Rabu, 31 Maret 2010

Bahaya Meninggalkan Shalat


1. Meninggalkan Shalat Merupakan Kekufuran

Allah subhanahu wata’ala berfirman mengenai orang-orang Musyrikin, artinya,
"Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama." (at-Taubah:11)

Yakni, jika mereka bertaubat dari kesyirikan dan kekufuran mereka, mendirikan shalat dengan meyakini kewajibannya, melaksanakan rukun-rukunnya dan membayar zakat yang diwajibkan, maka mereka adalah saudara di dalam agama Islam. Jadi, yang dapat difahami dari ayat ini, bahwa siapa saja yang ngotot melakukan kesyirikan, meninggalkan shalat atau menolak membayar zakat, maka ia bukan saudara kita dalam agama Islam.

Dalam sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“(Pembeda)antara seseorang dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR.Muslim)

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Aku khawatir tidak halal bagi laki-laki (suami) diam bersama isteri yang tidak melakukan shalat, tidak mandi jinabah dan tidak mempelajari al-Qur'an.”

Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama seputar jenis kekufuran orang yang meninggalkan shalat karena bermalas-malasan meskipun menyakini kewajibannya, maka yang pasti perbuatan itu amat dimurkai.

2. Meninggalkan Shalat Merupakan Kemunafikan.

Mengenai hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya:
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia dan tidaklah mereka menyebut Allah melainkan sedikit sekali." (an-Nisa`:142)

Yakni, mereka, di samping melakukan shalat karena riya`, juga bermalas-malasan dan merasa amat berat melakukannya, tidak mengharap pahala dan tidak meyakini bahwa meninggalkannya mendapat siksa.

Ibnu Mas'ud radhiyallahui ‘anhu berkata mengenai shalat berjama'ah, “Aku betul-betul melihat, tidak seorang pun di antara kami yang tidak melakukannya (shalat berjama'ah) selain orang yang munafik tulen. Bahkan ada seorang yang sampai bergelayut di antara dua orang disam-pingnya agar dapat berdiri di dalam shaf (karena ia masih sakit).” (HR. Muslim)

3. Meninggalkan Shalat Menjadi Sebab Mendapatkan Su’ul Khatimah

Imam Abu Muhammad ‘Abdul Haq rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwa Su’ul Khatimah -semoga Allah melindungi kita darinya- tidak akan terjadi terhadap orang yang kondisi lahiriahnya lurus (istiqamah) dan batinnya baik. Alhamdulillah, hal seperti ini tidak pernah didengar dan tidak ada yang mengetahui pernah terjadi. Tetapi ia terjadi terhadap orang yang akalnya rusak dan ngotot melakukan dosa besar. Bisa jadi, kondisi seperti itu menguasainya lalu kematian menjem-putnya sebelum sempat bertaubat, maka syaithan pun memperdayainya ketika itu, nau'udzu billah. Atau dapat terjadi juga terhadap orang yang semula kondisinya istiqamah, namun kemudian berubah dan keluar dari kebiasaannya lalu terus berjalan ke arah itu sehingga menjadi sebab Su’ul Khatimah baginya.” (At-Tadzkirah: 53)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesung-guhnya ukuran semua amalan itu tergantung kepada kesudahannya.” (HR. Bukhari)

Sementara orang yang melakukan shalat tetapi buruk dalam mengerjakannya, dia terancam mendapat Su’ul Khatimah, maka terlebih lagi dengan orang yang sama sekali tidak 'menyapa' shalat?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seorang yang shalat tetapi tidak sempurna dalam ruku'nya, ia seperti orang yang mematok-matok di dalam sujud shalatnya, maka beliau bersabda mengenainya, “Andai ia mati dalam kondisi seperti ini, maka ia mati bukan di atas agama Muhammad.” (Hadits Hasan)

4. Meninggalkan Shalat Menjadi Slogan Penghuni Neraka Saqar

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya:
“Tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia. Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga)." (Al-Muddatstsir: 27-30)

Dan firman-Nya, artinya:
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Kecuali golongan kanan. Berada di dalam surga, mereka tanya menanya. Tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa. ‘Apakah yang memasukkan kamu ke dalam (neraka) Saqar? Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama orang-orang yang membicarakannya.” (Al-Muddatstsir: 38-45)

Jadi, orang-orang yang meninggalkan shalat tempatnya di neraka Saqar.

5. Meninggalkan Shalat Merupakan Sebab Seorang Hamba Dipecundangi Syaithan

Dari Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidaklah tiga orang yang berada di suatu perkampungan ataupun di pedalaman, lalu tidak mendirikan shalat di antara sesama mereka melainkan syaithan akan mempecundangi mereka. Karena itu, hendaklah kalian bersama jama'ah sebab srigala hanya memakan kambing yang sendirian.” (Hadits Hasan)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits tersebut menjelaskan bahwa, “Syaithan adalah srigala atas manusia yang merupakan musuh bebuyutannya. Maka sebagaimana burung yang semakin berada di ketinggian, semakin jauh dari petaka, sebaliknya, semakin berada di tempat rendah, petaka akan mengintainya, demikian pula halnya dengan kambing yang semakin dekat dengan penggembalanya, semakin terjaga keselamatannya, semakin ia menjauh, semakin terancam bahaya.”

(Sumber: As-Shalah Limadza? Muhammad bin Ahmad al-Miqdam)

Demikian di antara bahaya meninggalkan shalat, dan tentunya masih banyak lagi bahaya-bahaya yang lain. Semoga dapat memotivasi kita di dalam meningkatkan kualitas shalat kita dan menjadi pengingat tentang besarnya urusan shalat sehingga tidak meninggalkannya. (Abu Hafshah)

Agar Shalat Menjadi Hal Yang Besar Di Mata Kita

Berikut ini langkah-langkah yang inysa-Allah akan menjadikan kita memandang shalat sebagai masalah yang besar:

  • Menjaga waktu-waktu shalat dan batasan-batasannya.

  • Memperhatikan rukun-rukun, wajib dan kesempurnaannya.

  • Bersegera melaksanakannya ketika datang waktunya.

  • Sedih, gelisah dan menyesal ketika tidak bisa melakukan shalat dengan baik, seperti ketinggalan shalat berjama’ah dan menyadari bahwa seandainya shalatnya secara sendirian diterima oleh Allah subhanahu wata’ala, maka dia hanya mendapatkan satu pahala saja. Maka berarti dirinya telah kehilangan pahala sebanyak dua puluh tujuh kali lipat.
  • Demikian pula ketika ketinggalan waktu-waktu awal yang merupakan waktu yang diridhai Allah subhanahu wata’ala, atau ketinggalan shaf pertama, yang jika orang mengetahui keutamaannya tentu mereka akan berundi untuk mendapatkannya.
  • Kita juga bersedih manakala tidak mampu mencapai khusyu’ dan tidak dapat menghadirkan segenap hati ketika menghadap kepada Rabb Tabaraka Wata’ala. Padahal khusyu’ adalah inti dan ruh shalat, karena shalat tanpa ada kekhusyu’an maka ibarat badan tanpa ruh.

    Oleh karena itu Allah tidak menerima shalat seseorang yang tidak khusyu’ meskipun dia telah gugur kewajibannya. Dia tidak mendapatkan pahala dari shalatnya, karena seseorang itu mendapatkan pahala shalat sesuai dengan kadar kekhusyu’an dan tingkat kesadaran dengan kondisi shalatnya itu.

    Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba melakukan shalat dan dan tidaklah dia mendapatkan pahala shalatnya kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, atau setengahnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dihasankan Al-Albani)

    Oleh karenanya beliau menegaskan dalam sabdanya, “Jika kalian berdiri untuk shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang akan meninggalkan dunia.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dishahihkan Al-Albani).

    Sumber: 1. Ash-Shalâh, Limâdza?, Muhammad bin Ahmad al-Miqdam, Dâr Thayyi-bah, Mekkah al-Mukarramah). 2. Hayya ‘alash shalah, Khalid Abu Shalih, hal 12-13, Darul Wathan.
READ MORE - Bahaya Meninggalkan Shalat

Selasa, 30 Maret 2010

JANGAN SIA-SIAKAN SHALAT ANDA

PENGANTAR 

Shalat merupakan amalan yang sangat penting dan salah satu rukun Islam yang agung. Oleh karena itu selayaknya setiap muslim memberikan perhatian yang besar terhadap urusan shalat. Shalat yang dilakukan dengan ikhlash dan memenuhi syarat dan rukunnya insya-Allah akan diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala. Namun ada juga shalat yang tidak diterima di sisi Allah meskipun syah, dan ada pula yang batil (tidak syah) dan tentunya Allah subhanahu wata’ala pun tidak akan menerima shalat tersebut. 

Berikut ini beberapa kiat untuk menjaga agar shalat kita diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala, berpahala, dan tidak sia-sia. Semoga bermanfaat!! 

1. Jangan Datangi Tukang Ramal

Orang yang mendatangi tukang ramal/juru tebak, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari, walaupun shalat yang dia kerjakan adalah syah. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 
"Barangsiapa yang medatangi tukang ramal ('arraf) lalu menanyakan kepada-nya tentang sesuatu (berkonsultasi), maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari." (HR. Muslim) 

2. Hindari Parfum bagi Wanita yang Ingin Shalat di Masjid

Pada dasarnya wanita tidak dilarang shalat di masjid, namun shalat di dalam rumahnya adalah lebih utama. Andaikan seorang wanita ingin shalat di masjid, maka hendaknya dia memperhatikan ketentuan-ketentuan syara'. Di antara yang terpenting adalah tidak memakai parfum, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, 
"Wanita mana saja yang memakai wewangian untuk pergi ke masjid, maka tidak diterima shalatnya sebelum dia mandi sebagaimana ia mandi dari janabah." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dishahihkan Al-Albani) 

4. Laksanakan Shalat dengan Berjama’ah

Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
"Barang siapa yang mendengar adzan lalu dia tidak memenuhinya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena ada udzur." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh al-Albani) 

Hal ini juga menunjukkan bahwa shalat berjama'ah hukumnya wajib bagi laki-laki yang tidak mempunyai udzur. 

4. Jauhi Khamer (Miras)

Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
"Barangsiapa meminum khamer, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari. Jika dia bertaubat, maka Allah akan menerima taubatnya." (HR Ahmad dan At-Tirmidzi) 

5. Jangan Bermusuhan Secara Tidak Haq

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 
"Ada tiga golongan yang Allah tidak menerima shalat mereka," (di antaranya).... dua orang yang saling bermusuhan." (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Majah) 

Yang dimaksud dengan bermusuh-an di sini adalah tidak bertegur sapa melebihi tiga hari dengan alasan yang tidak dibenarkan menurut agama. 

