pertempuran, kita saksikan lagi bagaimana Rusia dengan peralatan dan perlengkapan tempurnya yang begitu lengkap, begitu banyak personilnya, begitu kuat dukungan logistiknya, ternyata dipermalukan di Afghanistan. Bahkan gempuran berikutnya ke Chechnya, sebuah negeri yang begitu kecil mungil, ternyata Chechnya sampai saat ini masih bisa bertahan.

Lalu, adakah kekuatan lain yang mampu memenangkan setiap pertempuran? Ada! Kekuatan itu tiada lain kekuatan dari dalam diri kita sendiri, yang kadang begitu saja kita melupakannya. Padahal kalau kita mampu membangunnya dengan sungguh-sungguh, ia akan menjadi sebuah kekuatan yang teramat dahsyat.

Inilah kekuatan tanpa biaya, tanpa memerlukan pertolongan orang lain, tapi bila saja dibina dan dioptimalkan, maka ia adalah modal yang luar biasa dahsyat dalam mengarungi kehidupan ini. Kekuatan apakah itu?!

Dikisahkan pada abad ke-7 Hijriah, di saat kekuatan kekhalifahan Islam mulai meredup, terjadi pertempuran yang sangat dahsyat dan monumental yaitu ketika bangsa Tartar dibawah pimpinan Jengis Khan, menyerbu negeri-negeri Islam bagai air bah, bergelombang bagai badai yang garang, menyapu dari segala penjuru, dan kemudian meluluhlantakan semua negeri-negeri yang dilaluinya. Bahkan diceritakan sungai Dajlah di tengah kota Baghdad yang begitu bening menjadi hitam kelam airnya oleh tinta dari ratusan buku perpustakaan yang dibuang ke sungai itu oleh tentara Tartar.

Kita kenang masa ini sebagai masa kekhalifahan Islam yang paling kelam, saat dimana sebagian besar negeri Islam dibasmi dan dilindas habis oleh bangsa Tartar ini. Barisan bala tentaranya seakan-akan tidak pernah terbendung dan terkalahkan. Pedang-pedang sepertinya menjadi tumpul tiada berdaya menyentuh tubuh mereka. Sampai-sampai munculah mitos, "Tartar takkan pernah terkalahkan".

Berselang beberapa tahun setelah kejatuhan petama kalinya negeri-negeri Islam ini. Tersebutlah suatu kisah dimana ada seorang syeikh bernama Syeikh Jamaludin dari Bukhara. Beliau adalah seorang yang bersih, mursyid yang tulus, walaupun secara lahiriah fisiknya sudah berkurang kemampuannya.

Suatu waktu ia berjalan-jalan bersama sahabat-sahabat dan santri-santrinya, hingga tanpa disadari mereka telah memasuki wilayah kekuasan bangsa Tartar, yang waktu itu dipimpin oleh seorang taklak (gubernur), yaitu Taklak Timur Khan (Timur Lenk), seorang cucu Jengis Khan.

Begitu masuk wilayah bangsa Tartar ini yang kebetulan beliau memasuki wilayah berburu Sang Taklak, maka serta merta ditangkaplah mereka, dan langsung dibawa menghadap Sang Taklak yang cucu Jengis Khan ini.

Bertanyalah Sang Taklak, "Engkau siapa dan darimana …?"

"Saya dari Bukhara dan seorang Parsi"

Mendengar jawaban ini Sang Taklak serta merta tertawa terkekeh-kekeh seraya berkata meremehkan,

"Oo, orang-orang Parsi ini lebih rendah dan lebih hina dari seekor anjing" ujarnya dengan pandangan mengejek.

"Ya, benar! Andaikata kami tidak diberi cahaya kemuliaan dengan agama yang benar, niscaya kami lebih hina daripada seekor anjing" Jawab Syeikh Jamaludin mantap.

Sebuah jawaban yang disertai nur kekuatan keyakinan, rupanya selalu membuat terngiang-ngiang di telinga Sang Taklak. ‘Ya, Kami jauh lebih hina daripada seekor anjing, andaikata tidak dimuliakan dengan agama yang benar’ Sang Taklak merenung memikirkan kata-kata ini, "Ada apa dibalik kata-kata yang ringkas ini?!" Pikirnya. Begitu menggelitiknya jawaban Syeikh Jamaludin ini sehingga suatu saat dipanggillah ia kembali oleh Sang Taklak ke istana.

"Apa yang kau maksudkan dengan kata-kata yang dulu pernah engkau ucapkan itu?" Bertanyalah Sang Kaisar.

Dengan ijin ALLOH Syeikh Jamaludin ini menjelaskan dengan begitu bersemangatnya tentang keindahan Islam. Penjelasan yang merupakan buah dari perasaan dan kecintaannya kepada Islam. Uraiannya disertai pula dengan raut muka, perilaku, yang sebanding dengan keindahan yang disampaikannya. Dijelaskan pula, betapa kekufuran telah membawa martabat manusia merosot lebih hina daripada seekor anjing.

