Minggu, 08 Agustus 2010

Bidah : Disangka Air ternyata Api

Suatu ketika, Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'Anhu yang dikenal sebagai aktsaru iqtida'an li-rasuulillah (sahabat yang paling banyak meneladani Rasulullah) mendengar orang yang bersin sembari membaca, "Alhamdulillah, wash-shalaatu wassalaamu 'alaa rasuulillah." Seketika itu, beliau menegurnya dan berkata, "Tidak demikian yang diajarkan oleh Rasulullah! Beliau hanya bersabda, "Barangsipa yang bersin di antara kalian, maka hendaknya memuji Allah (membaca hamdalah)," Beliau tidak mengatakan, "Dan hendaknya bershalawat atas Rasulullah!""

Begitulah kepekaan beliau terhadap bid'ah yang diada-adakan, meskipun orang menganggapnya baik. Pelaku bid'ah seperti orang yang mengumpulkan barang-barang untuk perbekalan safar jarak jauh. Tapi, ternyata bekal yang ia bawa tak berguna apa-apa, selain menambah beban di tengah perjalanan. Sementara dia justru meninggalkan bekal yang bisa meringankan beratnya perjalanan, dan bahkan ia tinggalkan kendaraan yang mengantarkan sampai ke tujuan.

Inilah orang yang tertipu, dia beramal dengan suatu amalan yang dia sangka kebaikan yang mengantarkan ke jannah, tapi ternyata yang dilakukan adalah dosa yang bisa menyeretnya ke neraka. Allah berfirman, "Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. Al-Kahfi: 104)

Bid'ah adalah fatamorgana bagi para pelakunya. Disangkanya air yang bisa mengakhiri derita dahaga, ternyata panas api yang akan menambah penderitaannya. Nabi memberikan keterangan bahwa amal yang tidak mengikuti sunnahnya akan tertolak,

"Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah (contoh)nya dari kami maka tertolak." (HR. Muslim)

Di samping tertolak, bid'ah juga terbilang sebagai kesesatan yang berpotensi memasukkan seseorang ke neraka. Karena setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan adalah neraka tempatnya.

Ibnu Al-Jauzi menyebutkan bahwa bid'ah lebih disukai iblis daripada dosa besar. Karena orang yang melakukan dosa besar menyadari kesalahannya, sehingga mungkin dia akan bertaubat. Sedangkan pelaku bid'ah, bukan saja dia tidak sadar bahwa yang dia lakukan mengandung dosa, bahkan ia sangka mendatangkan pahala. Maka sulit diharapkan taubatnya.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah juga menyebutkan bahwa rangking kedua dosa yang dituju oleh setan setelah syirik adalah bid'ah. Dan bid'ah biasanya menjadi perantara menuju kesyirikan. Seperti bid'ah-bid'ah yang dilakukan di kuburan, hingga ada yang berdoa dan mengagungkan penghuni kubur.

Ketika seseorang condong kepada perbuatan bid'ah, maka pada waktu yang sama dia sedang menjauh dari sunnah dan hidayah. Bisa kita lihat, orang-orang yang bersemangat dalam acara-acara bid'ah, tapi mereka tidak nongol ketika shalat jama'ah di tegakkan. Mereka menganggap bid'ah yang ia lakukan lebh penting dari sunnah, atau bahkan kewajiban yang ia tinggalkan. Inilah orang yang tertipu oleh fatamorgana bid'ah. Maka, waspadalah! (Abu Umar A)

Sumber: www.ar-risalah.or.id
READ MORE - Bidah : Disangka Air ternyata Api

Jumat, 06 Agustus 2010

Muslim Itu Dermawan

"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat haluu'a (keluh kesah lagi kikir). Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir. Kecuali, orang-orang yang mengerjakan salat. Yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)." (Al-Ma'aarij: 19--25).

Manusia cenderung bersikap haluu'a. Apakah itu? Ia ditafsirkan dengan dua ayat berikutnya (20--21): sebuah perangai buruk suka berkeluh kesah lagi kikir. Ketika ia tertimpa kesulitan, hatinya terasa sempit, goncang, dan mudah berputus asa. Ketika beroleh nikmat dan kebaikan, ia bersikap kikir. Yaitu, kikir dari hak Allah dan kikir dari hak sesama.

Tentu tidak semua manusia berperilaku demikian. Seorang muslim semestinya tidak haluu'a, mengapa? Karena, seorang muslim itu ajeg menjaga salatnya. "Kecuali orang-orang yang mengerjakan salat, yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya (daimun)." Dengan salat, hati menjadi tenteram. Juga, dengan salat perbuatan keji dan mungkar dapat ditahan. Maka, seorang mukmin yang salatnya ajeg dan benar, ia tidak gampang berkeluh kesah. Karena, kesulitan atau kemudahan baginya mengandung hikmah. Sebagian sahabat bahkan memandang kesulitan sebagai nikmat, seperti perkataan Abu Dzar al-Ghifari, "Miskin lebih aku sukai daripada kaya, dan sakit lebih aku sukai daripada sehat."

Seorang muslim semestinya tidak haluu'a, mengapa? Karena, seorang mukmin menyadari pada hartanya ada hak bagi orang yang meminta (as-sail) dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (al-mahruum). "Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa." As-sail adalah orang yang meminta. Terhadap orang semacam ini terdapat hak bagi dia, seperti dalam sabda Rasulullah saw., "Bagi orang yang meminta-minta terdapat hak, meskipun ia datang mengendarai kuda." (HR Abu Dawud dari hadis Sufyan ats-Tsauri, dalam riwayat lain disandarkan kepada Ali bin Abu Thalib).

Adapun al-mahrum, seperti didefinisikan Ibnu Abbas, adalah orang yang bernasib buruk. Ia tidak memiliki bagian dalam baitul mal, tidak memiliki pendapatan, dan tidak memiliki pekerjaan yang dapat menopang. Rasulullah pernah bersabda, "Orang miskin bukanlah orang yang keliling dan engkau memberinya sesuap atau dua suap makanan dan sebutir atau dua butir kurma, akan tetapi orang miskin adalah orang yang tidak memiliki kekayaan yang mencukupinya sedangkan orang lain tidak mengetahuinya sehingga bersedekah kepadanya." (HR Bukhari dan Muslim).

Jadi, seorang muslim semestinya dermawan, tidak kikir dan tidak bakhil. Karena, seorang muslim senantiasa merenungkan ayat-ayat Allah, seperti dalam ayat berikut.

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: 'Ya Rabku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh." (Al-Munafiqun: 10).

Suatu ketika Rasulullah saw. bertanya kepada para sahabatnya, "Manakah yang lebih kalian cintai: harta ahli waris atau harta sendiri?" Mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, tentu tidak seorang pun di antara kita kecuali lebih mencintai hartanya sendiri." Rasulullah meneruskan, "Sesungguhnya harta seseorang ialah apa yang telah ia gunakan, dan harta ahli waris adalah apa yang belum ia gunakan." (HR Bukhari).

Abu Bakar al-Jazairi menceritakan sebuah kisah yang mengagumkan di dalam Minhajul Muslim Dikisahkan bahwa Ibunda Aisyah r.a. mendapat kiriman uang sebanyak 180.000 dirham dari Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh beliau uang itu disimpan di mangkuk dan dibagikan kepada manusia hingga tak tersisa. Pada sore harinya, Aisyah berkata kepada budak wanitanya, "Antarkan makanan berbuka untukku." Budak wanita tersebut menghidangkan roti dan minyak kepada Aisyah. Beliau berkata kepada budak, "Mengapa engkau tidak mengambil uang satu dirham dari uang yang aku bagikan tadi buat membeli daging untuk buka puasa kita?" Budak tersebut menjawab, "Jika engkau mengingatkanku sejak tadi, aku pasti melakukan."

Dalam kekiniian, betapa banyak kita temukan dua tipe masusia di atas. Tipe orang muskin meminta-minta karena kondisi memaksa, juga tipe orang yang tidak memiliki kekayaan, penghasilan, pekerjaan, namun ia enggan untuk meminta. Terhadap tipe pertama, akan lebih mudah bagi kita untuk mengetahuinya, namun terhadap tipe kedua, diperlukan sedikit perhatian untuk mengetahuinya. Di sinilah perlunya sikap peka terhadap lingkungan. Budaya modernisme sering berdampak pada menjadikan orang berperilaku egois, tidak mengenal tetangga, tidak mengenal lingkungan. Setiap hari ia makan enak, namun ia tidak mengetahui bahwa orang-orang di sekitarnya tengah kelaparan.