6. Jangan Durhaka kepada Orang Tua dan Memutus Tali Silatur Rahim

Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
"Allah tidak menerima amalan orang yang memutus tali silaturrahim." (HR. Ahmad) 

Orang yang melakukan perbuatan di atas mendapatkan ancaman berupa shalatnya tidak diterima oleh Allah subhanahu wata’ala, atau tidak berpahala, tetapi dari segi hukum shalatnya syah. Dan mereka tetap wajib melaksanakan shalat. Hal ini sebagai hukuman atau sanksi atas kesalahan yang dia lakukan. 

Teks-teks dalil syar'i menunjukkan bahwa orang yang melakukan kesalahan tersebut di atas, maka shalatnya tidak diterima. Dengan tetap melaksanakan shalat, berarti kewajibannya telah gugur sehingga tidak terkena dosa meninggalkan shalat. 

Untuk menjaga shalat agar syah dan tidak batil (sia-sia), berikut ini ditunjukkan kiat yang hendaknya kita perhatikan: 

1. Shalatlah dalam Keadaan Suci

Orang yang dalam keadaan memiliki hadats, baik hadats besar maupun kecil, maka tidak syah bila mengerjakan shalat. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 
"Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian, jika ia berhadats, sampai ia berwudhu." (Muttafaqun 'alaih). Dan juga sabda beliau yang lainnya, "Tidak akan diterima shalat tanpa bersuci." (HR. Muslim) 

2. Jauhi Sikap Riya'

Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa amal seseorang itu tergantung niatnya. Kalau orang melaksanakan shalat karena Allah, maka shalatnya akan diterima, sedangkan jika shalatnya bukan karena Allah, maka Allah subhanahu wata’ala tidak membutuhkannya. Dalam sebuah hadits Qudsi Allah subhanahu wata’ala berfirman, 
"Aku tidak butuh terhadap sekutu-sekutu, barangsiapa yang melakukan suatu amalan, yang di dalam amalan tersebut menyekutukan Aku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya." (HR. Muslim) 

3. Jangan Bersikap Munafik

Orang munafik adalah orang yang mengaku Islam, namun dalam hatinya menyembunyikan kekufuran dan kebencian terhadap Islam. Dia tidak senang jika syariat Islam ditegakkan, dia membenci sunnah-sunnah yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengejek dan memusuhi Islam, atau mengatakan bahwa Islam itu hanya di masjid saja, sedang di luar masjid tidak perlu Islam lagi. 

Maka orang seperti ini tidak akan diterima shalatnya sebelum ia bertobat. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya: 
Katakanlah, "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman." (QS. At-Taubah:65-66) 
"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa': 65) 

4. Hindari Shalat di Masjid yang Ada Kuburannya

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 
"Bumi keseluruhannya adalah masjid kecuali jamban dan kuburan." (HR. Abu Dawud, dishahihkn oleh Al-Albani). 

Beliau juga telah bersabda, 
"Janganlah kalian shalat menghadap ke kubur dan jangan duduk di atasnya." (HR. Muslim) 
"Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yahudi dan nashrani yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid-masjid." Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, "Rasulullah memperingatkan kita dari apa yang telah mereka lakukan." (Muttafaqun 'alaih) 

Juga sabda beliau, 
"Ketahuilah bahwa orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan para nabi mereka dan kuburan orang-orang shaleh mereka sebagai masjid-masjid. Ingatlan, jangan kalian menjadikan kubur-kubur sebagai masjid, karena sesungguhnya aku melarang yang demikian itu." (HR. Muslim) 

Sebagian ulama berpendapat bahwa shalat di masjid yang ada kuburannya tidak syah, jika dengan niat ingin bertabarruk dengan ahli kubur. Sedangkan jika hanya sekedar shalat, maka shalatnya itu tetap syah, namun pelakunya terjerumus ke dalam perbuatan yang dibenci (makruh). 

5. Jangan Sekali-kali Melakukan Kemusyrikan.

Orang musyrik adalah orang yang memalingkan ibadah kepada selain Allah subhanahu wata’ala, seperti orang yang ber-taqarrub atau beribadah kepada orang yang telah mati dengan keyakinan bahwa orang yang telah mati ini dapat memberikan manfaat atau menghilang-kan madharat. 

Ataupun orang yang menyembelih binatang karena selain Allah, sujud kepada mereka, berdo’a kepada mereka agar memenuhi hajat dan kebutuhan hidup. Meminta mereka agar memberikan barakah kepada diri, harta dan anak-anaknya. Begitu pula orang yang berkeyakinan bahwa ada makhluk yang mengetahui perkara ghaib dan memberikan manfaat selain Allah subhanahu wata’ala serta berkeyakinan bahwa dia dapat mengatur kehidupan ini. 

Orang-orang seperti ini meskipun mengerjakan shalat, tetapi shalatnya tidak diterima oleh Allah subhanahu wata’ala karena dia telah melakukan kesyirikan yang menyebabkan amal menjadi hilang lenyap. 

Allah subhanahu wata’ala befirman, artinya: 
"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu, "Jika kamu mempersekutu-kan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (QS. Az-Zumar: 65) 

Sumber: Shalatul Muslim, Fahd bin Sholih Al-Shuwailih. (Khalif Muttaqin)
READ MORE - JANGAN SIA-SIAKAN SHALAT ANDA

Senin, 29 Maret 2010

Ziarah Kubur Antara Yang Sunnah Dan Yang Bid'ah


Antara Yang Sunnah dan yang Bid'ah

Ziarah kubur memiliki banyak hikmah dan manfaat, diantara yang terpenting adalah:

Pertama: Ia akan mengingatkan akherat dan kematian sehingga dapat memberikan pelajaran dan ibrah bagi orang yang berziarah. Dan itu semua tentu akan memberikan dampak positif dalam kehidupan, mewariskan sikap zuhud terhadap dunia dan materi.

Kedua: Mendo'akan keselamatan bagi orang-orang yang telah meninggal dunia dan memohonkan ampunan untuk mereka.

Ketiga: Termasuk mengamalkan dan menghidupkan sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan para shahabatnya.

Keempat: Untuk mendapatkan pahala dan balasan kebaikan dari Allah dengan ziarah kubur yang dilakukan.

Hikmah ziarah kubur ini juga tertuang dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

" Dulu aku melarang kalian semua berziarah kubur, maka (sekarang) ziarahilah ia." Dalam sebuah riwayat disebutkan: "Karena sesungguhnya ia mengingatkan kepada kematian, dan dalam riwayat At Tirmidzi: "Karena sesungguhnya ia mengingatkan kepada akherat. "

Sunnah-Sunnah dalam ziarah kubur

Agar manfaat dan hikmah yang telah tersebut diatas bisa diperoleh dengan sempurna maka seseorang yang akan melakukan ziarah kubur harus mengetahui sunnah dan tata cara berziarah yang benar sesuai tuntunan syari'at. Diantara petunjuk Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam ziarah kubur adalah sebagai berikut:
  • Ziarah kubur dapat dilakukan kapan saja, tidak harus mengkhususkan hari atau waktu tertentu karena salah satu inti dari ziarah kubur adalah agar dapat memberi pelajaran dan peringatan agar hati yang keras menjadi lunak, tersentuh hingga menitikkan air mata. Selain itu agar kita menyampaikan do'a dan salam untuk mereka yang telah mendahului kita memasuki alam kubur. 
     
  • Dianjurkan ketika pergi untuk ziarah kubur hadir dalam benak kita rasa takut kepada Allah, merasa diawasi olehNya dan hanya bertujuan mencari keridhaanNya semata. 
     
  • Disunnahkan kepada peziarah kubur untuk menyampaikan salam kepada ahli kubur, mendoakan mereka agar mendapatkan rahmat, ampunan dan afiyah (kekuatan). Diantara doa yang dianjurkan untuk dibaca adalah: 

    Keselamatan semoga terlimpah kepada para penghuni (kubur) dari kalangan orang-orang mukmin dan muslim semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului (meninggal) diantara kami dan yang belakangan, insya Allah kami semua akan menyusul (Anda) (lafazh ini berdasar riwayat Imam Muslim)

Beberapa Masalah Berkenaan dengan Ziarah Kubur 

Perlu untuk diingat bahwa ziarah kubur pada mulanya adalah dilarang sebelum akhirnya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam mengizinkan untuk melakukannya. Larangan tersebut memang sangat beralasan karena masalah kubur memang sangat rawan akan bahaya kesyirikan yang itu merupakan lawan dari dakwah beliau dakwah tauhid. Selain itu pada masa awal berkembangnya Islam kondisi keimanan para shahabat masih dalam tahap pembinaan, jadi sebagai tindakan preventif sangat wajar jika beliau melarang kaum muslimin melakukan ziarah kubur. Bahkan ketika para shahabat telah menjadi orang mukmin pilihan beliau masih tetap saja memperingatkan mereka dari bahaya kubur, sebagaimana tercermin dalam sabda beliau menjelang kewafatannya: 

"Laknat Allah kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid. " 
Peringatan tersebut tentunya juga ditujukan kepada kita semua selaku umat Nabi Muhammad yang sudah berada jauh dari generasi shahabat, apalagi jika aqidah kita masih sangat pas-pasan bahkan cenderung masih lemah. Jangan sampai izin yang diberikan Rasulullah justru menjadi bumerang yang berbalik membinasakan kita. Bukannya pahala ziarah yang didapat namun malah terjurumus dalam jurang dosa bahkan dosa yang tak terampunkan yakni syirik, naudzu billah min dzalik. 

Kalau kita perhatikan ternyata apa yang dikhawatirkan oleh Rasulullah kala itu memang terjadi dizaman ini, dimana masih banyak kita dapati kaum muslimin yang salah dalam menerapkan aturan ziarah kubur, mereka melakukan ziarah sekedar mengikuti apa yang menjadi kemauan sendiri atau sesuatu yang sudah menjadi tradisi tanpa memperhatikan nilai-nilai dan rambu-rambu syari'at. 

Diantara beberapa kekeliruan seputar kubur yang patut diperhatikan adalah sebagai berikut:

  • Mengkhususkan hari-hari tertentu dalam melakukan ziarah kubur, seperti harus pada hari Jum'at, tujuh atau empat puluh hari setelah kematian, pada hari raya dan sebagainya. Semua itu tak pernah diajarkan oleh Rasulullah dan beliaupun tidak pernah mengkhususkan hari-hari tertentu untuk berziarah kubur. 
     