Mendengar uraian ini, tergetarlah hati Sang Taklak hingga akhirnya terbukalah pintu hatinya untuk menerima Islam, hanya saja pada saat itu masih ada satu hal yang mengganjalnya, "Aku belum menjadi kaisar, saat ini masih orang tuaku yang menjadi penguasa, aku berjanji seandainya aku nanti jadi penguasa, aku akan masuk Islam." Janji Sang Taklak.

Waktupun berselang. Suatu saat menjelang Syeikh Jamaludin wafat, diberitahukanlah perihal janji kaisar ini kepada anaknya yang bernama Ryasidudin, "Wahai anakku, Taklak Timur Khan akan menjadi kaisar, andaikata dia sudah resmi jadi kaisar, datangilah dan sampaikan salam dariku serta ingatkan kepadanya akan janji yang dulu pernah diucapkannya".

Ketika benar Syeikh Jamaludin wafat, puteranya sengaja datang ke perkemahan Sang Taklak Timur Khan untuk melaksanakan wasiat orang tuanya, namun karena ia dianggap orang asing yang tidak dikenal sampai disana ia ditolak tidak boleh masuk. Seraya memohon pertolongan ALLOH, ia memutar otaknya, sehingga munculah idenya.

Saat malam melepas gulitanya, dan fajar shubuh mulai menyingsing, segera saja ia mengumandangkan azan dengan begitu kerasnya sampai-sampai Sang Taklak Timur Khan yang berada di dalam kompleks perkemahan tentaranya terbangun seraya bertanya-tanya, "Siapa itu yang berteriak-teriak di malam buta seperti ini? Siapa dia berani kurang ajar mengganggu tidurku?" Begitu marahnya Sang Kaisar ini. Putera Syeikh pun ditangkap sehingga kemudian dibawa menghadap pada sang kaisar.

Begitu bertemu muka dengan sang kaisar, putera Syeikh Jamaludin ini langsung memperkenalkan diri, "Saya putra Syeikh Jamaludin menyampaikan salam dari beliau". Ketika mendengar nama ‘Syekh Jamaludin’--yang beberapa tahun lalu akrab ditelinganya--disebut, Sang Kaisar tiba-tiba seperti api disiram air, reda marahnya dan luluh hatinya.

"Saya hanya akan mengingatkan janji yang pernah tuan ucapkan dengan beliau" Lanjut putera Syeikh Jamaludin ini. Teringatlah sang kaisar akan janjinya, sehingga pada saat itu juga Kaisar Timur Khan mengucap dua kalimah syahadat sebagai tanda bahwa ia benar-benar masuk Islam.

Kala itulah bangsa Tartar benar-benar berubah dari yang tadinya berwajah bengis, kejam, dan melindas habis menjadi bangsa yang berakhlak mulia. Pada saat itulah seluruh penduduk kerajaannya menerima cahaya kemuliaan Islam.

Sungguh luarbiasa, dari yang tadinya meluluhlantakan Islam dengan kekuatan senjata, akhirnya menjadi luluh lantak hatinya hanya oleh perkataan. Ratusan ribu orang menentangnya dengan kekuatan senjata, tidak ada yang mampu mengalahkan, tapi hanya dengan beberapa patah kata yang menghunjam ke hati telah membuat negeri yang tidak pernah terkalahkan malah masuk dalam semburat cahaya Islam, bahkan menjadi benteng Islam yang begitu kokohnya saat itu.

Bekasnya pun nampak sampai sekarang, seperti di Rusia, Kaukasus, Asia Tengah dan sekitarnya ternyata adalah buah dari bangsa yang tadinya menghancurkan Islam secara fisik karena kekuatannya memang tidak tertahankan, namun akhirnya menjadi benteng Islam. Mengapa?

Ternyata karena ada satu kekuatan lain yang mampu mengalahkannya, yaitu kekuatan ruhiah. Syeikh Jamaludin adalah seorang ulama yang begitu tinggi cahaya ruhiahnya. Kata-katanya, sorot matanya, cara berjalannya, sikapnya, dan semua dalam dirinya ternyata memancarkan energi yang betul-betul membuat orang yang mendengar terbuka hatinya.

Satu patah kata atau dua patah kata dari orang yang sudah tercahayai hatinya, maka kata-kata itu bagai gelombang-gelombang yang bisa menyentuh, bagai magnet yang bisa menyedot, begitu hebat kekuatannya, sehingga daya ubahnya pun sungguh luar biasa dahsyatnya.