Terlebih al-mahrum, tidak mesti mereka kelompok marginal yang tidak mampu bekerja. Kadang mereka kelompok profesional yang tidak tertopang situasi dan sarana yang mendukung untuk bekerja, seperti tidak adanya lapangan pekerjaan atau tertimpa bencana perang. Dalam konteks ini, perlu aktualisasi kedermawanan bagi muslim yang "kuat", tentu tidak sekadar berpikir memberi ikan, melainkan harus juga berpikir bagaimana memberi kail. Wallahu a'lam bish-shawab. (Abu Zahrah).

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

READ MORE - Muslim Itu Dermawan

Kamis, 05 Agustus 2010

Berbuat Baik Disukai Allah

"Dan berbuat baiklah (ihsan), karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Al-Baqarah: 195).

Ali bin al-Husain memiliki hamba sahaya perempuan. Suatu hari sang budak menuangkan air wudu untuknya. Tanpa disengaja, ceret, tempat air wudhu, jatuh menimba wajah Ali hingga terluka. Ali Zainal Abidin dengan marah menatap wajah sang budak. Merasa bersalah sang budak berkata, (mengutip surah Ali Imran ayat 134 yang menyebutkan kriteria orang bertakwa), "Sesungguhnya Allah berfirman, 'Wal kaazimiinal ghaidl,' (Dan orang yang menahan amarahnya)."
Ali menjawab, "Aku telah menahan amarahku."
Hamba sahaya berkata lagi, "Wal 'aafiina 'anin nas" (Dan orang-orang yang memberikan maafnya).
Ali menimpali, "Semoga Allah memaafkan kamu."
Ia berkata lagi, "Wallahu yuhibbul muhsiniin" (Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan).
Ali membalas, "Engkau telah kubebaskan karena Allah Azza wa Jalla." (Al-Bidayah IX/112).

Subhanallah! sungguh sebuah sikap yang mengagumkan. Amarah yang berhenti dalam sekejab karena dibacakan ayat, disusul pemberiaan maaf, bahkan pembebasan budak karena dorongan berbuat ihsan. Tercermin sebuah kematangan emosi, pengagungan akan ayat Allah, dan sikap memilih dan melakukan yang terbaik (ahsanahu).

Itulah profil muslim. Karena, Islam dibangun di atas tiga pilar: Islam, iman, dan ihsan. "Tadi adalah Malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan persoalan din kepada kalian." Itulah jawaban Rasulullah ketika malaikat datang dan bertanya perihal Islam, iman dan ihsan. Jadi, dinul Islam dibangun di atas ketiganya.

Perbuatan ihsan itu banyak bentuk dan ragamnya. Ihsan dalam hal ibadah, seperti jawaban Rasulullah saw. kepada Jibril, "Ihsan adalah hendaklah engkau beribadah kepada Allah seperti engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu." (HR Muslim). Ihsan dalam ibadah adalah adanya rasa selalu diawasi Allah Taala ketika menunaikannya, seolah ia melihat Allah, atau minimal merasakan bahwa Allah melihatnya. Untuk itu, harus dilakukan dengan menyempurnakan syarat, rukun, sunah dan tata-caranya. Karena, ibadah tidak akan dilihat oleh Allah jika menyelisihi tata-cara yang disyariatkan. Demikian ditulis oleh Abu Bakar al-Jazairi dalam Minhajul Muslim. Beliau juga menilis bentuk-bentuk berbuat ihsan dalam bidang muamalah, misalnya dengan berbuat baik kepada orang tua, sanak keluarga, anak yatim, orang miskin, musafir, pembantu, manusia secara umum dan hewan, seperti tersebut dibawah ini.

Berbuat baik kepada orang tua bisa dengan menaatinya, memberikan kebaikan kepada keduanya, tidak menyakiti keduanya, mendoakan keduanya, memintakan ampun untuk keduanya, melaksanakan wasiat-wasiat keduanya dan menghormati teman-teman keduanya.

Berbuat baik kepada sanak keluarga misalnya dengan menyayangi mereka, lemah lembut terhadap mereka, mengerjakan perbuatan baik bersama mereka, tidak melakukan tindakan-tindakan yang menyusahkan mereka dan tidak menjelek-jelakkan ucapan mereka.

Berbuat baik kepada anak yatim ialah dengan menjaga harta mereka, melindungi hak-hak mereka, mendidik mereka, membina mereka, tidak menyakiti mereka, tidak memaksa mereka, ceria di depan mereka, dan mengusap kepala mereka.

Berbuat baik kepada orang-orang miskin adalah dengan menghilangkan kelaparan mereka, menutup aurat mereka, menganjurkan manusia memberi makan kepada mereka, tidak mencaci kehormatan mereka, tidak menghina mereka, dan tidak menimpakan kesusahan kepada mereka.

Berbuat baik kepada musafir ialah dengan memenuhi kebutuhannya, menutup aibnya, menjaga hartanya, melindungi kemuliannya, memberinya petunjuk jika ia meminta petunjuk, dan menunjukkannya jika tersesat.

Berbuat baik kepada pembantu adalah dengan menggajinya sebelum keringatnya kering, tidak menyuruhnya mengerjakan pekerjaan yang tidak mampu dikerjakan, menjaga kemuliaannya, dan menghormati kepribadiannya. Jika pembantu tersebut menetap di rumah yang dibantu, baginya memberi makan seperti yang ia makan, memberi pakaian seperti yang ia kenakan.

Berbuat baik kepada manusia secara umum antara lain dengan berkata lembut kepada mereka, mempergauli mereka dengan pergaulan yang baik setelah sebelumnya menyuruh mereka kepada kebaikan, melarang mereka dari kemungkaran, memberi petunjuk kepada orang yang tersesat di antara mereka, mengajari orang jahil di antara mereka, mengakui hak-hak mereka, tidak mengganggu mereka dengan mengerjakan tindakan yang membahayakan mereka dan lain sebagainya.

Berbuat baik kepada hewan adalah dengan memberinya makan jika lapar, mengobatinya jika sakit, tidak membebani dengan muatan yang tidak mampu ditanggungnya, lemah lembut terhadapnya jika bekerja, dan mengistirahatkannya jika lelah.

Begitulah bentuk-bentuk ihsan. Semoga kita tergolong dalam barisan muhsinin yang dicintai Allah, seperti dalam firman di atas, "Dan berbuat baiklah (ihsan), karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Al-Baqarah: 195). Wallahu a'lam bish shawab. (Abu Zahrah)

READ MORE - Berbuat Baik Disukai Allah

Selasa, 03 Agustus 2010

Bahaya Cinta Kekuasaan

Hubbur riyasah (cinta kekuasaan) adalah salah satu syahwat yang sering menimpa manusia. Bagi orang yang terkena penyakit ini, kekuasaan, jabatan dan segala yang mengiringinya berupa popularitas dan ketenaran merupakan tujuan hidupnya. Berkenaan dengan bahaya cinta kekuasaan ini Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda yang diriwayatkan oleh Ka'ab bib Malik Radhiallaahu anhu ,
"Dua ekor serigala yang dilepas kepada seekor domba tidak lebih parah kerusakannya bagi domba itu, bila dibandingkan ketamakan seseorang terhadap harta dan kedudukan dalam merusak agamanya." (dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dan mengatakan, "hadits hasan shahih")

Al-Hafidz Ibnu Rajab tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, "Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam memberitahukan bahwa ketamakan seseorang terhadap harta dan kedudukan akan merusak agamanya, dan kerusakan itu tidak lebih kecil daripada kerusakan akibat keberingasan dua serigala terhadap seekor domba. Bisa jadi sepadan atau mungkin lebih besar. Ini mengisyarat kan bahwa tidak akan selamat agama seseorang jika dia tamak terhadap harta dan kedudukan dunia, kecuali sangat sedikit (yang bisa selamat darinya). Sebagaimana pula halnya seekor domba tidak akan selamat dari keberingasan dua ekor serigala yang sedang lapar, kecuali sangat sedikit sekali.