  • Thawaf (mengelilingi) kuburan, beristighatsah (minta perlindungan) kepada penghuninya terutama sering terjadi dikuburan orang shalih, ini termasuk syirik besar. Demikian pula menyembelih disisi kuburan dan ditujukan karena si mayit. 
     
  • Menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid untuk pelaksanaan ibadah dan acara-acara ritual. 
     
  • Sujud, membungkuk kearah kuburan, kemudian mencium dan mengusapnya. 
     
  • Shalat diatas kuburan, ini tidak diperbolehkan kecuali shalat jenazah bagi yang ketinggalan dalam menyolatkan si mayit. 
     
  • Membagikan makanan atau mengadakan acara makan-makan di kuburan. 
     
  • Membangun kubur, memberi penerangan (lampu), memasang selambu atau tenda diatasnya. 
     
  • Menaburkan bunga-bunga dan pelepah pepohonan diatas pusara kubur. Adapun apa yang dilakukan Rasulullah ketika meletakkan pelepah kurma diatas kubur adalah kekhususan untuk beliau dan berkaitan denga perkara ghaib, karena Allah memperlihatkan keadaan penghuni kubur yang sedang disiksa. 
     
  • Memasang prasasti baik dari batu marmer maupun kayu dengan menuliskan nama, umur, tanggal lahir dan wafatnya si mayit. 
     
  • Mempunyai persangkaan bahwa berdo'a dikuburan itu mustajab sehing-ga harus memilih tempat tersebut. 
     
  • Membawa dan membaca Mushaf Al Qur'an diatas kubur, dengan keyakinan bahwa membaca di situ memiliki keutamaan. Juga mengkhususkan membaca surat Ya sin dan Al Fatihah untuk para arwah. 
     
  • Ziarahnya para wanita ke kuburan, padahal dalam hadits Rasulullah jelas-jelas telah bersabda: 
    "Allah melaknat para wanita yang sering berziarah kubur dan orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid"(Riwayat Imam Ahmad dan Ahlus sunan secara marfu') 
     
  • Meninggikan gundukan kubur melebihi satu dhira' (sehasta) yakni kurang lebih 40cm. 
     
  • Berdiri didepan kubur sambil bersedekap tangan layaknya orang yang sedang shalat (terkesan meratapi atau mengheningkan cipta, red). 
     
  • Buang hajat diatas kubur. 
     
  • Membangun kubah, menyemen dan menembok kuburan dengan batu atau batu bata 
     
  • Memakai sandal ketika memasuki komplek pemakaman, namun dibolehkan jika ada hal yang mambahayakan seperti duri, kerikil tajam atau pecahan kaca dan sebagainya, atau ketika sangat terik dan kaki tidak tahan untuk menginjak tanah yang panas. 
     
  • Membaca dzikir-dzikir tertentu ketika membawa jenazah, demikian pula mengantar jenazah dengan membawa tempat pedupaan untuk membakar kayu cendana atau kemenyan. 
     
  • Duduk diatas kuburan 
     
  • Membawa jenazah dengan sangat pelan-pelan dan langkah yang lambat, ini termasuk meniru ahli kitab Yahudi dan menyelisihi sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam. 
     
  • Menjadikan kuburan sebagai ied dan tempat berkumpul untuk menyelenggarakan acara-acara ibadah disana.

Kesimpulan 

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya ziarah kubur itu ada dua macam:

  • Ziarah syar'iyah yang diizinkan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan dalam ziarah ini ada dua tujuan, pertama bagi yang melakukan ziarah akan dapat mengambil pelajaran dan peringatan, yang kedua bagi mayit ia akan mendapatkan ucapan salam dan doa dari orang yang berziarah. 
     
  • Ziarah bid'iyah yaitu ziarah kubur untuk tujuan-tujuan tertentu bukan sebagaimana yang tersebut diatas, diantaranya untuk shalat disana, thawaf, mencium dan mengusap-usapnya, mengambil sebagian dari tanah atau batunya untuk tabaruk, dan memohon kepada penghuni kubur agar dapat memberi pertolongan, kelancaran rizki, kesehatan, keturunan atau agar dapat melunasi hutang dan terbebas dari segala petaka dan marabahaya dan permintaan-permintaan lain yang hanya biasa dilakukan oleh para penyembah berhala dan patung saja.

Maka selayaknya setiap muslim berpegang dengan ajaran agamanya, dengan kitabullah dan sunnah nabinya serta menjauhi segala bentuk bid'ah dan khurafat yang tidak pernah diajarkan dalam Islam. Dengan itu maka akan diperoleh kebahagiaan didunia maupun diakherat kelak, karena seluruh kebaikan itu ada dalam ketaatan kepada Allah dan rasulNya sedang keburukan selalu ada dalam kemaksiatan dan ketidaktaatan. 

(Sumber: nasyrah "As-Sunnah fi ziyaratil qubur wa at-tahdzir min bida'il maqabir", diterbitkan oleh Kantor Kerjasama Dakwah, bimbingan dan Penyuluhan Imigran, Sulthanah Arab Saudi. Telah diperiksa oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin) 

READ MORE - Ziarah Kubur Antara Yang Sunnah Dan Yang Bid'ah

Minggu, 28 Maret 2010

Menangisi Kematian Dalam Tinjauan Islam


Dari Jabir bin Abdullah Radhiallaahu anhu ia pernah berkata: Pada peperangan Uhud ayahku terbunuh, akupun menyingkap kain dari wajahnya dan menangis. Orang-orang melarangku namun Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak melarang, kemudian bibiku Fathimah ikut menangis lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Engkau tangisi atau tidak malaikat akan terus menaunginya dengan sayap-sayap mereka sampai kalian mengusungnya." (Muttafaq 'alaih). 

Kemudian dari Ibnu Umar diriwayatkan bahwa ia berkata: "Saad bin Ubadah pernah sakit keras. Nabi datang menjenguknya bersama Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash serta Abdullah bin Mas'ud Radhiallaahu anhu. Ketika beliau masuk Saad sudah dikerubungi keluarganya, beliau lalu bertanya: "Apakah ia sudah tiada?" mereka menjawab: "Belum wahai Rasulullah. "Maka beliaupun menangis dan ketika orang-orang melihat Nabi menangis merekapun menangis. Beliau bersabda, yang artinya: "Sesungguhnya Allah itu tidak menyiksa karena tetesan air mata kesedihan hati, tetapi Allah hanya akan menyiksa karena ini, (beliau menunjuk kearah lidahnya) atau Allah akan mengampuninya." (HR. Al-Bukhari) 

Sementara itu shahabat Anas bin Malik Radhiallaahu anhu juga pernah meriwayatkan ketika putra Rasulullah Ibrahim akan meninggal, ia datang menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedangkan Ibrahim nafasnya sudah terengah-engah, maka kedua mata beliaupun berlinang air mata. 

Dalam riwayat lain disebutkan beliau mengambilnya dan meletakkannya di atas pangkuan sambil berkata: "Wahai anakku! Aku tidak memiliki hak kuasa apapun yang dapat kuberikan kepadamu di sisi Allah". Melihat Nabi menangis Abdurrahman bin Auf dan Anas radhialallhuanhu lalu bertanya: "Wahai Rasulullah mengapa Anda menangis? Bukankah Anda telah melarang menangis?' Beliau menjawab : "Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya tangisan itu adalah rahmat, dan barangsiapa tidak memiliki kasih sayang maka ia tidak mendapatkan kasih sayang", kemudian beliau melanjutkan sabdanya: "Sesungguhnya mata bisa berlinang, hati juga bisa berduka namun kita hanya bisa mengucapkan yang diridhai Rabb kita. Wahai Ibrahim, sungguh kami sangat bermuram durja karena berpisah denganmu." (HR. Al-Bukhari dan Mus-lim) 

Dalam riwayat lain Anas menutur-kan bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah bersabda, artinya : "Zaid mengambil panji peperangan kaum muslimin kemudian ia terbunuh, lalu panji diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah dan iapun terbunuh, kemudian diambil alih lagi oleh Ja'far dan ia juga terbunuh." Kedua mata Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berlinang air mata. Setelah itu panji diambil alih oleh Khalid bin Walid tanpa adanya penyerahan sebelumnya, namun melalui tangannya Allah Subhannahu wa Ta'ala memberi kemenangan." (HR Al Bukhari). 

Dalam riwayat Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu disebutkan bahwa ketika Zainab putri Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam wafat maka sebagian kaum wanita ada yang menangis, maka ketika Umar Radhiallaahu anhu mau memukul para wanita itu dengan cemetinya, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mencegahnya kemudian beliau bersabda, artinya: "Sabar wahai Umar! Kemudian kalian semua para wanita hendaklah berhati-hati terhadap teriakan setan!" Beliau lalu melanjutkan sabda-nya, artinya: "Apabila hanya berasal dari mata dan hati maka itu dari Allah dan merupakan rahmat, namun jika itu dari tangan dan mulut maka ia dari setan." (HR. Ahmad) 

Aisyah Radhiallaahu anha pernah meriwayatkan bahwa ketika Sa'ad bin Muadz meninggal, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam , Abu Bakar dan Umar melayatnya. Aisyah berkata: "Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku bisa membedakan antara tangisan Abu Bakar dengan tangisan Umar sementara aku berada di kamarku." (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad). 

Ada riwayat lain tentang kisah meninggalnya putra Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam yang bernama Ibrahim, yakni sebagaimana disampaikan oleh Asma' binti Yazid Radhiallaahu anha, dia bercerita: "Ketika Ibrahim putra Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam wafat, beliau menangis. Kemudian Abu bakar -atau mungkin Umar- bertanya: "Wahai Rasulullah, Engkau adalah orang yang paling berhak untuk dimuliakan haknya oleh Allah." Maka beliau bersabda: "Mata bisa menangis, hati boleh bersedih, namun kita hanya mengucapkan yang diridhai Ilahi. Kalaulah bukan janji yang benar, tempat kembali yang sempurna dan akherat yang pasti datang setelah berlalunya dunia, pasti kami sudah mendapatkan hal yang paling berat dengan kepergianmu. Sungguh kami amat berduka karenamu." (HR. Ibnu Majah) 

Dalil-dalil di atas merupakan alasan bagi mereka yang membolehkan menangis atas orang yang akan meninggal maupun yang telah meninggal. Demikian pendapat madzhab Ahmad bin Hambal dan Abu Hanifah. Sedangkan Imam Syafi'i dan banyak kalangan shahabat melarang menangisi mayit setelah meninggalnya, dan membolehkan menangis ketika belum meninggal. 