Inilah kisah bagaimana seorang mursyid yang bersih, jujur, dan tulus, walau tanpa kekuatan fisik yang berimbang, tapi karena kekuatan ruhiahnya begitu dahsyat, ternyata mampu membolak-balikan hati, mengislamkan yang belum Islam, meluruskan yang tersesat, dan menjadi jalan bertaubat bagi orang yang berlumur dosa. Allahuakbar. ***

READ MORE - Potensi Ruhiah - K.H. Abdullah Gymnastiar

Sabtu, 05 Juni 2010

PRIBADI MUSLIM BERPRESTASI - K.H. Abdullah Gymnastiar

Sekiranya kita hendak berbicara tentang Islam dan kemuliaannya, ternyata tidaklah cukup hanya berbicara mengenai ibadah ritual belaka. Tidaklah cukup hanya berbicara seputar shaum, shalat, zakat, dan haji. Begitupun jikalau kita berbicara tentang peninggalan Rasulullah SAW, maka tidak cukup hanya mengingat indahnya senyum beliau, tidak hanya sekedar mengenang keramah-tamahan dan kelemah-lembutan tutur katanya, tetapi harus kita lengkapi pula dengan bentuk pribadi lain dari Rasulullah, yaitu : beliau adalah orang yang sangat menyukai dan mencintai prestasi!

Hampir setiap perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW selalu terjaga mutunya. Begitu mempesona kualitasnya. Shalat beliau adalah shalat yang bermutu tinggi, shalat yang prestatif, khusyuk namanya. Amal-amal beliau merupakan amal-amal yang terpelihara kualitasnya, bermutu tinggi, ikhlas namanya. Demikian juga keberaniannya, tafakurnya, dan aneka kiprah hidup keseharian lainnya. Seluruhnya senantiasa dijaga untuk suatu mutu yang tertinggi.

Ya, beliau adalah pribadi yang sangat menjaga prestasi dan mempertahankan kualitas terbaik dari apa yang sanggup dilakukannya. Tidak heran kalau Allah Azza wa Jalla menegaskan, "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah ..." (QS. Al Ahzab [33] : 21)

Kalau ada yang bertanya, mengapa sekarang umat Islam belum ditakdirkan unggul dalam kaitan kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi ini? Seandainya kita mau jujur dan sudi merenung, mungkin ada hal yang tertinggal di dalam menyuritauladani pribadi Nabi SAW. Yakni, kita belum terbiasa dengan kata prestasi. Kita masih terasa asing dengan kata kualitas. Dan kita pun kerapkali terperangah manakala mendengar kata unggul. Padahal, itu merupakan bagian yang sangat penting dari peninggalan Rasulullah SAW yang diwariskan untuk umatnya hingga akhir zaman.

Akibat tidak terbiasa dengan istilah-istilah tersebut, kita pun jadinya tidak lagi merasa bersalah andaikata tidak tergolong menjadi orang yang berprestasi. Kita tidak merasa kecewa ketika tidak bisa memberikan yang terbaik dari apa yang bisa kita lakukan. Lihat saja shalat dan shaum kita, yang merupakan amalan yang paling pokok dalam menjalankan syariat Islam. Kita jarang merasa kecewa andaikata shalat kita tidak khusyuk. Kita jarang merasa kecewa manakala bacaan kita kurang indah dan mengena. Kita pun jarang kecewa sekiranya shaum Ramadhan kita berlalu tanpa kita evaluasi mutunya.

Kita memang banyak melakukan hal-hal yang ada dalam aturan agama tetapi kadang-kadang tidak tergerak untuk meningkatkan mutunya atau minimal kecewa dengan mutu yang tidak baik. Tentu saja tidak semua dari kita yang memiliki kebiasaan kurang baik semacam ini. Akan tetapi, kalau berani jujur, mungkin kita termasuk salah satu diantara yang jarang mementingkan kualitas.

Padahal, adalah sudah merupakan sunnatullah bahwa yang mendapatkan predikat terbaik hanyalah orang-orang yang paling berkualitas dalam sisi dan segi apa yang Allah takdirkan ada dalam episode kehidupan dunia ini. Baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi, Allah Azza wa Jalla selalu mementingkan penilaian terbaik dari mutu yang bisa dilakukan.

Misalnya saja shalat, "Qadaflahal mu’minuun. Alladziina hum fii shalaatihim" (QS. Al Mu’minuun [23] : 1-2). Amat sangat berbahagia serta beruntung bagi orang yang khusyuk dalam shalatnya. Artinya, shalat yang terpelihara mutunya, yang dilakukan oleh orang yang benar-benar menjaga kualitas shalatnya. Sebaliknya, "Fawailullilmushalliin. Alladziina hum’an shalatihim saahuun" (QS. Al Maa’uun [107] : 4-5). Kecelakaanlah bagi orang-orang yang lalai dalam shalatnya!

Amal baru diterima kalau benar-benar bermutu tinggi ikhlasnya. Allah Azza wa Jalla berfirman, "Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat serta menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus" (QS. Al Bayyinah [98] : 5). Allah pun tidak memerintahkan kita, kecuali menyempurnakan amal-amal ini semata-mata karena Allah. Ada riya sedikit saja, pahala amalan kita pun tidak akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla. Ini dalam urusan ukhrawi.