Perumpamaan yang agung ini mengandung peringatan yang keras tentang keburukan sikap rakus terhadap harta dan kedudukan dunia, hingga beliau mengatakan, "Adapun tamaknya seseorang terhadap kedudukan maka itu lebih membinasa kan daripada ketamakannya terhadap harta. Karena ambisi mencari kedudukan, kekuasaan dan kemuliaan dunia untuk mengungguli (merasa tinggi) di atas sekalian manusia lebih berbahaya bagi seseorang daripada ambisi terhadap harta. Menahan diri dari hal tersebut sangatlah lebih sulit, karena untuk mencari kedudukan dan kekuasaan biasanya seseorang rela mengorbankan harta yang amat banyak." (Syarah hadits, ma dzi'baani jaai'aani hal 7,13 secara ringkas)

Al Imam Ibnu Rajab kemudian menyebutkan metode setiap orang dalam meraih kedudukan dunia. Beliau mengatakan," Tamak terhadap kemuliaan dunia ada dua macam;

Pertama, mencari kemuliaan dunia dengan kekuasaan, sulthan (power), dan harta. Ini semua sangat berbahaya karena pada umumnya akan menghalangi pelakunya untuk mendapatkan kebaikan dan kemuliaan di akhirat. Allah ƒ¹ berfirman, artinya,
¡§Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.¡¨ (QS. 28:83)

Hingga beliau mengatakan, "Di antara bentuk cinta kedudukan dunia yang jelas bahayanya adalah berupa tamak terhadap pemerintahan (yakni tamak ingin menjadi penguasa, red). Ini merupakan masalah yang sangat pelik yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang berilmu, mengenal Allah Subhannahu wa Ta'ala dan mencintai-Nya. Perlu diketahuai bahwa cinta kemuliaan dengan cara tamak terhadap kekuasaan agar dapat memerintah dan melarang serta mengatur urusan manusia (menurut kehedaknya), jika hanya dimaksudkan semata-mata untuk tujuan memperoleh kedudukan yang tinggi di atas sekalian orang, merasa lebih besar daripada mereka dan agar orang terlihat membutuhkan dirinya, selalu merendah kepadanya serta menghinakan diri ketika ada hajat dan kebutuhan terhadapnya, maka bentuk seperti ini telah mengusik rububiyah dan uluhiyah Allah .

Ke dua; Mencari kemuliaan dunia dan kedudukan dengan hal-hal yang terkait dengan agama, seperti ilmu, amal ibadah dan kezuhudan. Ini lebih buruk dari yang pertama serta lebih besar bahaya dan kerusakannya. Karena ilmu, amal dan semisalnya hanyalah untuk mencari derajat yang tinggi dan kenikmatan abadi di sisi Allah ƒ¹, juga untuk bertaqarrub dan mendekatkan diri kepada-Nya. (Syarh hadits ma dzi'baani jaai'aani, hal 7, 13 secara ringkas)

Di antara yang menambah besar bahaya ini adalah bahwasanya manusia memiliki kecenderungan dan cinta yang besar terhadap kekuasaan dan popularitas. Sebagaimana yang ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, "Sesungguhnya manusia jika merenungkan dan mengenali dirinya dan manusia yang lain, maka seseorang akan melihat bahwa dirinya selalu ingin ditaati dan ingin berada di atas sedapat mungkin. Dan jiwa itu dipenuhi dengan rasa cinta terhadap kedudukan yang tinggi dan kekuasaan setinggi-tingginya. Maka anda dapati dia akan memberikan loyalitas kepada orang yang cocok dengan hawa nafsunya, dan memusuhi orang yang menyelisihi hawa nafsunya. Maka akhirnya dia menjadi hamba hawa dan keinginannya."

Hingga pada ucapan beliau, "Dan kalau dia ditaati, maka dia ingin segala yang menjadi keinginannya terus ditaati, meskipun berupa dosa dan kemaksiatan kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala. Sehingga orang yang taat kepadanya lebih dia cintai dan lebih mulia baginya daripada orang yang taat kepada Allah dan menyelisihi keinginannya. Ini merupakan bagian dari keadaan Fir'aun dan seluruh orang yang mendustakan rasul-rasul.¡¨ (majmu' al-Fatawa 8/18, secara ringkas)

Sesungguhnya gila kekuasaan tidak akan terlepas dari berbagai kerusakan dan bermacam-macam keburukan. Sebagiannya disampaikan oleh al-Imam Ibnu Rajab, beliau berkata, "Ketahuilah bahwa tamak terhadap kedudukan akan menyebabkan kerusakan yang besar, sebelum orang tersebut meraihnya, ketika orang tersebut sedang berusaha meraihnya dan lebih-lebih setelah berhasil mendapatkannya dengan penuh ambisi, yakni dapat menjerumuskannya ke dalam kezhaliman, takabbur dan kerusakan-kerusakan yang lain.¡¨ (syarh hadits ma dzi'baani jaai'aani)

Dan dalam kesempatan yang lain beliau berkata, "Sesungguhnya cinta harta dan kedudukan, serta tamak terhadapnya akan merusak agama seseorang sehingga agama itu tidak tersisa kecuali apa yang dikehendaki Allah Subhannahu wa Ta'ala. Hawa nafsu itu senang kepada kedudukan yang tinggi di atas manusia lainnya, dan dari sinilah tumbuh kesombongan dan kedengkian." (ibid, hal 29)

Telah jelas bagi kita bahaya dan tercelanya cinta kekuasaan serta penjelasan kerusakan yang ditimbulkan olehnya. Namun ada hal lain berkaitan dengan masalah kekuasaan ini, bahwa ada perbedaan antara cinta kekuasaan dan menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk da'wah kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala Tujuan seseorang dalam memegang kekuasan di sini adalah untuk mengangungkan Allah dan ajaran-ajaran Nya, sedangkan tujuan orang yang cinta kekuasaan adalah agar orang lain mengagungkan dan menyanjung dirinya. Pemimpin pemimpin yang adil dan hakim hakim yang lurus tidak akan mengajak orang lain untuk mengagungkan diri mereka sama sekali, namun mereka mengajak manusia agar selalu mengagungkan Allah semata dan mengesakan-Nya dalam beribadah. Dan di antara mereka ada yang tidak menginginkan jabatan kecuali hanya sekedar sebagai sarana untuk dakwah di jalan Allah Subhannahu wa Ta'ala .

Maka orang yang memohon kepada Allah agar menjadikan dirinya sebagai imam yang selalu dijadikan contoh oleh orang-orang yang bertakwa, sebagaimana dia juga mencontoh orang-orang yang bertakwa, maka hal ini tidak apa-apa. Bahkan layak untuk dipuji karena dia telah menjadi penyeru ke jalan Allah Subhannahu wa Ta'ala, senang jika Allah Subhannahu wa Ta'ala diibadahi dan ditaati. Maka dia menyintai apa saja yang dapat menolong dan mengantarkan pada tujuan tersebut.

Merupakan kewajiban para ahli ilmu dan penunutut ilmu untuk menjauhi dan berhati-hati dari syahwat jabatan, kekuasaan dan popularitas, karena ia merupakan penyakit yang membahayakan. Selayaknya orang yang terjangkit penyakit ini segera berobat dengan cara bertaubat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala, melakukan tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa) dan muhasabah (introspeksi) terhadap dirinya.

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, "Riyasah (kekuasaan) lebih disukai oleh para Qurra' (ahli ilmu) daripada emas merah." (kitab al Wara', Imam Ahmad bin Hanbal, hal 91)

Abul Farraj Ibnul Jauzi juga telah memberikan nasehatnya, "Wahai saudaraku hendaklah kalian selalu perhatian terhadap lurusnya niat, tinggalkan berhias (berbuat kebaikan) karena ingin disanjung orang, jadikan tiang penyanggamu adalah istiqamah bersama yang haq. Dengan itu para salaf menjadi tinggi dan berbahagia." (Shaidul Khathir hal 227, periksa juga akhlaqul 'ulama' oleh al-Ajuri hal 157).

Diringkas dari buku ¡¥Ubudiyatusy Syahwat hal 54-62, Dr.Abdul Aziz bin Muhammad Ali al-Abdul Lathif. (Abu Ahmad)
READ MORE - Bahaya Cinta Kekuasaan

Senin, 02 Agustus 2010

Di Mana Allah?