Alasan yang digunakan adalah riwayat Jabir bin Atik Radhiallaahu anhu, ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjenguk Abdullah bin Tsabit Radhiallaahu anhu beliau mendapatinya sudah hampir meninggal dunia. Rasulullah memanggilnya namun Abdullah sudah tidak menjawab lagi, kemudian beliau mengucap istirja' (Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un) seraya bersabda, artinya: "Kami terlambat mendatangimu wahai Abu Rabi." Maka kalangan wanitapun menangis, dan Ibnu Atik berusaha untuk mendiamkan mereka, namun Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda, artinya: "Biarkan saja mereka. Apabila datang kepastian maka janganlah ada yang menangis lagi." Ibnu Atik bertanya: "Apa kepastian itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Kematian" (HR. Ahmad dan Abu Dawud, hadits ini sesuai lafazh Abu Dawud). Ini menujukkan larangan menangisi orang yang telah meninggal dan kebolehannya sebelun meninggal. Larangan tersebut diperkuat dengan hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah Ibnu Umar Rasulullah Shalallahu'alahi wassalam bersabda: "Sesungguhnya orang meninggal akan tersiksa oleh tangisan keluarganya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 

Kata al-mayit di sini menunjukkan bahwa ia telah meninggal dunia karena orang yang belum meninggal tidak bisa dikatakan sebagai mayit. Selain itu Ibnu Umar Radhiallaahu anhu juga meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang dari Uhud pernah mendengar kalangan wanita dari Bani Asyhal menangisi orang yang meninggal, maka beliau bersabda: "Tetapi Hamzah tidak ada yang menangisinya." Maka datanglah kalangan wanita dari Al-Anshar lalu menangisi Hamzah di sisi Nabi. Maka Rasulullah bangkit dan bersabda, artinya: "Celaka mereka, mengapa mereka menangis di sini, sungguh mereka telah membikin susah diri sendiri. Suruh mereka semua pulang kemudian janganlah mereka menangisi orang yang meninggal setelah hari ini." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) 

Bagaimana kita menyikapi masalah ini? 
Kedua pendapat di atas sama-sama menyampaikan dalil dan alasan yang shahih, oleh karena itu kita tetap harus menerimanya tanpa menyalahkan pihak manapun. Mereka adalah para imam mujtahid yang sudah diakui kredibilitasnya. Yang terpenting kita bisa me-nempatkan masalah ini sesuai porsinya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya menangisi orang yang meninggal tidaklah mengapa baik itu sebelum meninggal maupun setelahnya dengan syarat bahwa tangisan tersebut masih dalam batas-batas yang dibolehkan oleh syariat. Yaitu tidak disertai dengan teriakan-teriakan atau raungan, ratapan, memukul wajah, merobek pakaian dan sikap-sikap lain yang disebut oleh Nabi berasal dari syetan. Ia hanya sekedar ungkapan rasa sedih dalam hati kemudian diiringi tetesan air mata atau isakan yang tidak ada unsur tidak ridha atau menolak takdir Allah. Adapun dalil tentang larangan menangis yang dikemukakan kita pahami sebagai larangan dari tangisan yang disertai ratapan serta sikap-sikap sebagaimana yang telah disebutkan. Hal ini juga diperkuat dengan riwayat lain yang menyebutkan bahwa sesungguhnya mayit itu akan tersiksa disebabkan ratapan keluarganya , di samping yang menggunakan lafazh tangisan. 

Hanya saja perlu dicatat bahwa kesedihan itu tidaklah diperintahkan meski dibolehkan dan jika kesedihan itu menjurus kepada kelemahan hati dan menjauhkan dari melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya maka ia adalah tercela. Sebaliknya jika kesedihan itu diiringi dengan perbuatan-perbuatan terpuji yang mengandung pahala maka ia menjadi perbuatan terpuji, hanya saja pahala tersebut bukan disebabkan kesedihan itu namun karena perbuatan baik yang ia kerjakan. 

Dalam banyak ayat Allah menyuruh kita agar jangan bersedih seperti dalam firman-Nya,artinya: "Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya)." (Ali Imran: 139). Dan masih banyak ayat-ayat lain yang senada dengan ayat di atas. Wallahu a'lam. 

(Rujukan: Hiburan bagi orang yang tertimpa musibah, Darul Haq [Fatkur Isma'il]) 
READ MORE - Menangisi Kematian Dalam Tinjauan Islam

Sabtu, 27 Maret 2010

Kematian dan Jenazah


Setiap manusia dan yang bernyawa pasti akan menghadapi kematian. Firman Allah: "Setiap yang berjiwa akan merasakan mati." (Al-Anbiya: 35)
Namun tidak ada seorangpun di antara kita yang tahu kapan ajal akan datang menjemput dan dimana kita akan meninggal, karena hal itu hanya Allah yang mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:"Dan tidak seorang pun yang dapat mengetahui dibumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah maha megetahui lagi maha mengenal." (Luqman: 34)

Kalau ada seorang muslim yang meninggal atau akan meninggal ada beberapa hal yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam kepada kita, diantaranya:

1. Mentalqinkan orang yang hampir meninggal

Dari Mu'az bin Jabal radhiallaahu anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam Bersabda: "Siapa yang akhir pembicaraanya Laa ilaaha illallah, ia akan masuk Surga." (HR. Ahmad, Abu Daud dan Hakim, hadits hasan).

Oleh karena itu kalau ada orang yang mau meninggal (roh hampir keluar), hendaklah ia ditalqinkan (dituntun) dengan kalimah tauhid untuk mengingatkannya dengan kalimat tersebut dan agar dapat mengucapkan itu diakhir hayatnya. Dari Abi Sa'id Al-Khudri Radhiallaahu anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Talqinkanlah orang yang hampir meninggal di antara kalian 'laa ilaha illallah' (HR. Muslim)

Hendaknya kalimah tersebut diucapkan dengan pelan dalam artian jangan terlalu cepat agar bisa ditirukan dengan mudah. Apabila ia telah mengucapkan maka talqinnya tidak usah diulang lagi, kecuali kalau ia mengucapkan kata-kata yang lain barulah talqin itu diulang lagi. Inilah talqin yang disyari'atkan. Adapun setelah keluarnya ruh, maka talqin tersebut tidak disyari'atkan lagi. Karena tidak adanya sunnah yang shahih dari nabi Shallallahu alaihi wasalam tentang hal itu.

2. Ucapkanlah kata-kata yang baik terhadap orang yang meninggal

Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Apabila kamu menghadiri orang yang sakit atau orang yang meninggal maka katakanlah yang baik maka sesungguhnya malaikat mengaminkan (membaca amin) atas apa yang kamu katakan." (HR. Muslim)

Dalam hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari bahwasanya satu jenazah dibawa melewati Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam dan para shahabat, lalu mereka menyebutkan kebaikan-kebaikan orang tersebut. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda: Wajib. Lalu lewat lagi satu jenazah yang lain, lalu mereka menyebutkan kejahatan kejahatannya. Maka Rasulullah bersabda lagi: Wajib. Maka Umar bin Khatab Radhiallaahu anhu bertanya: Apakah gerangan yang wajib? Rasulullah bersabda:
"Ini yang kamu sebutkan atasnya kebaikan, maka wajiblah baginya sorga; dan ini yang kamu sebutkan atasnya kejahatan, maka wajiblah baginya neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi." (HR. Al-Bukhari).

3. Yang mendapat musibah membaca istirja' dan berdoa

Dari Ummi Salamah zia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Tidak ada seorang hamba yang tertimpa musibah lalu ia membaca 'innalillah wainna ilaihi raaji'un', ya Allah berilah aku pahala pada musibahku dan gantilah bagiku yang lebih baik darinya-kecuali Allah memberikannya pahala didalam musi-bahnya dan menggantikan untuknya yang lebih baik darinya (yang telah hilang)." Ummu Salamah berkata: Maka ketika Abu Salamah (suami) wafat, aku membaca sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam, maka Allah menggantikan untukku yang lebih baik darinya (yaitu) – Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam. (HR. Muslim).

4. Dibolehkan menangis tanpa disertai ratapan

An-Nawawi berkata: Meratapi orang yang sudah meninggal adalah haram. Banyak hadits yang menjelaskan tentang larangan menangisnya dan sesungguhnya orang yang meninggal akan disiksa dengan tangisan keluarga-nya kepadanya. Hadits-hadits tersebut ditujukan kepada orang yang berwashiat kepada keluarganya agar menangisi kematiannya, dan larangan itu bagi tangisan yang disertai ratapan. Karena banyak sekali hadits yang menjelaskan tentang bolehnya menangisi orang yang telah meninggal. Diantaranya adalah;
Dari Usamah bin Zaid Radhiallaahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam diangkatkan kepadanya cucu dari anak perempuan-nya (anak dari Zainab) dan dia (cucu itu) dalam kematian, maka mengalirlah (menangis) kedua mata Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam. Maka Sa'd bertanya kepada beliau: "Apakah ini hai Rasulullah?" Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Ini adalah kasih sayang yang Allah berikan di hati hamba-hambaNya, Dan Allah menyayangi hamba-hambaNya yang penuh kasih sayang." (Muttafaq 'alaih)

5. Menshalatkan, mengantarkan jenazahnya sampai selesai pemakamannya

Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Siapa yang menyaksikan jenazah sehingga dishalatkan, maka baginya satu qirath. Dan siapa yang menyaksikannya sampai selesai pemakaman, maka baginya dua qirath. Ditanyakan orang: Apakah dua qirath itu? Nabi bersabda: seperti dua gunung yang besar." (Muttafaq 'alaih).

Ibnu Hajar berkata: Dari hadits-hadits yang berkenaan dengan hal ini diambil satu pengertian bahwa orang yang cuma melayat saja tidak mendapatkan pahala qirath.

6. Bersegeralah mengurus jenazah

Dari Abi Hurairah Radhiallaahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Segeralah (mengurus) jenazah, Maka jika ia adalah baik (shaleh) maka kebaikan yang kamu dahulukan (dekatkan) kepadanya. Dan jika ia adalah selain yang demikian itu, maka kejahatan yang kamu letakkan dari punggung kamu." (Muttafaq 'alaihi)

Ibnu Quddamah berkata: Ulama sepakat bahwa ini adalah perintah wajib. Dan menurut jumhur ulama yang dimaksud bersegera disini adalah berjalan membawa jenazah dengan jalan yang lebih cepat dari jalan yang biasanya. Dengan catatan bersegera disini tidak sampai membawa kemudharatan bagi mayyit atau bagi yang membawanya.

7. Bersegera membayarkan utangnya (jika ia berutang)

Kalau seorang muslim yang meninggal masih memiliki utang kepada orang lain maka hendaklah utang itu dibayar sesegera mungkin. Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda:
"Diri seorang mu'min digantungkan dengan utangnya (ditahan dari mendapatkan tempat yang mulia) sehingga dibayarkan (utang) darinya. (HR. Ahmad, At-Tirmidzi Ad-Darimi/Hasan).