Demikian juga dalam urusan duniawi produk-produk yang unggul selalu lebih mendapat tempat di masyarakat. Lebih mendapatkan kedudukan dan penghargaan sesuai dengan tingkat keunggulannya. Para pemuda yang unggul juga bisa bermamfaat lebih banyak daripada orang-orang yang tidak memelihara dan meningkatkan mutu keunggulannya.

Pendek kata, siapapun yang ingin memahami Islam secara lebih cocok dengan apa-apa yang telah dicontohkan Rasul, maka bagian yang harus menjadi pedoman hidup adalah bahwa kita harus tetap tergolong menjadi orang yang menikmati perbuatan dan karya terbaik, yang paling berkulitas. Prestasi dan keunggulan adalah bagian yang harus menjadi lekat menyatu dalam perilaku kita sehari-hari.

Kita harus menikmati karya terbaik kita, ibadah terbaik kita, serta amalan terbaik yang harus kita tingkatkan. Tubuh memberikan karya terbaik sesuai dengan syariat dunia sementara hati memberikan keikhlasan terbaik sesuai dengan syariat agama. Insya Allah, di dunia kita akan memperoleh tempat terbaik dan di akhirat pun mudah-mudahan mendapatkan tempat dan balasan terbaik pula.

Tubuh seratus persen bersimbah peluh berkuah keringat dalam memberikan upaya terbaik, otak seratus persen digunakan untuk mengatur strategi yang paling jitu dan paling mutakhir, dan hati pun seratus persen memberikan tawakal serta ikhlas terbaik, maka kita pun akan puas menjalani hidup yang singkat ini dengan perbuatan yang Insya Allah tertinggi dan bermutu. Inilah justru yang dikhendaki oleh Al Islam, yang telah dicontohkan Rasulullah SAW yang mulia, para sahabatnya yang terhormat, dan orang-orang shaleh sesudahnya.

Oleh sebab itu, bangkitlah dan jangan ditunda-tunda lagi untuk menjadi seorang pribadi muslim yang berprestasi, yang unggul dalam potensi yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada setiap diri hamba-hambanya. Kitalah sebenarnya yang paling berhak menjadi manusia terbaik, yang mampu menggenggam dunia ini, daripada mereka yang ingkar, tidak mengakui bahwa segala potensi dan kesuksesan itu adalah anugerah dan karunia Allah SWT, Zat Maha Pencipta dan Maha Penguasa atas jagat raya alam semesta dan segala isinya ini!

Ingat, wahai hamba-hamba Allah, "Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah ...!’ (QS. Ali Imran [3] : 110).

(Sumber : Tabloid MQ EDISI 07/TH.1/NOVEMBER 2000)

READ MORE - PRIBADI MUSLIM BERPRESTASI - K.H. Abdullah Gymnastiar

Jumat, 04 Juni 2010

Rasul Panutan Ummat - K.H. Abdullah Gymnastiar

Salam sejahtera kepada penghulu segenap makhluk yang paling mulia, rakhmat bagi semesta alam, manusia paling sempurna, paling suci, dan penyempurna revolusi zaman, dialah Muhammad SAW. Dialah nabi paling pemurah, paling peramah, penuh kharisma dan kewibawaan, kesantunan, serta bergelar khatamul anbiya. Dialah jalan terang bagi gelapnya kehidupan dengan kesemarakan akhlaknya yang mulia, itulah puncak dari kebesaran dan kesempurnaannya sehingga beroleh gelar Al Amin (yang dipercaya).

Berkaitan dengan keagungan nabi ini, Sayyid Hussein Nasr seorang cendekiawan muslim terkemuka menulis, "Makhluk yang paling mulai ini (Muhammad SAW) juga dinamakan Ahmad, Musthafa, Abdullah, Abul-Qasim, dan juga bergelar Al Amin—yang terpercaya. Setiap nama dan gelar yang dimilikinya mengungkapkan suatu aspek wujud yang penuh berkah. Ia adalah, sebagaimana makna etimologis yang dikandung dalam kata Muhammad dan Ahmad, yang diagungkan dan dipuji; ia adalah musthafa (yang terpilih), abdullah (hamba ALLOH yang sempurna) dan terakhir, sebagai ayah Qasim. Ia bukan hanya Nabi dan utusan (rasul) ALLOH, tetapi juga kekasih ALLOH dan rahmat yang dikirimkan ke muka bumi, sebagaimana disebutkan di dalam Al Quran, "Dan tidaklah kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam." (Q.S. Al Anbia [21]:107).