Dalam suatu pengajian selepas shalat Isya’ menjelang shalat Tarawih pada bulan Ramadhan 1426 H yang lalu di suatu masjid di daerah Depok, seorang penceramah melontarkan satu pertanyaan kepada para hadirin yang hadir pada saat itu. Pertanyaan yang dilontarkan sangat simpel dan sederhana, yaitu, "Di mana Allah?". Mendengar pertanyaan yang mungkin belum pernah terdengar, para jamaah yang hadir tersebut diam dan tidak terdengar ada jawaban. Lalu penceramah tersebut mengulangi lagi pertanyaannya, "Bapak-bapak, Ibu-ibu Di mana Allah?". Setelah ditunggu beberapa saat tidak terdengar juga ada jawaban. Namun tanpa disangka dan diduga dua anak kecil yang berada di shaf (barisan) paling belakang duduk di dekat pintu masuk khusus kaum pria, mereka berdua dengan wajahnya yang sangat polos menjawab, "Allah di langit".

Dalam kesempatan lain dan di tempat lain, penceramah tersebut juga mengajukan pertanyaan yang sama kepada jamaah yang hadir, "Di mana Allah?". Ada seorang hadirin yang menjawab, "Allah ada di mana-mana dan Dia ada di setiap tempat", ada lagi yang mencoba untuk menjawab: "Allah ada di hati kita". Ada lagi yang lainnya mengatakan, "Allah tidak punya tempat", yang lain lagi mengatakan, "Kita tidak boleh menanyakan hal itu".

Allah subhanahu wata’ala adalah Rabb yang haq dan wajib kita ibadahi dan bahkan kita diperintahkan oleh-Nya secara rutin untuk melaksanakan ibadah shalat sebanyak 5 kali sehari semalam sebagai bentuk penyembahan dan pengabdian kita yang sangat agung kepada-Nya. Hal itu kita lakukan agar kita tergolong sebagai hamba-Nya yang bertauhid.

Dan juga setiap do'a yang kita panjatkan dan kita munajatkan kepada-Nya setiap ada waktu dan kesempatan, lalu kita tengadahkan kedua tangan kita "ke atas" yang mengindikasikan bahwa Dzat yang kita sembah adalah Maha Tinggi.

Masih banyak pemahaman aqidah kaum muslimin ini yang perlu diluruskan, sebab mayoritas mereka belum mengenal Allah subhanahu wata’ala secara benar, artinya aqidah mereka masih banyak yang menyimpang, hal ini terbukti dari jawaban-jawaban mereka yang salah ketika menjawab pertanyaan yang terlihat sederhana seperti; "Di mana Allah?". Ini mengindikasikan bahwa aqidah kaum muslimin masih cukup memprihatinkan dan perlu adanya pembenahan.

Kekeliruan semacam ini sebagai akibat dari informasi-informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan yang ditiupkan oleh manusia-manusia yang kurang paham dalam bidang aqidah, sehingga merusak fithrah kaum muslimin.

Padahal untuk menjawab pertanyaan "Di mana Allah," tidak mesti seseorang itu berkapasitas sebagai seorang ulama, sebab fithrah manusia yang masih suci akan mampu memberikan jawaban yang tepat. Sebagai contoh adalah kasus di atas; dua anak kecil mampu memberikan jawaban yang benar dan tepat ketika menjawab pertanyaan "Di mana Allah?".

Marilah kita simak pula sebuah hadits shahih berikut ini, “Seorang shahabat Nabi yang bernama Mu'awiyah Bin Hakam As-Sulamy radhiyallahu ‘anhu, dia memiliki seorang budak wanita yang ingin dia merdekakan, akan tetapi sebelum dia dimerdekakan oleh Mu'awiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajukan dua pertanyaan kepada budak wanitanya tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, "Di mana Allah ?" Lalu dijawab oleh budak wanita itu, "(Allah itu) di langit", lalu Nabi bertanya lagi, "Siapa saya ini?", dijawab oleh budak wanita itu, "Engkau adalah Rasulullah." Setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, "Merdekakan dia, karena dia seorang mukminah (yang beriman dan beraqidah secara benar)".

Hadits ini diriwayatkan oleh jama’ah Ahli Hadits, diantaranya; Imam Muslim, Imam Malik, Imam Abu Daud, Imam Nasa'i, Imam Ahmad, Imam Baihaqi, Imam Daarimi, Imam Ibnu Khuzaimah, dan lain-lain.

Hadits ini merupakan hujjah (dalil) yang sangat kuat untuk membantah orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wata’ala ada di mana-mana dan Dia berada di setiap tempat. Hadits ini menerangkan dengan sangat jelas tentang keberadaan Allah subhanahu wata’ala "di atas langit".

Imam Adz-Dzahabi setelah membawakan hadits ini di dalam kitabnya "Al-'Uluw,” beliau berkomentar: "Yang demikian itulah pendapat kami (artinya dia sejalan dengan hadits di atas), setiap ada orang yang bertanya, “Di mana Allah? “Maka dia (orang yang ditanya) dengan fitrahnya akan segera menjawab, “(Allah ) Di atas langit!” Di dalam hadits ini ada dua permasalahan:
Pertama; Disyari'atkan seorang muslim bertanya (kepada saudaranya), “Di mana Allah?”,
Kedua; Jawaban orang yang ditanya (hendaklah mengatakan), “Di atas langit!” Barangsiapa yang mengingkari dua permasalahan ini maka dia berarti telah mengingkari Al-Musthafa (Muhammad) shallallahu ‘alaihi wasallam".

Imam Ad-Darimi membawakan hadits ini dalam kitabnya, Ar-Raddu 'ala Al-Jahmiyyah. Lalu beliau berkata, "Di dalam hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini dijelaskan dengan terang, bahwa apabila seseorang tidak mengetahui keberadaan Allah yang berada di atas langit dan bukan di bumi, maka dia bukanlah seorang mukmin. Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjadikan tanda keimanannya (budak perempuan) tersebut adalah pengetahuannya tentang keberadaan Allah subhanahu wata’ala di atas langit.

Penjelasan tentang istiwa’ (bersemayam) Allah di atas 'Arsy di langit-Nya telah ditegas-kan oleh Allah sendiri di tujuh tempat dalam Al-Qur’an; (1) S. Thaha ayat 5, (2) S. Al-A'raf ayat 54, (3) S. Yunus ayat 3, (4) S. Ar-Ra'du ayat 2, (5) S. Al-Furqon ayat 59, (6) S. As-Sajdah ayat 4 dan (7) S. Al-Hadid ayat 4.

Madzhab Salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka, seperti imam yang empat: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad Bin Hambal dan Imam-Imam yang lainnya, termasuk Imam Abul Hasan al-Asy'ary, mereka berkeyakinan sama dan mengimani keberadaan Allah subhanahu wata’ala di atas langit dan bersemayam di 'Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.

Dalam kitab Minhaj Al-Firqoh An-Najiyah karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu hafidzahullah, beliau menukilkan beberapa ungkapan ulama dari kalangan As-Salafush Sholeh tentang keberadaan Allah subhanahu wata’ala di atas 'Arsy-Nya, diantaranya:

Imam Al-Auza'iy , berkata, "Kami dari kalangan Tabi'in mengatakan; sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Mulia sebutan-Nya berada dia atas 'Arsy-Nya, kami mengimani sifat-sifat-Nya sebagaimana apa adanya menurut Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Imam Abu Hanifah , berkata, "Barangsiapa yang berkata saya tidak tahu apakah Rabb-ku berada di langit atau di bumi, maka sungguh dia bukan seorang muslim, karena Allah subhanahu wata’ala sesungguhnya telah berfirman, (Ar-Rahmân 'Alal-'Arysistawâ, (artinya: Dzat Yang Maha Pengasih bersemayam di atas 'Arsy), dan 'Arsy-Nya itu di atas langit yang tujuh. Jika dia mengatakan; sesungguh Dia (Allah subhanahu wata’ala) di atas 'Arsy-Nya bersemayam, akan tetapi saya tidak tahu apakah 'Arsy itu berada di langit atau di bumi, maka dia juga bukan seorang muslim, karena sesungguhnya dia telah mengingkari bahwa Allah subhanahu wata’ala berada di atas langit. Dan barangsiapa yang mengingkari keberadaan-Nya di langit, berarti dia telah kufur, karena sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala adalah Dzat yang paling tinggi di atas segala yang tinggi, dan para Hamba-Nya meminta (berdo'a) kepada-Nya dengan menengadahkan tangan ke atas dan bukan ke bawah).