8 . Mendo'akan dan memintakan ampun bagi mayyit setelah selesai dikebumikan

Dari 'Utsman bin Affan Radhiallaahu anhu beliau berkata: Adalah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasalam : apabila selesai menguburkan jenazah beliau berdiri atasnya dan bersabda: "Mintakanlah ampunan bagi saudara kalian dan mintakanlah (mohonkanlah) baginya ketetapan maka sesungguhnya dia sekarang ditanya (oleh dua malaikat)" (HR. Abu Daud dan Al-Hakim dengan sadad yang hasan).

Syaikh Shaleh Fauzan mengatakan: Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam memerintahkan kepada kita memohonkan ampunan bagi mayyit yang muslim dan memintakan ketetapan baginya langsung setelah dikebumikan. Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam menjelaskan bahwa saat ini dia sedang ditanya oleh dua malaikat. Namun tidak ada hadits yang menjelaskan bahwa mereka (salafus shaleh) menjaharkan (mengeraskan) dengan do'a dan istigfar tersebut. Lagi pula berdo'a dan istigfar secara sir (pelan) lebih afdal dari pada dengan jahar (suara keras). Wallahu 'a'lam bishshawaab. ( M Iqbal Gazali)

Rujukan:
  • Fath Al-Bari-Ibnu Hajar Al'Asqalani-jilid 3/ Kitab Al-Janaiz.
  • Riyadush Shalihin – An-Nawawi-Hal 287-295.
     
  • Al Mutaqa min fataawa Syekh Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan Juz 2 Hal. 153-155. 
READ MORE - Kematian dan Jenazah

Jumat, 26 Maret 2010

Anjuran dan Larangan dalam Urusan Jenazah


Prosesi jenazah dalam Islam memiliki makna yang sangat besar. Selain bisa mengingatkan orang akan kematian juga mempunyai keutamaan dan bisa mendatangkan pahala, sebagaimana sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam :

"Barangsiapa yang mengantarkan jenazah seorang muslim karena iman dan mengharap pahala sedang ia selalu menyertai jenazah tadi, sampai di shalati dan selesai dikubur, maka ia akan membawa pulang pahala dua qirath, sedang satu qirath adalah sebesar gunung Uhud" (Shahihul Jami' No. 6136)

Demikian besar keutamaan mengikuti prosesi jenazah ini, namun perlu diketahui, bahwa untuk memperoleh keutamaan tersebut tentu kita tidak boleh sembarangan dalam melaksanakan proses mengurus jenazah tadi. Karena pahala tadi dijanjikan oleh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, maka tentunya prosesi jenazah yang dilakukan harus mengikuti petunjuknya sebab merupakan suatu yang aneh jika kita mengharapkan pahala atau keutamaan, namun cara yang dianjurkan untuk memperolehnya tidak dilakukan dan bahkan cenderung menyelisihi.

Tulisan singkat ini akan memberi-kan beberapa penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan jenazah, perkara-perkara yang dibolehkan dan juga beberapa hal yang dilarang berkaitan dengannya, semoga bermanfaat.
  • Dibolehkan seseorang yang akan meninggal untuk berwasiat memberi-kan hartanya (kepada selain ahli waris) dengan batas maksimal sepertiganya, dan bagi orang yang menunggui di saat menjelang kematiannya di sunnahkan untuk menuntunnya membaca (mentalqin) kalimat syahadat, la ilaha illallah supaya ucapan di akhir hayatnya adalah kalimat tauhid. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: 
    Artinya: "Barang siapa yang akhir ucapannya adalah la ilaha illallah (tiada sesembahan yang haq kecuali Allah) maka dia masuk surga." (HR. Abu Dawud dan al-Hakim dari Muadz bin Jabal Radhiallaahu anhu ) 

    Yang demikian adalah bagi orang yang mengucapkan, meyakini serta mengamalkan konsekuensi kalimat tersebut semasa hidupnya, dan dia tidak pernah melakukan sesuatu perbuatan yang d apat membatalkannya. Ini merupakan salah satu dari tanda-tanda husnul khatimah, dan selain itu, ada beberapa tanda lain dari husnul khatimah seperti meninggal ketika sedang melakukan amal shalih, syahid atau meninggal fi sabilillah, meninggal karena tha'un (kolera/pes), sakit perut, tenggelam, terbakar, TBC, tertimpa reruntuhan atau longsoran. Juga meninggal di masa nifas bagi wanita setelah melahirkan. 
     
  • Jika ia telah meninggal dunia, maka dianjurkan memejamkan mata-nya, menutupinya, dan memohonkan rahmat kepada Allah untuknya, kemu-dian keluarganya (ahlinya) supaya bersegera dalam melaksanakan prosesi jenazah, tidak perlu disemayamkan sampai berhari-hari. Bagi keluarganya juga di haruskan untuk cepat-cepat menyelesaikan hutang yang ditang-gung oleh si mayit (jika ia berhutang). 
     
  • Dibolehkan membuka wajah orang yang meninggal, lalu mencium dahinya (antara dua matanya), dan bagi keluarga yang ditinggal supaya bersabar atas takdir Allah yang menimpanya, janganlah mereka marah (meratapi) atas musibah tersebut. 
     
  • Disunnahkan berwudhu bagi orang yang mengangkat jenazah atau membawanya dan tidak wajib baginya mandi. Jenazah hendaknya di bawa dengan tenang , khusyu' sambil mengingat akhirat dan kematian. 
     
  • Disunnahkan memasukkan mayit ke dalam kubur, dengan meletakkan di atas lambung kanannya, serta posisi wajah menghadap ke kiblat, seraya mengucapkan, 
    Artinya, "Dengan menyebut nama Allah, dan atas jalan Rasulullah." 
    Setelah itu ditimbun dengan tanah, kubur hendaknya dibiarkan apa adanya, yakni tidak boleh dimarmer atau di semen, kuburan juga tidak boleh ditinggikan atau di bangun, lalu dicat atau dikapur. 
     
  • Bagi orang yang hadir di kuburan hendaknya jangan terburu-buru untuk bubar, namun supaya diam sejenak untuk mendo’akan mayit dengan cara masing-masing berdo’a sendiri-sendiri, bukan salah seorang berdo’a lalu diamini oleh yang lainnya. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Mohonlah ampunan untuk saudaramu (mayit yang baru selesai di makamkan) dan mohonkanlah untuknya agar Allah menetapkannya (dengan kalimat tauhid) karena dia sekarang sedang ditanya.” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim) 
     
  • Disyariatkan untuk ta'ziah (mengibur) keluarga mayit dengan kalimat-kalimat yang baik dan sesuai, dan ta'ziah ini boleh sampai tiga harinya. Contoh kalimat untuk menghibur/ membesarkan hatinya misalnya: "Sungguh hanya milik Allah apa-apa yang Dia ambil, sama juga apa yang Dia berikan adalah milikNya, segala sesuatu adalah hanya milikNya, dan pasti ada batasnya sampai ajal yang telah ditentukan, maka sabarlah dan mohonlah pahala atas musibah ini." Dan kalimat-kalimat lain semisal yang tidak menyelisihi syari'at, namun pada intinya adalah untuk menguatkan hati keluarga yang ditinggal supaya bersabar, menerima dan ridha dengan takdir Allah, sehingga tidak larut dalam kesedihan yang berkepanjangan.
BEBERAPA HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
  • Membacakan surat Yaasin untuk si mayit bukan termasuk ajaran Islam, karena tidak ada hadits shahih yang menjelaskan masalah ini. Bahkan dalam surat Yaasin tersebut ada satu ayat yang menjelaskan bahwa Al Qur'an ini adalah pering atan bagi orang yag hidup: 
    “Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir.” (QS. 36:70) 
     
  • Dilarang niyahah (meratap) atas kematian seseorang apalagi sampai berteriak-teriak dan meraung-raung menangis, menampar pipi dan merobek baju, ini semua termasuk perkara-perkara jahiliyah. 
     
  • Jika seseorang meninggal dunia, maka diutamakan agar dikuburkan di negri tempat meninggalnya tersebut. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pernah memerintahkan untuk membawa pulang jenazah yang rencananya akan di bawa ke Madinah, beliau memerintahkan agar jenazah tersebut di makamkan di negri tempat dia meninggal. 
     
  • Tidak dibolehkan menshalatkan orang yang murtad (keluar dari Islam) atau orang yang tidak pernah shalat (karena para ulama menghukumi, bahwa orang yang tidak pernah shalat, maka dia adalah kafir, pen), tidak pula memintakan ampun buat mereka. Mereka juga tidak ada hak saling mewarisi dan tidak boleh di kuburkan di pekuburan orang muslim. 
     
  • Termasuk kesalahan yang sering dilakukan oleh sebagian orang adalah mengangkat/mengeraskan suara di depan jenazah misalnya menyerukan kalimat tauhid, memanggil-manggilnya, menyebutkan syahadat dengan sangkaan, bahwa yang demikian memberi manfaat kepadanya, padahal Allah telah berfiman: 
    Artinya : “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.” (QS. 27:80) 
     
  • Mengumandangkan adzan di kubur adalah tidak ada tuntunannya di dalam Islam, baik itu ketika jenazah dimakamkan ke liang kubur atau setelah selesainya penguburan. Mereka mengira ini bisa mengingatkan si mayit. Bisa jadi mayit yang diadzankan itu masa hidupnya termasuk orang yang sering mendengar adzan, namun tidak memenuhi panggilan adzan terse-but. Dan bukankah adzan adalah panggilan untuk shalat sedangkan shalat merup akan kewajiban orang Islam yang masih hidup?! 
     
  • Termasuk hal yang tidak benar adalah mengumpulkan orang, menyembelih binatang (kambing atau sapi) dan makan-makan di tempat keluarga mayit, bahkan tidak jarang ada yang berlebih-lebihan atau terkadang memaksakan diri dalam hal ini. Yang dianjurkan adalah membuatkan makan untuk keluarga mayit, karena mereka sedang dalam keadaan duka, sehingga mungkin tidak sempat untuk mema-sak, bukan sebaliknya makan-makan di rumah mereka. 
     
  • Ada sebagian orang yang memberi persaksian, bahwa si mayit termasuk ahli iman, orang baik dan orang shaleh padahal kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Persaksian seperti ini tidak ada gunanya di hadapan Allah, karena Dia Maha Tahu atas segala sesuatu. 
     