Ungkapan keagungan ini tidaklah berlebihan karena ALLOH Azza wa Jalla pun memuji beliau, bahkan senantiasa bershalawat kepadanya, firman-Nya, "Sesungguhnya ALLOH dan para malaikat-Nya melimpahkan shalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, sampaikanlah shalawat dan salam kepadanya." (Q.S. Al Ahzab [33]:56). Demikianlah ALLOH dan para malaikat bershalawat kepadanya, seharusnya apatah lagi kita sebagai makhluk kecil yang tiada berdaya ini.

Disamping bershalawat ternyata penghormatan kepada Rasulullah SAW memiliki etika tersendiri. Tidak cukup hanya bershalawat saja, karena yang terpenting adalah kita harus yakin benar bahwa Rasulullah adalah suri tauladan sepanjang zaman. Jikalau kita ikut dalam tuntunan beliau insya ALLOH akan selamat dunia dan akhirat.

ALLOH SWT menjelaskan dalam firman-Nya, "Dan sesungguhnya Rasul ALLOH itu menjadi ikutan (tauladan) yang baik untuk kamu dan untuk orang yang mengharapkan menemui ALLOH di hari kemudian dan yang mengingati ALLOH sebanyak-banyaknya." (Q.S. Al Ahzab [33]: 21). Seakan ayat ini menyatakan bahwa tidak usah kita melakukan apapun kecuali ada contohnya dari Rasulullah.

Ketika misalnya, rumah tangga keluarga kita berantakan, maka solusi terbaiknya adalah dengan mencontoh Rasul dalam mengemudikan bahtera rumah tangganya. Subhanallah, siapapun yang mampunyai referensi Rasulullah dalam perilaku sehari-harinya, maka hidupnya seperti seorang yang punya katalog yang sangat mudah di akses, segalanya serba tertuntun.

Begitu pentingnya tauladan ini. Itulah sebabnya mengapa P4 gagal di Indonesia? Padahal dimana-mana dilakukan penataran, berbagai metode dan pola digunakan, biaya pun keluar miliaran rupiah, tapi mengapa tidak berhasil merubah pola pikir masyarakat? Jawabannya mudah saja, menurut yang saya pahami dari Dr. Ruslan Abdul Ghani yang menyatakan bahwa salah satu penyebab utamanya adalah karena tidak ada contohnya. Siapa sekarang orang Indonesia yang paling Pancasilais sehingga layak ditauladani perilakunya? Belum ada!

Karenanya berbahagialah umat Islam yang mempunyai tauladan Rasulullah SAW, dalam dirinya semua aspek kehidupan telah ada reperensinya. Mau duduk, bertemu dengan kawan, bertemu dengan orang kaya, bercakap dengan orang papa, berhubungan dengan pejabat, semua telah ada contohnya, termasuk bagaimana teknik menghadapi penjahat. Semuanya sudah jelas, bahkan sampai hal yang paling sederhana seperti di kamar kecil yang paling tersembunyi sekalipun, semua ada tuntunannya.

Sayangnya kita jarang menyempatkan diri untuk mempelajari bagaimana perilaku Rasulullah SAW yang sebenarnya. Karenanya jikalau Pesantren Daarut Tauhiid saat ini dianggap sedang "naik daun", maka sama sekali bukan karena ide cemerlang seseorang, hakikatnya karena pertolongan ALLOH Azza wa Jalla dengan syariat mengamalkan sebagian dari tuntunan Rasulullah SAW yang diaktualisasikan dan dikemas sedemikian rupa. Jadi, apatah lagi bagi orang-orang yang mampu mengaplikasikan semua yang telah Rasul tuntunkan, hasilnya tentu akan jauh lebih luar biasa lagi.

Oleh karena itu, bagi sahabat yang dikaruniai kesempatan menjadi guru dan mengharapkan dicintai dan dihormati muridnya, tidak membosankan murid ketika mengajar dikelas, proses belajar-mengajar menjadi efektif, serta para muridnya menjadi cerdas dan berpikiran maju, maka contohlah Rasul dalam mengajar. Bagaimana cara Rasul mengajar? Ternyata Rasulullah mengajar dengan penuh kelembutan, kasih-sayang, dan sangat ingin para sahabatnya menjadi maju.

Jikalau anda seorang manager perusahaan atau pejabat di sebuah instansi pemerintahan, maka yang harus dipikirkan adalah bagaimana agar bisa sukses dengan tetap mengikuti tuntunan Rasulullah? Ternyata Rasulullah SAW dalam berorganisasi itu rendah hati, lembut perangainya, senang bertukar pikiran, selalu meminta ide, saran, dan koreksi dalam bermusyawarah.

Adapun bagi pemuda yang ingin dicintai, disukai, penuh pesona, melimpah kharismanya, maka pelajari bagaimana pribadi Rasul. Para sahabat seperti halnya Imam Ali ternyata juga meneladani Rasulullah SAW. Nampaknya jikalau kita berat menghadapi hidup ini, maka pertanyaannya adalah sampai sejauh mana kita mampu meluangkan waktu untuk mempelajari pribadi Rasulullah SAW?