Imam Asy-Syafi'i , berkata, "Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala berada di atas 'Arsy-Nya (dan 'Arsy-Nya itu) di atas langit-Nya, Dia mendekat kepada makhluk-Nya, (bagaimanapun caranya) sesuai dengan yang Dia kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia (langit pertama), (bagaimanapun caranya) sesuai dengan yang Dia kehendaki".

Imam Malik , ketika beliau ditanya tentang bagaimana cara "Istiwa`" (bersemayam) Allah subhanahu wata’ala di atas 'Arsy-Nya, beliau menjawab: "Istiwa` maknanya sudah jelas/terang (tidak perlu ditanyakan lagi), sedangkan bagaimana cara Allah ber-Istiwa’ di atas 'Arsy-Nya tidak dapat kita ketahui, beriman dengan sifat Istiwa’ Allah ini adalah wajib dan bertanya tentang hal itu (yaitu bagaimana cara Allah ber-Istiwa’ di atas 'Arsy-Nya) adalah bid'ah. Lalu Imam Malik , memerintahkan agar orang yang bertanya tersebut dikeluarkan dari majlisnya, sebab dia telah ragu terhadap salah satu sifat Allah subhanahu wata’ala yaitu ber-Istiwa’ di atas 'Arsy-Nya, sedangkan hal itu tidak pernah ditanyakan oleh generasi sebelum mereka.

Imam Ibnu Khuzaimah (beliau ini imamnya para imam), berkata di dalam kitabnya At-Tauhid, "Kami beriman dengan pemberitaan wahyu dari Allah subhanahu wata’ala, sesungguhnya Pencipta kami (Allah), Dia berada di atas 'Arsy-Nya, kami tidak akan mengganti/mengubah firman Allah subhanahu wata’ala tentang hal ini, dan kami tidak akan mengucapkan perkataan yang tidak pernah dikatakan oleh Allah kepada kami, (tidak) sebagaimana kaum yang menghilangkan sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala seperti kaum Jahmiyyah yang telah berkata: sesungguhnya Allah Istaula (berkuasa) di atas 'Arsy bukan Istawa (beristiwa’), mereka ini dengan lancangnya telah mengubah firman Allah subhanahu wata’ala yang tidak pernah diucapkan Allah kepada mereka. Sikap mereka ini sebagaimana sikap kaum Yahudi yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk mengucapkan perkataan, “Hiththotun” (ampunilah dosa-dosa kami) tapi mereka justru mengucapkan, “Hinthotun” (gandum), seperti itulah kaum Jahmiyyah". (Abu Abdillah Dzahabi).

(Buletin An-Nur, Sabtu, 21 Januari 06)
READ MORE - Di Mana Allah?

Minggu, 01 Agustus 2010

Sekilas Tentang Surga

Keberadaan Surga

Keberadaan surga ditunjukkan dengan dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Dari al-Qur'an , di antaranya adalah firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal." (QS. 53:13-15)

Disebutkan di dalam as-Shahihain (riwayat al-Bukhari dan Muslim) dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu dalam kisah Isra' Mi’raj bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat Sidratil Muntaha dan melihat di sisinya ada Jannatul Ma'wa. Beliau bersabda,
"Kemudian Jibril membawaku pergi hingga berhenti d Sidratil Muntaha, maka Sidratil Muntaha itu diliputi warna-warni yang aku sendiri tidak mengetahui apa itu. Lalu beliau bersabda, "Kemudian aku masuk ke dalam surga dan ternyata di dalamnya bertahtakan mutiara dan debunya terbuat dari misik." (HR al-Bukhari dan Muslim)

Dan di dalam riwayat lain dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya salah seorang di antara kalian apabila mati maka akan diperlihatkan kepadanya tempat kembalinya setiap pagi dan sore. Kalau diperlihatkan bahwa dia termasuk penghuni neraka, maka dia akan menjadi penghuni neraka. Dan Jika diperlihatkan sebagai penghuni surga, maka dia akan menjadi penghuni surga. Lalu dikatakan, "Inilah tempatmu hingga Allah membangkitkanmu pada hari Kiamat." (HR al-Bukhari dan Muslim)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa surga adalah makhluk Allah subhanahu wata’ala yang telah diciptakan, sebagaimana pula dengan neraka. Maka orang yang menyelisihi keyakinan ini adalah termasuk ahli bid'ah, seperti mu'tazilah yang mengatakan bahwa surga belum diciptakan, tetapi baru diciptkan pada hari Kiamat kelak.

Pintu-Pintu Surga

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan orang-orang yang bertaqwa kepada Rabbnya dibawa ke surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya, "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya" (QS. Az-Zumar:73)

Di dalam ayat ini Allah subhanahu wata’ala menyebutkan bahwa surga memiliki pintu-pintu, sebagaimana juga neraka. Dan pintu-pintu surga apabila nanti telah terbuka, maka akan terus dibiarkan terbuka tidak sebagaimana pintu neraka, ia akan ditutup rapat sebab neraka merupakan penjara. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Ini adalah kehormatan (bagi mereka). Dan sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa benar-benar (disediakan) tempat kembali yang baik, (yaitu) surga 'Adn yang pintu-pintunya terbuka bagi mereka.” (QS. 38:49-50)

Adapun neraka, maka tidak demikian, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,
“(Yaitu) api (disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (naik) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka.” (QS. 104:6-8)

Rahasia di balik terbukanya pintu surga bagi para penghuninya adalah karena mereka dapat mondar-mandir, datang dan pergi ke mana saja sesuka mereka. Dan yang ke dua adalah karena malaikat masuk ke dalam surga setiap waktu dengan penuh sikap lembut dan ramah. Ini menunjukkan bahwa surga merupakan tempat aman dan kedamaian yang tidak butuh untuk dikunci (ditutup) pintunya.

Di dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Di dalam surga terdapat delapan pintu, salah satunya sebuah pintu yang disebut dengan "ar-Rayyan". Tidak memasuki pintu tersebut kecuali orang-orang yang berpuasa."

Di Manakah Surga Berada?

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal." (QS. 53:13-15)

Ayat ini menunjukkan bahwa surga itu berada di atas langit, karena Sidratil Muntaha berada di atas langit. Dan juga firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS. 51:22)

Imam Mujahid berkata, "Yang dimaksudkan adalah surga." Dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu juga berkata, " Surga itu berada di atas langit yang ke tujuh."

Kunci Surga

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Kunci Surga adalah persaksian tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah." (HR Ahmad 5/242). Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih, "Bukankah kunci surga itu adalah kalimat la ilaha illallah? Maka dia menjawab, " Ya, akan tetapi tiadalah suatu kunci itu kecuali dia mempunyai gigi-gigi. Jika engkau datang dengan kunci yang bergigi, maka surga akan terbuka, jika tidak, maka tidak akan terbuka. Beliau memaksudkan dengan gigi di sini adalah rukun-rukun Islam.

Jalan Menuju Surga

Jalan menuju surga telah disepakati oleh para rasul dari awal hingga akhir hanyakah satu. Sedangkan jalan ke neraka amatlah banyak tidak terhitung. Oleh karena itu Allah subhanahu wata’ala menyebutkan bahwa jalan yang lurus itu hanyalah satu dan menyebutkan jalan kesesatan adalah banyak. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa." (QS. Al an'am 153)

Dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuatkan kami sebuah garis lurus lalu bersabda, "Ini adalah jalan Allah". Kemudian beliau membuat banyak garis di sebelah kanan dan kirinya lalu bersabda, "Ini adalah jalan-jalan, dan pada setiap jalan itu terdapat syetan yang menyeru ke sana." Lalu beliau membacakan ayat tersebut di atas.

Tingkatan Surga

Surga memiliki tingkatan-tingkatan, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
”(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. 3:163)
Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rejeki (nikmat) yang mulia.” (QS. 8:4)

Tingkatan surga tertinggi adalah surga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu "Al Wasilah" sebagaimana dalam hadits riwayat imam Muslim dari Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Apabila kalian mendengar muadzin (sedang adzan) maka ucapkanlah seperti yang dia ucapkan kemudian bershalawatlah kepadaku, karena barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintalah untukku Al-Wasilah, Karena ia merupakan kedudukan di surga yang tidak layak kecuali hanya untuk seorang hamba saja dari hamba-hamba Allah, dan aku berharap orang itu adalah aku. Barangsiapa yang meminta untukku al-Wasilah maka dia berhak mendapatkan syafa'atku.” (HR. Muslim).