  • Banyak orang yang menaburkan bunga, biji-bijian (misal, beras kuning) atau jenis-jenis tanaman lain di atas kuburan. Hal ini juga tidak memberi manfa’at bagi orang yang meninggal. Yang memberi manfaaat baginya adalah amal shalehnya: 
    Artinya: "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya," (QS. 53:39) 
     
  • Termasuk hal baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan juga para shahabatnya adalah mengadakan acara-acara tertentu di mana orang- orang berkumpul, duduk-duduk dan tidak jarang sampai menutup jalan umum, biasanya selama tiga hari berturut-turut. Hal ini bisa mengganggu jalan sesama muslim dan memperlambat urusan mereka, disamping acara tersebut memang tidak pernah dicontohkan di dalam agama Islam. 
     
  • Termasuk hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa, banyak para pelayat (orang yang berta'ziyah) ketika jenazah selesai dikuburkan tidak mendo’akan untuknya. Namun segera bubar lalu berbaris di pintu gerbang makam untuk menghibur (ta'ziyah) kepada keluarga mayit, satu per satu memegangi pudak keluarga mayit tersebut. 
     
  • Merupakan hal yang baru juga: menulis ayat-ayat Al Qur'an di kiswah (kain penutup) jenazah, menyembelih binatang di sekitar pintu rumah setelah jenazah dibawa keluar, menyediakan tempat/ruangan khusus untuk orang yang berta'ziyah, serta berdiri meng-hadap ke kuburan sambil bersedekap seperti shalat ketika mendo’akan mayit.


Sumber: Buletin Darul Wathan “Al-Mamnu’ wal Jaiz fi Tasyi’ Al-Janaiz”.

READ MORE - Anjuran dan Larangan dalam Urusan Jenazah

Kamis, 25 Maret 2010

Sikap Muslim Terhadap hari Raya Orang Kafir


Sesungguhnya nikmat terbesar yang diberikan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala kepada hamba-Nya adalah nikmat Islam dan iman serta istiqomah di atas jalan yang lurus. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah memberitahukan bahwa yang dimaksud jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh hamba-hamba-Nya yang telah diberi nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhadaa dan sholihin (Qs. An Nisaa :69).

Jika diperhatikan dengan teliti, maka kita dapati bahwa musuh-musuh Islam sangat gigih berusaha memadamkan cahaya Islam, menjauhkan dan menyimpangkan ummat Islam dari jalan yang lurus, sehingga tidak lagi istiqomah.Hal ini diberitahukan sendiri oleh Allah Ta'ala di dalam firman-Nya, diantaranya, yang artinya: "Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesung-guh-Nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. 2:109)

Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala yang lain, artinya: Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan". Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. 3:99)

Artinya : " Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menta'ati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu kebelakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi". (QS. 3:149)

Salah satu cara mereka untuk menjauhkan umat Islam dari agama (jalan yang lurus)yakni dengan menyeru dan mempublikasikan hari-hari besar mereka ke seluruh lapisan masyarakat serta dibuat kesan seolah-oleh hal itu merupakan hari besar yang sifatnya umum dan bisa diperingati oleh siapa saja. Oleh karena itu, Komisi Tetap Urusan Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi telah memberikan fatwa berkenaan dengan sikap yang seharusnya dipegang oleh setiap muslim terhadap hari-hari besar orang kafir.Secara garis besar fatwa yang dimaksud adalah:
  • Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nashara menghubungkan hari-hari besar mereka dengan peristiwa-peritiwa yang terjadi dan menjadikannya sebagai harapan baru yang dapat memberikan keselamatan, dan ini sangat tampak di dalam perayaan milenium baru (tahun 2000 lalu), dan sebagian besar orang sangat sibuk memperangatinya, tak terkecuali sebagian saudara kita -kaum muslimin- yang terjebak di dalamnya. Padahal setiap muslim seharusnya menjauhi hari besar mereka dan tak perlu menghiraukannya. 

     
  • Perayaan yang mereka adakan tidak lain adalah kebatilan semata yang dikemas sedemikian rupa, sehingga kelihatan menarik. Di dalamnya berisikan pesan ajakan kepada kekufuran, kesesatan dan kemungkaran secara syar'i seperti: Seruan ke arah persatuan agama dan persamaan antara Islam dengan agama lain. Juga tak dapat dihindari adanya simbul-simbul keagamaan mereka, baik berupa benda, ucapan ataupun perbuatan yang tujuannya bisa jadi untuk menampakkan syiar dan syariat Yahudi atau Nasrani yang telah terhapus dengan datangnya Islam atau kalau tidak agar orang menganggap baik terhadap syariat mereka, sehingga biasnya menyeret kepada kekufuran. Ini merupakan salah satu cara dan siasat untuk menjauhkan umat Islam dari tuntunan agamanya, sehingga akhirnya merasa asing dengan agamanya sendiri. 

     
  • Telah jelas sekali dalil-dalil dari Al Quran, Sunnah dan atsar yang shahih tentang larangan meniru sikap dan perilaku orang kafir yang jelas-jelas itu merupakan ciri khas dan kekhususan dari agama mereka, termasuk di dalam hal ini adalah Ied atau hari besar mereka.Ied di sini mencakup segala sesuatu baik hari atau tempat yang diagung-agungkan secara rutin oleh orang kafir, tempat di situ mereka berkumpul untuk mengadakan acara keagamaan, termasuk juga di dalam hal ini adalah amalan-amalan yang mereka lakukan. Keseluruhan waktu dan tempat yang diagungkan oleh orang kafir yang tidak ada tuntunannya di dalam Islam, maka haram bagi setiap muslim untuk ikut mengagungkannya. 

     
  • Larangan untuk meniru dan memeriahkan hari besar orang kafir selain karena adanya dalil yang jelas juga dikarenakan akan memberi dampak negatif, antara lain:
    • Orang-orang kafir itu akan merasa senang dan lega dikarenakan sikap mendukung umat Islam atas kebatilan yang mereka lakukan. 
       
    • Dukungan dan peran serta secara lahir akan membawa pengaruh ke dalam batin yakni akan merusak akidah yang bersangkutan secara bertahap tanpa terasa. 
       
    • Yang paling berbahaya ialah sikap mendukung dan ikut-ikutan terhadap hari raya mereka akan menumbuhkan rasa cinta dan ikatan batin terhadap orang kafir yang bisa menghapuskan keimanan.Ini sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala, artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim". (QS. 5:51)


     

  • Dari uraian di atas, maka tidak diperbolehkan bagi setiap muslim yang mengakui Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai nabi dan rasul, untuk ikut merayakan hari besar yang tidak ada asalnya di dalam Islam, tidak boleh menghadiri, bergabung dan membantu terselenggaranya acara tersebut.Karena hal ini termasuk dosa dan melanggar batasan Allah.Dia telah melarang kita untuk tolong-menolong di dalam dosa dan pelanggaran, sebagaimana firman Allah, artinya: "Dan tolong-menolonglah kamu di dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (QS. 5:2) 

     
  • Tidak diperbolehkan kaum muslimin memberikan respon di dalam bentuk apapun yang intinya ada unsur dukungan, membantu atau memeriahkan perayaan orang kafir, seperti : iklan dan himbauan; menulis ucapan pada jam dinding atau fandel; menyablon/membuat baju bertuliskan perayaan yang dimaksud; membuat cinderamata dan kenang-kenangan; membuat dan mengirimkan kartu ucapan selamat; membuat buku tulis;memberi keistimewaan seperti hadiah /diskon khusus di dalam perdagangan, ataupun(yang banyak terjadi) yaitu mengadakan lomba olah raga di dalam rangka memperingati hari raya mereka. Kesemua ini termasuk di dalam rangka membantu syiar mereka. 

     
  • Kaum muslimin tidak diperbolehkan beranggapan bahwa hari raya orang kafir seperti tahun baru (masehi), atau milenium baru sebagai waktu penuh berkah(hari baik) yang tepat untuk memulai babak baru di dalam langkah hidup dan bekerja, di antaranya adalah seperti melakukan akad nikah,memulai bisnis, pembukaan proyek-proyek baru dan lain-lain. Keyakinan seperti ini adalah batil dan hari tersebut sama sekali tidak memiliki kelebihan dan ke-istimewaan di atas hari-hari yang lain. 

     
  • Dilarang bagi umat Islam untuk mengucapkan selamat atas hari raya orang kafir, karena ini menunjukkan sikap rela terhadapnya di samping memberikan rasa gembira di hati mereka.Berkaitan dengan ini Ibnul Qayim rahimahullah pernah berkata, "Mengucapkan selamat terhadap syiar dan simbol khusus orang kafir sudah disepakati kaha-ramannya seperti memberi ucapan selamat atas hari raya mereka, puasa mereka dengan mengucapkan, "Selamat hari raya (dan yang semisalnya), meskipun pengucapnya tidak terjeru-mus ke dalam kekufuran, namun ia telah melakukan keharaman yang besar, karena sama saja kedudukannya dengan mengucapkan selamat atas sujudnya mereka kepada salib. Bahkan di hadapan Allah, hal ini lebih besar dosanya daripada orang yang memberi ucapan selamat kapada peminum khamar, pembunuh, pezina dan sebagainya. Dan banyak sekali orang Islam yang tidak memahami ajaran agamanya, akhirnya terjerumus ke dalam hal ini, ia tidak menyadari betapa besar keburukan yang telah ia lakukan. Dengan demikian, barang siapa memberi ucapan selamat atas kemaksiatan, kebid'ahan dan lebih-lebih kekufuran, maka ia akan berhadapan dengan murka Allah". Demikian ucapan beliau rahimahullah! 

     
  • Setiap muslim harus merasa bangga dan mulia dengan hari rayanya sendiri termasuk di dalam hal ini adalah kalender dan penanggalan hijriyah yang telah disepakati oleh para shahabat Radhiallaahu anhu, sebisa mungkin kita pertahan kan penggunaannya, walau mungkin lingkungan belum mendukung. Kaum muslimin sepeninggal shahabat hingga sekarang (sudah 14 abad), selalu menggunakannya dan setiap pergantian tahun baru hijriyah ini, tidak perlu dengan mangadakan perayaan-perayaan tertentu.
Demikianlah sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap mukmin, hendaknya ia selalu menasehati dirinya sendiri dan berusaha sekuat tenaga menyelamatkan diri dari apa-apa yang menyebabkan kemurkaan Allah dan laknatNya. Hendaknya ia mengambil petunjuk hanya dari Allah dan menjadikan Dia sebagai penolong. 