Demikian penting arti sebuah tauladan atau penuntun bagi kehidupan seseorang. Karenanya siapapun akan sengsara atau bahkan tersesat jikalau tidak pernah meluangkan waktu untuk mempelajari pribadi Rasulullah SAW. Dialah penuntun kita dari kesesatan dan gelapnya kehidupan.

Seperti halnya sebuah kejadian yang semoga dengan diungkapkannya di forum ini ada hikmah yang bisa diambil. Kejadiannya adalah dari penuturan seorang mubaligh asal Bandung. Ketika itu ia diundang bertabligh di suatu tempat di Tasikmalaya. Berangkatlah ia naik mobil bersama penjemputnya. Penjemput sebagai penunjuk arah di depan satu mobil dan sang mubaligh mengikuti di belakang dengan mobil lain.

Beberapa jam perjalanan lancar-lancar saja, sayangnya setelah beberapa saat sampai di wilayah Tasik, penunjuk arah memacu kendaraannya lebih cepat sehingga mobil sang mubaligh tertinggal jauh di belakang. Cerita selanjutnya mudah ditebak, sang mubaligh pun tersesat. Belok kiri tidak ketemu, belok kanan masuk pasar, waktu pun berlalu sia-sia, hatinya bahkan sudah mulai gelisah tidak menentu.

Nampaklah betapa sengsaranya orang yang tersesat, waktu dan tenaganya terbuang percuma, tujuan tidak menentu, perasaan pun tidak enak, bahkan sebentar-sebentar harus tanya sana-tanya sini, sungguh merepotkan. Demikianlah kegelisahan akan makin akrab dengan orang-orang yang kehilangan penuntun dalam hidupnya.

Bayangkan saja andaikata kita tidak punya penuntun, tidak punya penunjuk arah, lalu kita berjalan menuju suatu tempat yang belum diketahui sebelumnya, pastilah tidak akan menentramkan perjalanan tersebut. Tapi jikalau penuntun, arah, dan tujuannnya jelas, maka langkah kita akan mantap dan hati pun senantiasa disaputi ketentraman. Dan Rasulullah SAW adalah penuntun dan panutan kita sepanjang zaman.***

READ MORE - Rasul Panutan Ummat - K.H. Abdullah Gymnastiar

Kamis, 03 Juni 2010

Rumah Tangga yang Menyenangkan (Meminimalkan Potensi Konflik) - K.H. Abdullah Gymnastiar

Banyak orang yang menyangka bahwa pernikahan itu indah. Padahal sebetulnya? Indah ...sekali. Tak sedikit yang menyesal, kenapa tak dari dulu menikah.

Sahabat, itu adalah secuplik ungkapan yang lazim terdengar tentang pernikahan. Namun jelas, tak segampang yang dibayangkan untuk membina sebuah keluarga. Membangun sebuah keluarga sakinah adalah suatu proses. Keluarga sakinah bukan berarti keluarga yang diam tanpa masalah. Namun lebih kepada adanya keterampilan untuk manajemen konflik.

Ada tiga jenis manajemen konflik dalam rumah tangga, yaitu pencegahan terjadinya konflik, menghadapai tatkala konflik terlanjur berlangsung, dan apa yang harus dilakukan setelah konflik reda.

Pada kesempatan pertama, insya Allah kta akan mengurai tentang bagaimana meminimalkan terjadinya konflik di dalam rumah tangga kia.

1. Siap dengan hal yang tidak kita duga

Pada dasarnya kita selalu siap untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Mudah bagi kita bila yang terjadi cocok dengan harapan kita. Namun, bagaimanapun, setiap orang itu berbeda-beda. Tidak semuanya harus sama "gelombangnya" dengan kita. Maka yang harus kita lakukan adalah mempersiapkan diri agar potensi konflik akibat perbedaan ini tidak merusak.

Dalam rumah tangga, bisa jadi pasangan kita teryata tidak seideal yang kita impikan. Maka kita harus siap melihat ternyata dia tidak rapi, tidak secantik yang dibayangkan atau tidak segesit yang kita harapkan., misalnya. Kita harus berlapang dada sekali andai ternyata apa yang kita idamkan, tidak ada pada dirinya. Juga sebaliknya, apabila yang luar biasa kita benci. Ternyata isteri atau suami kita memiliki sikap tersebut.

2. Memperbanyak pesan Aku

Tindak lanjut dan kesiapan kita menghadapi perbedaan yang ada, adalah memeperbanyak pesan aku. Sebab, umumnya makin orang lain menegetahui kita, makin siap dia menghadapi kita. Misalnya sebagai isteri kita terbiasa katakanlah mengorok ketika tidur. Maka agar suami dapat siap menghadapi hal ini, kita bisa mengatakan "Mas, orang bilang, kalau tidur saya itu suka ngorok,.... jadi Mas siap-siap saja. Sebab, sebetulnya, saya sendiri enggak niat ngorok."