Nama-nama Surga

Surga biasanya disebut dengan Jannah, dan inilah nama yang umun digunakan untuk menyebut tempat ini dan segala yang terdapat di dalamnya berupa kenikmatan, kelezatan, kemewahan, dan kebahagiaan. Nama-nama lain dari Surga di antaranya yaitu:

1. Darus Salam

Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Rabbnya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal sholeh yang selalu mereka kerjakan.” (QS. 6:127)

Surga adalah Darussalam (negri keselamatan) dari segala musibah, kecelakaan, dan segala hal yang tidak disukai, dan dia merupakan negri Allah subhanahu wata’ala, diambil dari nama Allah “as-Salam”. Allah subhanahu wata’ala pun mengucapkan salam atas mereka,
“Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta. (Kepada mereka dikatakan), "Salam", sebagai ucapan selamat dari Rabb Yang Maha Penyayang.” (QS. 36:57-58)

2. Jannatu 'adn

Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
(Yaitu) surga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang sholeh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya, dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan), "Salamun 'alaikum bima shabartum". Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. 13:23-24)

3. Jannatul Khuld

Karena penduduknya kekal di dalamnya dan tidak akan berpindah ke alam (tempat) lain. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
”Katakanlah, "Apakah (azab) yang demikian itu yang baik, atau surga yang kekal yang dijanjikan kepada orang- orang yang bertaqwa?" Surga itu menjadi balasan dan tempat kembali bagi mereka.” (QS. Al-Furqan:15)

4. Darul Muqamah

Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Dan mereka berkata:"Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami.Sesungguhnya Rabb kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu". (QS. 35:34-35)

5. Jannatul Ma'wa, al-Ma’wa artinya adalah tempat menetap sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat an-Najm di atas. Disebut demikian karena surga merupakan tempat menetapnya orang-orang mukmin

6. Jannatun Na'im

7. Al Muqamul Amin

*Sumber: Buku “Biladul Afrah”, Sulaiman bin Shalih al-Khurasyi, Gambaran surga secara ringkas dari kitab “Hadil Arwah” Imam Ibnul Qayyim.

Buletin An-Nur, Selasa, 22 Nopember 05, Iman
READ MORE - Sekilas Tentang Surga

Selasa, 06 Juli 2010

Seni Menata Hati dalam Bergaul - K.H. Abdullah Gymnastiar

Pergaulan yang asli adalah pergaulan dari hati ke hati yang penuh keikhlasan, yang insya Allah akan terasa sangat indah dan menyenangkan. Pergaulan yang penuh rekayasa dan tipu daya demi kepentingan yang bernilai rendah tidak akan pernah langgeng dan cenderung menjadi masalah.

1. Aku Bukan Ancaman Bagimu

Kita tidak boleh menjadi seorang yang merugikan orang lain, terlebih kalau kita simak Rasulullah Saw. bersabda, "Muslim yang terbaik adalah muslim yang muslim lainnya selamat/merasa aman dari gangguan lisan dan tagannya." (HR. Bukhari)

Hindari penghinaan
Apapun yang bersifat merendahkan, ejekan, penghinaan dalam bentuk apapun terhadap seseorang, baik tentang kepribadian, bentuk tubuh, dan sebagainya, jangan pernah dilakukan, karena tak ada masalah yang selesai dengan penghinaan, mencela, merendahkan, yang ada adalah perasaan sakit hati serta rasa dendam.

Hindari ikut campur urusan pribadi
Hindari pula ikut campur urusan pribadi seseorang yang tidak ada manfaatnya jika kita terlibat. Seperti yang kita maklumi setiap orang punya urusan pribadi yang sangat sensitif, yang bila terusik niscaya akan menimbulkan keberangan.

Hindari memotong pembicaraan
Sungguh dongkol bila kita sedang berbicara kemudian tiba-tiba dipotong dan disangkal, berbeda halnya bila uraian tuntas dan kemudian dikoreksi dengan cara yag arif, niscaya kita pun berkecenderungan menghargainya bahkan mungkin menerimanya. Maka latihlah diri kita untuk bersabar dalam mendengar dan mengoreksi dengan cara yang terbak pada waktu yang tepat.

Hindari membandingkan
Jangan pernah dengan sengaja membandingkan jasa, kebaikan, penamplan, harta, kedudukan seseorang sehingga yang mendengarnya merasa dirinya tidak berharga, rendah atau merasa terhina.

Jangan membela musuhnya, mencaci kawannya
Membela musuh maka dianggap bergabung dengan musuhnya, begitu pula mencaci kawannya berarti memusuhi dirinya. Bersikaplah yang netral, sepanjang diri kita menginginkan kebaikan bagi semua pihak, dan sadar bahwa untuk berubah harus siap menjalani proses dan tahapan.

Hindari merusak kebahagiannya
Bila seseorang sedang berbahagia, janganlah melakukan tindakan yang akan merusak kebahagiaanya. Misalkan ada seseorang yang merasa beruntung mendapatkan hadiah dari luar negeri, padahal kita tauh persis bahwa barang tersebut buatan dalam negeri, maka kita tak perlu menyampaikannya, biarlah dia berbahagia mendapatkan oleh-oleh tersebut.

Jangan mengungkit masa lalu
Apalagi jika yang diungkit adalah kesalahan, aib atau kekurangan yang sedang berusaha ditutupi. Ingatlah bahwa setiap orang memiliki kesalahan yang sangat ingin disembunyikannya, termasuk diri kita, maka jangan pernah usil untuk mengungkit dan membeberkannya, hal seperti ini sama denga mengajak bermusuhan.

Jangan mengambil haknya
Jangan pernah terpikir untuk menikmati hak orang lain, setiap gangguan terhadap hak seseorang akan menimbulkan asa tidak suka dan perlawanan yang tentu akan merusak hubungan.. Sepatutnya kita harus belajar menikmati hak kita, agar bermanfaat dan menjadi bahan kebahagiaan orang lain.

Hati-hati engan kemarahan
Bila anda marah, maka waspadalah karenan kemarahan yang tak terkendali biasanya menghasilkankata dan perilaku yang keji, yang sangat melukai, dan tentu perbuatan ini akan menghancurkan hubungan baik di lingkungan manapun. Kita harus mulai berlatih mengendalikan kemarahan sekuat tenaga dan tak usah sungkan untuk meminta maaf andai kata ucaan dirasakan berlebihan.

Jangan menertawakannya
Sebagian besar dari sikap menertawakan seseorang adalah karena kekurangannnya, baik sikap, penampilan, bentuk rupa, ucapan dan lain sebagainya, dan ingatlah bahwa tertawa yang tidak pada tempatnya serta berlebihan akan mengundang rasa sakit hati.

Hati-hati dengan penampilan, bau badan dan bau mulut
Tidak ada salahnya kita selalu mengontrol penampilan, bau badan atau mulut kita, karena penampilan atau bau badan yang tidak segar akan membuat orang lain merasa terusik kenyamanannya, dan cenderung ingin menghindari kita.

2. Aku menyenangkan bagimu

Wajah yang selalu cerah ceria
Rasulullah senantiasa berwajah ceria, beliau pernah besabda, "Janganlah terlalu membebani jiwamu dengan segala kesungguhan hati. Hiburlah dirimu dengan hal-hal yang ringan dan lucu, sebab bila hati terus dipaksakan memikul beban-beban yang berat, ia akan menjadi buta". (Sunan Abu Dawud).

Senyum tulus
Rasulullah senantiasa tersenyum manis sekali dan ini sangat menyenangkan bagi siapapun yang menatapnya. Senyum adalah sedekah, senyuman yang tulus memiliki daya sentuh yang dalam ke dalam lubuk hati siapapun, senyum adalah nikmat Allah yang besar bagi manusia yang mencintai kebaikan. Senyum tidak dimiliki oleh orang-orang yang keji, sombong, angkuh, dan orang yang busuk hati.