Buletin An-Nur, Kamis, 04 Maret 04
READ MORE - Sikap Muslim Terhadap hari Raya Orang Kafir

Rabu, 24 Maret 2010

Pemahaman Tentang Jihad


Akhir-akhir ini, muncul berbagai statemen seputar jihad yang disampai kan oleh segelintir orang yang tidak memiliki pandangan yang jernih, dan ilmu yang memadai. Sebagian dari mereka ada yang bersikap ekstrim dalam hal jihad. Mereka berbicara tentang jihad dengan tanpa bashirah, tanpa ilmu, dan tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan syari’at. 

Sementara itu di sisi lain ada yang bersikap dingin dan menganggap remeh jihad, sehingga ada yang menyifati jihad sebagai tindakan pemaksaan dalam memeluk agama. Padahal Allah subhanahu wata’ala telah berfirman, artinya, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah:256) 

Maka masalah besar ini perlu untuk mendapatkan perhatian dan perlu dijelaskan kepada ummat supaya semuanya menjadi terang. 

Umat Terdahulu dan Jihad

Jihad merupakan kewajiban yang telah dilakukan oleh ummat-ummat terdahulu sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Musa misalnya, telah berjihad bersama Bani Israil (periksa, QS. al-Maidah:21). 

Demikian pula halnya kaum-kaum sepeninggal nabi Musa, mereka pun disyari’atkan untuk berjihad, seperti yang dilakukan Raja Thalut, Nabi Dawud, dan Nabi Sulaiman ketika mendakwahi Ratu Bilqis. 

Allah subhanahu wata’ala mensyari'atkan jihad, sebagai ganti dari hukuman kontan yang berakibat pada kehancuran secara total. Maka berlakulah jihad itu sebagai sunnah para nabi semenjak dahulu, hingga diutusnya Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan tujuan untuk meninggikan kalimat Allah subhanahu wata’ala dan menghilangkan kemusyrikan dan kekufuran. 

Makna dan Macam Jihad

Jihad secara bahasa artinya berjuang atau bersungguh-sungguh. Maksudnya adalah mencurahkan kesungguhan dalam rangka taat kepada Allah subhanahu wata’ala dan beribadah kepada-Nya, termasuk di dalamnya berjuang menghadapi orang-orang kafir. Jihad ada beberapa macam, seorang muslim senantiasa berjihad dengan melaksanakan salah satu dari macam jihad tersebut, yaitu: 

1. Jihad an-Nafs

Yaitu memerangi diri sendiri agar senantiasa taat kepada Allah subhanahu wata’ala, menyuruh diri sendiri agar menjalan kan ketaatan itu, membiasakannya, serta melarang diri dari bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala dan mencegah darinya. Jihad terhadap diri sendiri berlaku sepanjang hidup. Barangsiapa yang tidak bisa menghadapi diri sendiri, maka ia tidak akan dapat menghadapi orang lain. Nafsu senantiasa memerintahkan kepada keburukan, kecuali nafsu yang mendapatkan rahmat. Maka nafsu itu harus diperangi agar terbiasa dengan ketaatan, sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tahapan jihad yang lainnya. 

2. Jihad Melawan Syetan

Jika seseorang telah berhasil melawan diri sendiri, maka selanjutnya dia harus berjuang melawan syetan. Yaitu musuh yang senantiasa datang menggoda dari segenap penjuru arah, kiri, kanan, depan, dan belakang. Syetan selalu menghiasi perbuatan buruk dan menanamkan was-was, mengajak kepada kekufuran, kemusyrikan, dan kemaksiatan. Memerangi syetan dengan cara tidak menjalankan keburukan yang dia bisikkan serta menjalankan apa yang dia larang. Syetan menyuruh kita agar meningggalkan ibadah dan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala, syetan menyuruh kita agar bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, maka kita jangan mengikuti perintahnya. 

3. Jihad Melawan Ahli Maksiat

Yaitu menghadapi orang mukmin yang banyak melakukan kemaksiatan dan penyimpangan, yakni dengan amar ma'ruf (menyuruh kebaikan) dan nahi munkar (mencegah kemungkaran). Amar ma'ruf nahi munkar merupakan salah satu jenis jihad, namun ini dilakukan sesuai kemampuan orang per orang. 

4. Jihad terhadap Orang Munafiq

Orang munafik yaitu orang yang menampakkan keislaman dan keimanan tetapi menyembunyikan kekufuran kepada Allah subhanahu wata’ala. Dari mereka kaum muslimin sering mendapati perlakuan dan sikap yang menyakitkan, ucapan yang buruk, dan syubhat (kerancuan). Sehingga dibutuhkan jihad untuk merontokkan syubhat mereka, menjawab ucapan mereka yang mengada-ada (bid’ah), dan menjelaskan kekeliruan mereka. Orang-orang munafik ini terkadang memiliki retorika yang mengagumkan, terkadang memiliki ilmu komunikasi yang bagus (logika/mantiq, filsafat dan ilmu kalam). Mereka memusuhi orang mukmin dan menyebarkan keburukan, dengan ucapan maupun tulisan, atau dengan mengadu domba dan menanamkan permusuhan di tengah kaum muslimin. 

Maka wajib untuk waspada terhadap mereka, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya, 
“Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka.” (QS. al-Munafiqun:4) 

5. Jihad terhadap Orang Kafir

Yaitu dengan mengangkat senjata, menghadapi mereka dalam “front” pertempuran, berperang di jalan Allah subhanahu wata’ala. Tetapi kewajiban ini dilaksanakan dengan cara bertahap, sebagaimana dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika masih berada di Makkah, kaum muslimin justru dilarang untuk berjihad dan diperintahkan untuk menahan diri dan terus berdakwah menyampaikan ajaran Islam. 

Pembagian Jihad fi Sabilillah

Pertama; Jihad Fardhu ‘Ain; Yakni wajib atas setiap muslim yang mampu untuk berjihad, seperti dalam peperangan untuk membela diri dan mempertahankan negri kaum muslimin. Di antara kondisi jihad yang hukumnya fardhu ‘ain adalah: 

1. Jika kaum muslimin diserang oleh musuh di dalam negeri mereka, maka mereka harus melawan, sehingga wajib bagi siapa saja dari penduduk negri yang mampu berperang untuk membela diri, menjaga kehormatan dan mempertahankan negri yang diserang tersebut. 

2. Apabila Imam menyuruh untuk berjihad, maka hukum jihad adalah fardhu ain bagi setiap muslim yang mampu. 

3. Apabila telah siap berperang dan dua pasukan sudah berhadapan, maka tidak boleh mundur atau lari, jika memiliki kekuatan yang mencukupi. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).” (QS. al-Anfal:15) 

2. Ke dua; Jihad Fardhu Kifayah; Yakni jihad dalam rangka berdakwah kepada orang kafir, untuk memberikan kemaslahatan, melepaskan manusia dari kemusyrikan dan kekufuran, menyelamatkan mereka dari neraka, dan meninggikan kalimat Allah subhanahu wata’ala, sama sekali bukan karena tamak untuk menguasai negri mereka. Kepada mereka ditawarkan Islam, atau perjanjian damai, dan jika tidak mau maka berarti mereka memilih jalan terakhir yakni berperang, sehingga wajib bagi kaum muslimin menghadapi mereka. Jika kewajiban dakwah ini telah dilakukan oleh sebagian kaum muslimin yang memiliki kemampuan maka gugurlah kewajiban yang lain. 

Seruan Jihad Wewenang Imam

Yang berhak menyerukan jihad dan mengaturnya adalah imam kaum muslimin. Imam lah yang mempunyai wewenang menegakkan jihad, mengatur tentara dan pasukan, mengomando sendiri atau mengangkat orang untuk menjadi panglima. Tidak boleh setiap muslim melakukan jihad sendiri-sendiri tanpa izin dari imam kecuali dalam kondisi diserang musuh, karena mereka sedang berhadapan dengan sesuatu yang membahayakan. 

Seluruh kaum muslimin harus di bawah satu imam dan satu komando, tidak boleh berpecah-belah, karena mereka adalah ummat yang satu. Jika dalam masalah ikhtilaf (perbedaan pendapat) tidak boleh menyebabkan berpecah-belah, maka bagaimana pula dalam jihad, yang urusannya jauh lebih besar? 

Mengenai alasan mengapa tidak setiap muslim boleh mengumandang kan jihad, di antaranya adalah karena jihad bukan urusan yang ringan, tetapi masalah besar dan penting yang butuh penyatuan pendapat, butuh kekuatan, penataan dan strategi, serta butuh persiapan yang besar. 

Demikian beberapa masalah seputar jihad. Yang patut dicatat adalah bahwa tujuan jihad itu sangat luhur, yakni agar manusia hanya beribadah hanya kepada Allah subhanahu wata’ala semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun, selaras dengan tujuan dakwah para rasul. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu". (QS. an-Nahl:36). Juga firman-Nya, artinya, 
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, "Bahwasanya tidak ada Ilah(yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. al-Anbiya:25) 

Kemudian tak kalah penting adalah hendaknya diperhatikan betul hukum-hukumnya, adab-adabnya, syarat-syarat dan ketentuannya dengan merujuk kepada para ulama. Dengan demikian maka jihad yang dilakukan adalah jihad syar'i yang bermanfaat bagi umat, bukan jihad asal-asalan, jihad prematur, jihad tanpa bashirah dan ilmu. 

Setelah kita mengetahui beberapa penjelasan tentang jihad sebagaimana di atas, maka sangat jelas bahwa apa yang dilakukan oleh sekelompok orang berupa aksi pengeboman, penculikan, pebunuhan dan semisalnya adalah sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan jihad yang di atur dalam Islam, meskipun mereka mengklaim itu sebagai bagian dari jihad. Sebab Islam sangat melarang keras perbuatan yang menyebabkan kerusakan di muka bumi dan pembunuhan terhadap orang-orang yang terjaga darahnya, tanpa alasan yang haq. 

Jika terhadap binatang Islam mengajarkan umatnya untuk berlaku ihsan, maka bagaimana pula halnya terhadap manusia? 

Sumber: “Fatawa al-Ulama al-Kibar fil Irhab wat-Tadmir wa Dhawabith al-Jihad wat-Takfir wa Mu’amalatul Kuffar,” hal 290-300 dengan menyadur dan meringkas. 

Buletin An-Nur, Rabu, 04 Januari 06
READ MORE - Pemahaman Tentang Jihad

Selasa, 23 Maret 2010

Menyorot Kasus Peledakan dan Pengeboman


Berkali-kali kita mendengarkan dan menyaksikan berbagai peristiwa peledakan fasilitas umum, seperti pusat perbelanjaan, stasiun kereta api, hotel, restoran, dan bangunan-bangunan milik pemerintah, swasta, maupun milik orang asing. Peledakan tersebut telah banyak memakan korban, jiwa atau materi, baik dari kalangan muslimin maupun non muslim. Tak ketinggalan negri-negri kaum muslimin, seperti Saudi Arabia, yang di sana terdapat kiblat umat Islam di Makkah dan masjid Nabawi di Madinah pun ikut menjadi sasaran peledakan, seperti yang pernah terjadi di Kota Riyadh dan Khubar bahkan di Makkah al-Mukarramah tanah Haram. 