Lalu sebagai suami, misalnya kita menyatakan keinginan kita: "Saya kalau jam tiga suka bangun. Tolonglah bangunkan saya. Saya suka menyesal kalau tidak Tahajjud. Dan kalau sedang Tahajjud, saya tidak ingin ada suara yang mengganggu."

Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi riak-riak masalah akaibat satu sama lain tidak memahami nilai-nilai yang dipakai oleh pasangan hidupnya. Sebab sangat mungkin orang membuat kesalahan akibat dia tidak tahu tata nilai kita. Yang dampaknya akan banyak muncul ketersinggungan-ketersinggungan. Maka di sinilah perlunya kita belajar memberitahukan. Memberitahukan apa yag kita inginkan. Inilah esensi dari pesan aku.

Dengan demikian ini akan membuat peluang konflik tidak membesar. Karena kita telah mengkondisikan agar orang memahami kita. Sungguh tidak usah malu menyatakan harapan ataupun keberatan-keberatan kita. Sebab justru dengan keterbukaan seperti ini pasangan hidup kita dapat lebih mudah dalam menerima diri kita. Termasuk dalam hal keberadaan orang lain.

Misalnya orang tua kita akan datang. Maka adalah suatu tindakan bijaksana apabila kita mengatakan kepada suami tentang mereka. Sebagai contoh, orang tua kita mempunyai sikap cukup cerewet, senang mengomentari ini itu. Maka katakan saja: "Pak... saya tidak bermaksud meremehkan. Namun begitulah adanya. Orang tua saya banyak bicara. Jangan terlalu difikirkan, itu memang sudah kebiasaan mereka. Juga dalam hal makanan, yang ikhlas saja ya Pak...kalau nanti mereka makannya pada lumayan banyak..."

Sungguh sahabat, makin kita jujur maka akan semakin menentramkan perasaan masing-masing di antara kita.

Alkisah, ada sebuah keluarga. Sering sekali terjadi pertengkaran. Akhirnya, suatu ketika si isteri bicara "Pak, maaf ya, keluarga kami memang bertabiat keras. Sehingga bagi kami kemarahan itu menjadi hal yang amat biasa."

Lalu suaminya membalas "Sedangkan Papa lahir dari keluarga pendiam, dan jarang sekali ada pertempuran..."

Jelas itu akan membuat keadaan berangsur lebih baik dibanding terus menerus bergelut dalam pertengkaran-pertengkaran yang semestinya tak terjadi.

Jadi kita pun harus berani untuk mengumpulkan input-input tentang pasangan kita. Misalnya ternyata dia punya BB atau bau badan. Maka kita bisa menyarankan untuk meminum jamu, sekaligus memberitahukan bahwa kadar ketahanan kita terhadap bau-bauan rendah sekali. Sehingga ketika kita tiba-tiba memalingkan muka dari dia, isteri kita itu tidak tersinggung. Karena tata nilainya sudah disamakan.

Tentunya, dengan saling keterbukaan seperti itu masalah akan menjadi lebih mudah dijernihkan dibanding masing-masing saling menutup diri.

Ketertutupan, pada akhirnya akan membuat potensi masalah menjadi besar. Kita menjadi mengarang kesana kemari, membayangkan hal yang tidak tidak berkenaan dengan pasanagan hidup kita. Dongkol, marah, benci dan seterusnya. Padahal kalau saja didiskusikan, bisa jadi masalahnya menjadi sangat mudah diselesaikan. Dan potensi konflik pun menjadi minimal.

3. Tentang aturan

Kita harus memiliki aturan-aturan yang disepakati bersama. Karena kalau tak tahu aturan, bagaimana orang bisa nurut? Bagaimana kita bisa selaras? Jadi kita harus membuat aturan sekaligus...sosialisasikan!

Misalnya isteri kita jarang mematikan kran setelah mengguanakan. Bisa jadi kita dongkol. Disisi lain, boleh jadi isteri malah tak merasa bersalah sama sekali. Sebab dia berasal dari desa. Dan di desa.. pancuran toh tak pernah ditutup.

Begitu pula pada anak-anak. Kita harus mensosialisasikan peraturan ini. Tidak usah kaku. Buat saja apa yang bisa dilaksanakan oleh semua. Makin orang tahu peraturan, maka peluang berbuat salah makin minimal.

READ MORE - Rumah Tangga yang Menyenangkan (Meminimalkan Potensi Konflik) - K.H. Abdullah Gymnastiar

Rabu, 02 Juni 2010

SEBAIK-BAIK MANUSIA - K.H. Abdullah Gymnastiar

Ternyata, derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauh mana dirinya punya nilai mamfaat bagi orang lain. Rasulullah SAW bersabda, "Khairunnas anfa’uhum linnas", "Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak mamfaatnya bagi orang lain." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini seakan-akan mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauh mana derajat kemuliaan akhlak kita, maka ukurlah sejauh mana nilai mamfaat diri ini? Istilah Emha Ainun Nadjib-nya, tanyakanlah pada diri ini apakah kita ini manusia wajib, sunat, mubah, makruh, atau malah manusia haram?