Kata-kata yang santun dan lembut
Pilihlah kata-kata yang paling sopan dengan dan sampaikan dengan cara yang lembut, karena sikap seperti itulah yang dilakukan Rasulullah, ketika berbincang dengan para sahabatnya, sehingga terbangun suasana yang menyenangkan. Hindari kata yang kasar, menyakitkan, merendahkan, mempermalukan, serta hindari pula nada suara yang keras dan berlebihan.

Senang menyapa dan mengucapkan salam
Upayakanlah kita selalu menjadi orang yang paling dahulu dalam menyapa dan mengucapkan salam. Jabatlah tagan kawan kita penuh dengan kehangatan dan lepaslah tangan sesudah diepaskan oleh orang lain, karena demikianlah yang dicontohkan Rasulullah. Jangan lupa untuk menjawab salam dengan sempurna dan penuh perhatian.

Bersikap sangat sopan dan penuh penghormatan
Rsulullah jikalau berbincang dengan para sahabatnya selalu berusaha menghormati dengan cara duduk yang penuh perhatian, ikut tersenyum jika sahabatnya melucu, dan ikut merasa takjub ketika sahabatnya mengisahkan hal yang mempesona, sehingga setiap orang merasa dirinya sangat diutamakan oleh Rasulullah.

Senangkan perasaannya
Pujilah dengan tulus dan tepat terhadap sesuatu yang layak dipuji sambil kita kaitkan dengan kebesaran Allah sehingga yang dipuji pun teringat akan asal muasal nikmat yang diraihnya, nyatakan terima kasih dan do’akan. Hal ini akan membuatnya merasa bahagia. Dan ingat jangan pernah kikir untuk berterima kasih.

Penampilan yang menyenangkan
Gunakanlah pakaian yang rapi, serasi dan harum. Menggunakan pakaian yang baik bukanlah tanda kesombongan, Allah Maha Indah dan menyukai keindahan, tentu saja dalam batas yang sesuai syariat yang disukai Allah.

Maafkan kesalahannya
Jadilah pemaaf yang lapang dan tulus terhadap kekurangan dan kesalahan orang lain kepada kita, karena hal ini akan membuat bahagia dan senang siapapun yang pernah melakukan kekhilafan terhadap kita, dan tentu hal ini pun akan mengangkat citra kita dihatinya.

3. Aku Bermanfaat Bagimu

Keberuntungan kita bukanlah diukur dari apa yang kita dapatkan tapi dari nilai manfaat yang ada dari kehadiran kita, bukankah sebaik-baik di antara manusia adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi hamba-hamba Allah lainnya.

Rajin bersilaturahmi
Silaturahmi secara berkala, penuh perhatian, kasih sayang dan ketulusan walaupun hanya beberapa saat, benar-benar akan memiliki kesan yang mendalam, apalagi jikalau membawa hadiah, insya Allah akan menumbuhkan kasih sayang.

Saling berkirim hadiah
Seperti yang telah diungkap sebelumnya bahwa saling memberi dan berkirim hadiah akan menumbuhkan kasih sayang. Jangan pernah takut miskin dengan memberikan sesuatu, karena Allah yang Maha Kaya telah menjanjikan ganjaran dan jaminan tak akan miskin bagi ahli sedekah yang tulus.

Tolong dengan apapun
Bersegeralah menolong dengan segala kemampuan, harta, tenaga, wakt atau setidaknya perhatian yang tulus, walau perhatian untuk mendengar keluh kesahnya. Apabila tidak mampu, maka do’akanlah, dan percayalah bahwa kebaikan sekecil apapun akan diperhatikan dan dibalas dengan sempurna oleh Allah.

Sumbangan ilmu dan pengalaman
Jangan pernah sungkan untuk mengajarkan ilmu dan pengalaman yang dimiliki, kita harus berupaya agar ilmu dan pengalaman yang ada pada diri kita bisa menjadi jalan bagi kesuksesan orang lain.

Insya Allah jikalau hidup kita penuh manfaat dengan tulus ikhlas maka, kebahagiaan dalam bergaul dengan siapapun akan tersa nikmat, karena tidak mengharapkan sesuatu dari orang melainkan kenikmatan kita adalah melakukan sesuatu untuk orang lain. Semata karena Allah Swt.

READ MORE - Seni Menata Hati dalam Bergaul - K.H. Abdullah Gymnastiar

Senin, 05 Juli 2010

Suami, Pemimpin Bagi Keluarga - K.H. Abdullah Gymnastiar

Awal mula kehidupan seseorang berumah tangga dimulai dengan ijab-kabul. Saat itulah yang halal bisa jadi haram, atau sebaliknya yang haram bisa jadi halal. Demikianlah ALLOH telah menetapkan bahwa ijab-kabul walau hanya beberapa patah kata dan hanya beberapa saat saja, tapi ternyata bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Saat itu terdapat mempelai pria, mempelai wanita, wali, dan saksi, lalu ijab-kabul dilakukan, sahlah keduanya sebagai suami-istri. Status keduanya pun berubah, asalnya kenalan biasa tiba-tiba jadi suami, asalnya tetangga rumah tiba-tiba jadi istri. Orang tua pun yang tadinya sepasang, saat itu tambah lagi sepasang. Karenanya, andaikata seseorang berumah tangga dan dia tidak siap serta tidak mengerti bagaimana memposisikan diri, maka rumah tangganya hanya akan menjadi awal berdatangannya aneka masalah.

Ketika seorang suami tidak sadar bahwa dirinya sudah beristri, lalu bersikap seperti seorang yang belum beristri, akan jadi masalah. Dia juga punya mertua, itupun harus menjadi bagian yang harus disadari oleh seorang suami. Setahun, dua tahun kalau ALLOH mengijinkan akan punya anak, yang berarti bertambah lagi status sebagai bapak. Ke mertua jadi anak, ke istri jadi suami, ke anak jadi bapak. Bayangkan begitu banyak status yang disandang yang kalau tidak tahu ilmunya justru status ini akan membawa mudharat. Karenanya menikah itu tidak semudah yang diduga, pernikahan yang tanpa ilmu berarti segera bersiaplah untuk mengarungi aneka derita. Kenapa ada orang yang stress dalam rumah tangganya? Hal ini terjadi karena ilmunya tidak memadai dengan masalah yang dihadapinya.

Begitu juga bagi wanita yang menikah, ia akan jadi seorang istri. Tentusaja tidak bisa sembarangan kalau sudah menjadi istri, karena memang sudah ada ikatan tersendiri. Status juga bertambah, jadi anak dari mertua, ketika punya anak jadi ibu. Demikianlah, ALLOH telah menyetingnya sedemikian rupa, sehingga suami dan istri, keduanya mempunyai peran yang berbeda-beda.

Tidak bisa menuntut emansipasi, karena memang tidak perlu ada emansipasi, yang diperlukan adalah saling melengkapi. Seperti halnya sebuah bangunan yang menjulang tinggi, ternyata dapat berdiri kokoh karena adanya prinsip saling melengkapi. Ada semen, bata, pasir, beton, kayu, dan bahan-bahan bangunan lainnya lalu bergabung dengan tepat sesuai posisi dan proporsinya sehingga kokohlah bangunan itu.

Sebuah rumah tangga juga demikian, jika suami tidak tahu posisi, tidak tahu hak dan kewajiban, begitu juga istri tidak tahu posisi, anak tidak tahu posisi, mertua tidak tahu posisi, maka akan seperti bangunan yang tidak diatur komposisi bahan-bahan pembangunnya, ia akan segera ambruk tidak karu-karuan. Begitu juga jika mertua tidak pandai-pandai jaga diri, misal dengan mengintervensi langsung pada manajemen rumah tangga anak, maka sang mertua sebenarnya tengah mengaduk-aduk rumah tangga anaknya sendiri.

Seorang suami juga harus sadar bahwa ia pemimpin dalam rumah tangga. ALLOH SWT berfirman, "Laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, karena ALLOH telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lainnya dan karena mereka telah membelanjakan sebagian harta mereka…" (Q.S. An-Nissa [4]: 34).

Dan seorang pemimpin hanya akan jadi pemimpin jika ada yang dipimpin. Artinya, jangan merasa lebih dari yang dipimpin. Seperti halnya presiden tidak usah sombong kepada rakyatnya, karena kalau tidak ada rakyat lalu mengaku jadi presiden, bisa dianggap orang gila. Makanya, presiden jangan merendahkan rakyat, karena dengan adanya rakyat dia jadi presiden.