Para pelaku peledakan atau penyerangan itu mengklaim dirinya sebagai mujahidin dan peledakan yang mereka lakukan sebagai jihad. Alasannya adalah karena yang mereka jadikan sasaran adalah orang kafir atau kaum muslimin dan pemerintah muslim yang bekerjasama dengan orang kafir. Dan mereka juga menuduh para ulama yang anti terhadap mereka sebagai ulama yang ditekan (pesanan) pemerin-tah, sehingga tidak mau melakukan jihad. Benarkah peledakan, penge-boman, pembunuhan maupun penye-rangan yang mereka lakukan adalah merupakan bentuk jihad fisabilillah? 

Menyorot Akar Permasalahan

Kalau kita memperhatikan dengan cermat berbagai kasus peledakan atau pengeboman tempat-tempat umum sebagaimana tersebut di atas, maka kita akan mendapati dua masalah mendasar yang menjadi latar belakang dilakukan-nya aksi itu. Dua masalah pokok tersebut yang pertama yaitu; Anggapan halalnya darah orang yang dijadikan korban, dan yang ke dua; Klaim jihad atas aksi yang dilakukan. Oleh karena itu marilah kita melihat dua masalah ini secara lebih rinci. 

Kapan Darah Seseorang Boleh Ditumpahkan

Masalah ini kita bagi menjadi dua bagian, yakni kelompok muslim dan kelompok non muslim. Mengenai kapan darah seorang muslim itu dihalalkan, maka Islam telah menjelaskan dengan sangat gamblang, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ¡¥alaihi wasallam
"Tidak halal darah seorang muslim untuk ditumpahkan kecuali dengan salah satu dari tiga sebab; Jiwa dibayar dengan jiwa (qisash); Pelaku zina muhshan (telah menikah) dengan rajam; Orang yang murtad dari agamanya keluar dari jama'ah kaum muslimin." (Muttafaq 'alih) 

Sedangkan darah orang kafir, maka Islam pun telah memberikan patokan yang sangat jelas, yakni haram hukumnya menumpahkan darah mu'ahid (orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin) dan ahli dzimmah (non muslim yang berada di bawah jaminan keamanan kaum muslimin atau pemerintah Islam). Yang boleh diperangi dan halal darahnya adalah orang kafir yang memerangi kaum muslimin (kafir harbi). Jika kita melihat fenomena yang ada dalam kasus peledakan atau pengeboman yang terjadi belakangan ini, maka kita ketahui bahwa yang menjadi korban adalah kaum muslimin dan orang kafir dzimmi atau mu'ahid

Dalam pembahasan ini kita akan menekankan masalah darah kaum muslimin yang ditumpahkan, karena cukup banyak hal dan hukum yang terkait dengan bab ini. 

Yang pertama kali adalah tentang apa alasan mereka menghalalkan darah kaum muslimin sehingga boleh untuk ditumpahkan? Alasannya tentu bukan untuk menegakkan qishah dan bukan karena melakukan hadd (hukuman) terhadap pelaku zina yang muhshan. Maka tinggallah satu alasan lagi, yakni karena mereka (para korban) telah dianggap kafir, sehingga darahnya boleh ditumpahkan. Lalu mengapa mereka dihukumi kafir? Alasan inilah yang sering tidak kita mengerti, namun jika menilik berbagai kejadian dan pemikiran yang berkembang di tengah umat Islam maka dalih yang biasa mereka gunakan adalah karena mereka (para korban) telah mendukung pemerintahan yang tidak berhukum kepada hukum Allah subhanahu wata¡¦ala dan rela dengan hukum produk manusia. Benarkah alasan tersebut? 

Jika takfir (pengafiran) ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin yang berada dalam wilayah negara itu, maka jelas merupakan kesalahan yang besar. Bagaimana seorang muslim dihukumi kafir hanya lantaran pemerintahan negeri tempat dia tinggal tidak berhukum dengan hukum syari'at Allah subhanahu wata¡¦ala? Dan dari mana para pembunuh itu tahu bahwa muslim ini rela atau menganggap halal berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wata¡¦ala, padahal si muslim tidak pernah menyatakan hal itu? Sedangkan para hakim yang tidak memutuskan dengan hukum Allah subhanahu wata¡¦ala atau pihak-pihak lain yang terkait, jika dia seorang muslim, maka tidak bisa divonis kafir sebelum syarat-syarat untuk vonis tersebut terpenuhi. Di antara syarat yang terpen-ting adalah jika dia memang sengaja dengan senang hati melakukan itu dan beranggapan halal melakukannya, atau berkeyakinan bahwa hukum selain hu-kum Allah subhanahu wata¡¦ala tersebut adalah lebih baik. 

Dan andaikan mereka itu misalnya memang benar telah kafir, maka perlu kita pertanyakan lagi kepada para pelaku pembunuhan tersebut, "Apa kapasitas dan wewenang mereka sehingga berani melakukan eksekusi?" Dan apakah mereka (para korban) sudah diminta bertaubat lebih dahulu, kalau ya siapa yang meminta? Untuk pertanyaan ini jelas mereka tidak memiliki jawaban. Jawaban yang mereka gunakan untuk membenarkan tindakan mereka yakni bahwa itu dilakukan dalam rangka jihad fisabilillah, dan inilah akar permasalah-an ke dua. 

Jihad Fisabilillah?

Apakah benar yang mereka lakukan adalah jihad yang syar'i (sesuai tuntunan syari¡¦at)? Jika para pembaca pernah mengaji masalah jihad dari penjelasan para ulama, maka tentu akan dapat menyimpulkan apakah aksi pengeboman atau pembunuhan seperti di atas termasuk jihad syar'i atau tidak! Tetapi ada baiknya apabila kita memba-has kembali masalah ini, supaya lebih jelas. 

Yang hendaknya senantiasa diingat dan dipahami adalah bahwa jihad itu merupakan ibadah yang sangat agung. Sebagaimana ibadah lainnya, agar jihad fisabilillah benar dan diterima oleh Allah ƒ¹maka harus dilaksanakan dengan ikhlas dan mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ¡¥alaihi wasallam (mutaba'ah). Jihad fisabilillah harus dengan niat meninggikan kalimat Allah subhanahu wata¡¦ala, bukan semata-mata karena ingin membunuh atau menyerang lawan. Demikian pula ia tidak boleh dilakukan semaunya, asal-asalan dan tidak memperhatikan adab, ketentuan dan syarat-syarat jihad. 

Dalam kasus pengeboman atau peledakan yang sedang kita bicarakan ini ada beberapa pertanyaan yang selayaknya disampaikan untuk menjadi bahan penilaian, apakah benar aktivitas yang mereka lakukan adalah jihad yang syar'i. 

Pertama; Masalah niat, dalam hal ini kita tidak akan mempertanyakan lebih jauh tentang niat, karena urusan hati hanya Allah subhanahu wata¡¦ala dan pelaku saja yang tahu. 

Ke dua; Kejelasan status korban. Apakah para pelaku sebelumnya pernah berdialog dengan para korban, sehingga tahu persis berdasarkan ilmu bahwa si korban ini benar-benar telah kafir (jika dia muslim)? Sebab kalau ternyata tu-duhan kafir tersebut tidak memiliki dasar yang kuat atau hanya persangkaan saja, maka berarti telah membunuh sesama muslim. 

Ke tiga; Iqamatul Hujjah (menegak-kan hujjah /berdialog dengan mengemu-kakan argumen sehingga tidak ada kera-guan) dan istitabah (meminta bertaubat). Apakah para pelaku setelah benar-benar memvonis korban sebagai kafir sudah me-minta mereka bertaubat lebih dahulu? 

Ke empat; Apa kapasitas para pelaku pengeboman tersebut sehingga berani mengumandangkan jihad atau mengeksekusi orang yang menurutnya kafir? Apakah mereka pemerintah kaum muslimin? Padahal wewenang untuk mengumandangkan jihad itu ada di tangan imam kaum muslimin, kecuali dalam kondisi diserang atau dikepung musuh. Demikian pula halnya dengan melakukan eksekusi, itu merupakan wewenang waliyul amri (penguasa kaum muslimin), bukan wewenang orang perorang. Sebab jika orang perorang dibolehkan melakukannya maka yang terjadi adalah kekacauan. 

Ke lima; Apa yang mereka peroleh setelah peledakan atau pengeboman? Apakah dengan itu mereka lantas mendapatkan manfaat yang besar, misalnya ditegakkannya syari'at Islam secara utuh? Tidak, tidak sama sekali! Bahkan apa yang mereka lakukan akan memperburuk citra Islam, menyebabkan orang salah penilaian terhadap Islam, dan akibatnya mereka semakin menjauh dari Islam dan tidak menaruh simpati. 

Ke enam; Apakah mereka telah berpikir tentang dampak yang ditimbulkan dari aksi tersebut? Sesungguhnya jika dia seorang muslim sejati tentu akan memikirkan nasib saudaranya sesama muslim, yakni jika yang terbunuh adalah mereka yang meninggalkan anak dan keluarga maka berarti telah membuat kesengsaraan dan masalah baru terhadap anak-anak dan keluarganya. Siapakah yang bertanggungjawab mengurusi anak-anak yatim itu, ataukah anak yatim itu juga telah mereka kafirkan? Na'udzubillah min dzalik. 

Belum lagi dampaknya terhadap perjalanan dakwah, para aktivis dakwah, penuntut ilmu, lembaga-lembaga Islam dan kaum muslimin secara umum, apalagi terhadap kaum muslimin yang minoritas, sehingga tak jarang mereka akhirnya harus mendapatkan tekanan-tekanan, perlakukan yang diskriminatif bahkan terkadang siksaan secara fisik dan psikis. 
Sudahkan mereka merenungkan semua ini? 

Referensi: Fatawa al-Ulama al-Kibar fil Irhab wat-Tadmir, penyusun Ahmad bin Salim al-Mishri, Salah Kaprah dalam Memperjuangkan Islam (Kaifa Nu¡¦aliju Waqi¡¦ana al-Alim), Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ma la Yasa' al-Muslim Jahluhu, Dr Abdullah al-Mushlih dan Dr Shalah ash-Shawi.
READ MORE - Menyorot Kasus Peledakan dan Pengeboman