Apa itu manusia wajib? Manusia wajib ditandai jikalau keberadannya sangat dirindukan, sangat bermamfat, perilakunya membuat hati orang di sekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang nampak dari seorang manusia wajib, diantaranya dia seorang pemalu, jarang mengganggu orang lain sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku kesehariannya lebih banyak kebaikannya. Ucapannya senantiasa terpelihara, ia hemat betul kata-katanya, sehingga lebih banyak berbuat daripada berbicara. Sedikit kesalahannya, tidak suka mencampuri yang bukan urusannya, dan sangat nikmat kalau berbuat kebaikan. Hari-harinya tidak lepas dari menjaga silaturahmi, sikapnya penuh wibawa, penyabar, selalu berterima kasih, penyantun, lemah lembut, bisa menahan dan mengendalikan diri, serta penuh kasih sayang.

Bukan kebiasaan bagi yang akhlaknya baik itu perilaku melaknat, memaki-maki, memfitnah, menggunjing, bersikap tergesa-gesa, dengki, bakhil, ataupun menghasut. Justru ia selalu berwajah cerah, ramah tamah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan marahnya pun karena Allah SWT, subhanallaah, demikian indah hidupnya.

Karenanya, siapapun di dekatnya pastilah akan tercuri hatinya. Kata-katanya akan senantiasa terngiang-ngiang. Keramahannya pun benar-benar menjadi penyejuk bagi hati yang sedang membara. Jikalau saja orang yang berakhlak mulia ini tidak ada, maka siapapun akan merasa kehilangan, akan terasa ada sesuatu yang kosong di rongga qolbu ini. Orang yang wajib, adanya pasti penuh mamfaat. Begitulah kurang lebih perwujudan akhlak yang baik, dan ternyata ia hanya akan lahir dari semburat kepribadian yang baik pula.

Orang yang sunah, keberadaannya bermamfaat, tetapi kalau pun tidak ada tidak tercuri hati kita. Tidak ada rongga kosong akibat rasa kehilangan. Hal ini terjadi mungkin karena kedalaman dan ketulusan amalnya belum dari lubuk hati yang paling dalam. Karena hati akan tersentuh oleh hati lagi. Seperti halnya kalau kita berjumpa dengan orang yang berhati tulus, perilakunya benar-benar akan meresap masuk ke rongga qolbu siapapun.

Orang yang mubah, ada tidak adanya tidak berpengaruh. Di kantor kerja atau bolos sama saja. Seorang pemuda yang ketika ada di rumah keadaan menjadi berantakan, dan kalau tidak adapun tetap berantakan. Inilah pemuda yang mubah. Ada dan tiadanya tidak membawa mamfaat, tidak juga membawa mudharat.

Adapun orang yang makruh, keberadannya justru membawa mudharat. Kalau dia tidak ada, tidak berpengaruh. Artinya kalau dia datang ke suatu tempat maka orang merasa bosan atau tidak senang. Misalnya, ada seorang ayah sebelum pulang dari kantor suasana rumah sangat tenang, tetapi ketika klakson dibunyikan tanda sang ayah sudah datang, anak-anak malah lari ke tetangga, ibu cemas, dan pembantu pun sangat gelisah. Inilah seorang ayah yang keberadaannya menimbulkan masalah.

Lain lagi dengan orang bertipe haram, keberadaannya malah dianggap menjadi musibah, sedangkan ketiadaannya justru disyukuri. Jika dia pergi ke kantor, perlengkapan kantor pada hilang, maka ketika orang ini dipecat semua karyawan yang ada malah mensyukurinya.

Masya Allah, tidak ada salahnya kita merenung sejenak, tanyakan pada diri ini apakah kita ini anak yang menguntungkan orang tua atau hanya jadi benalu saja? Masyarakat merasa mendapat mamfaat tidak dengan kehadiran kita? Adanya kita di masyarakat sebagai manusia apa, wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram? Kenapa tiap kita masuk ruangan teman-teman malah pada menjauhi, apakah karena perilaku sombong kita?

Kepada ibu-ibu, hendaknya tanyakan pada diri masing-masing, apakah anak-anak kita sudah merasa bangga punya ibu seperti kita? Punya mamfaat tidak kita ini? Bagi ayah cobalah mengukur diri, saya ini seorang ayah atau gladiator? Saya ini seorang pejabat atau seorang penjahat? Kepada para mubaligh, harus bertanya, benarkah kita menyampaikan kebenaran atau hanya mencari penghargaan dan popularitas saja?

(Sumber : Tabloid MQ EDISI 01/TH.II/MEI 2001)

READ MORE - SEBAIK-BAIK MANUSIA - K.H. Abdullah Gymnastiar