Sama halnya dengan kasus orang yang menghina tukang jahit, padahal bajunya sendiri dijahit, "Hmm, tukang jahit itu pegawai rendahan". Coba kalau bajunya tidak dijahitkan oleh tukang jahit, tentu dia akan kerepotan menutup auratnya. Dia dihormati karena bajunya diselesaikan tukang jahit. Lain lagi dengan yang menghina tukang sepatu, "Ah, dia mah cuma tukang sepatu". Sambil dia kemana-mana bergaya memakai sepatu.

Tidak layak seorang pemimpin merasa lebih dari yang dipimpin, karena status pemimpin itu ada jikalau ada yang dipimpin. Misalkan, istrinya bergelar master lulusan luar negeri sedangkan suaminya lulusan SMU, dalam hal kepemimpinan rumah tangga tetap tidak bisa jadi berbalik dengan istri menjadi pemimpin keluarga. Dalam kasus lain, misalkan, di kantornya istri jadi atasan, suami kebetulan stafnya, saat di rumah beda urusannya. Seorang suami tetaplah pemimpin bagi istri dan anak-anaknya.

Oleh karena itu, bagi para suami jangan sampai kehilangan kewajiban sebagai suami. Suami adalah tulang punggung keluarga, seumpama pilot bagi pesawat terbang, nakhoda bagi kapal laut, masinis bagi kereta api, sopir bagi angkutan kota, atau sais bagi sebuah delman. Demikianlah suami adalah seorang pemimpin bagi keluarganya. Sebagai seorang pemimpin harus berpikir bagaimana nih mengatur bahtera rumah tangga ini mampu berkelok-kelok dalam mengarungi badai gelombang agar bisa mendarat bersama semua awak kapal lain untuk menepi di pantai harapan, suatu tempat di akhirat nanti, yaitu surga.

Karenanya seorang suami harus tahu ilmu bagaimana mengarungi badai, ombak, relung, dan pusaran air, supaya selamat tiba di pantai harapan. Tidak ada salahnya ketika akan menikah kita merenung sejenak, "Saya ini sudah punya kemampuan atau belum untuk menyelamatkan anak dan istri dalam mengarungi bahtera kehidupan sehingga bisa kembali ke pantai pulang nanti?!". Karena menikah bukan hanya masalah mampu cari uang, walau ini juga penting, tapi bukan salah satu yang terpenting. Suami bekerja keras membanting tulang memeras keringat, tapi ternyata tidak shalat, sungguh sangat merugi. Ingatlah karena kalau sekedar cari uang, harap tahu saja bahwa garong juga tujuannya cuma cari uang, lalu apa bedanya dengan garong?! Hanya beda cara saja, tapi kalau cita-citanya sama, apa bedanya?

Buat kita cari nafkah itu termasuk dalam proses mengendalikan bahtera. Tiada lain supaya makanan yang jadi keringat statusnya halal, supaya baju yang dipakai statusnya halal, atau agar kalau beli buku juga dari rijki yang statusnya halal. Hati-hatilah, walaupun di kantong terlihat banyak uang, tetap harus pintar-pintar mengendalikan penggunaannya, jangan sampai asal main comot. Seperti halnya ketika mancing ikan di tengah lautan, walaupun nampak banyak ikan, tetap harus hati-hati, siapa tahu yang nyangkut dipancing ikan hiu yang justru bisa mengunyah kita, atau nampak manis gemulai tapi ternyata ikan duyung.

Ketika ijab kabul, seorang suami harusnya bertekad, "Saya harus mampu memimpin rumah tangga ini mengarungi episode hidup yang sebentar di dunia agar seluruh anggota awak kapal dan penumpang bisa selamat sampai tujuan akhir, yaitu surga". Bahkan jikalau dalam kapal ikut penumpang lain, misalkan ada pembantu, ponakan, atau yang lainnya, maka sebagai pemimpin tugasnya sama juga, yaitu harus membawa mereka ke tujuan akhir yang sama, yaitu surga.

ALLOH Azza wa Jalla mengingatkan kita dalam sabdanya, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…" (Q.S. At Tahriim [66]:6).

Kepada pembantu jangan hanya mampu nyuruh kerja saja, karena kalau saja dulu lahirnya ALLOH tukarkan, majikan lahir dari orang tua pembantu, dan pembantu lahir dari orang tua majikan, maka si majikan yang justru sekarang lagi ngepel. Pembantu adalah titipan ALLOH, kita harus mendidiknya dengan baik, kita sejahterakan lahir batinnya, kita tambah ilmunya, mudah-mudahan orang tuanya bantu-bantu di kita, anaknya bisa lebih tinggi pendidikannya, dan yang terpenting lagi lebih tinggi akhlaknya.

Inilah pemimpin ideal, yaitu pemimpin yang bersungguh-sungguh mau memajukan setiap orang yang dipimpinnya. Siapapun orangnya didorong agar menjadi lebih maju. ***

READ MORE - Suami, Pemimpin Bagi Keluarga - K.H. Abdullah Gymnastiar

Minggu, 04 Juli 2010

UPAYA MENGHIDUPKAN QOLBU - K.H. Abdullah Gymnastiar

Kalau ada satu keberuntungan bagi manusia dibanding dengan hewan, maka itu adalah bahwa manusia memiliki kesempatan untuk ma’rifat (kesanggupan mengenal Allah). Kesanggupan ini dikaruniakan Allah karena manusia memiliki akal dan yang terutama sekali hati nurani. Inilah karunia Allah yang sangat besar bagi manusia.

Orang-orang yang hatinya benar-benar berfungsi akan berhasil mengenali dirinya dan pada akhirnya akan berhasil pula mengenali Tuhannya. Tidak ada kekayaan termahal dalam hidup ini, kecuali keberhasilan mengenali diri dan Tuhannya.

Karenanya, siapapun yang tidak bersungguh-sungguh menghidupkan hati nuraninya, dia akan jahil, akan bodoh, baik dalam mengenal dirinya sendiri, lebih-lebih lagi dalam mengenal Allah Azza wa Jalla, Zat yang telah menyempurnakan kejadiannya dan pula mengurus tubuhnya lebih daripada apa yang bisa ia lakukan terhadap dirinya sendiri.

Orang-orang yang sepanjang hidupnya tidak pernah mampu mengenal dirinya dengan baik, tidak akan tahu harus bagaimana menyikapi hidup ini, tidak akan tahu indahnya hidup. Demikian pun, karena tidak mengenal Tuhannya, maka hampir dapat dipastikan kalau yang dikenalnya hanyalah dunia ini saja, dan itu pun sebagian kecil belaka.

Akibatnya, semua kalkulasi perbuatannya, tidak bisa tidak, hanya diukur oleh aksesoris keduniaan belaka. Dia menghargai orang semata-mata karena orang tersebut tinggi pangkat, jabatan, dan kedudukannya, ataupun banyak hartanya. Demikian pula dirinya sendiri merasa berharga di mata orang, itu karena ia merasa memiliki kelebihan duniawi dibandingkan dengan orang lain. Adapun dalam perkara harta, gelar, pangkat, dan kedudukan itu sendiri, ia tidak akan mempedulikan dari mana datangnya dan kemana perginya karena yang penting baginya adalah ada dan tiadanya.

Sebagian besar orang ternyata tidak mempunyai cukup waktu dan kesungguhan untuk bisa mengenali hati nuraninya sendiri. Akibatnya, menjadi tidak sadar, apa yang harus dilakukan di dalam kehidupan dunia yang serba singkat ini. Sayang sekali, hati nurani itu - berbeda dengan dunia - tidak bisa dilihat dan diraba. Kendatipun demikian, kita hendaknya sadar bahwa hatilah pusat segala kesejukan dan keindahan dalam hidup ini.

Seorang ibu yang tengah mengandung ternyata mampu menjalani hari-harinya dengan sabar, padahal jelas secara duniawi tidak menguntungkan apapun. Yang ada malah berat melangkah, sakit, lelah, mual. Walaupun demikian, semua itu toh tidak membuat sang ibu berbuat aniaya terhadap jabang bayi yang dikandungnya.

Datang saatnya melahirkan, apa yang bisa dirasakan seorang ibu, selain rasa sakit yang tak terperikan. Tubuh terluka, darah bersimbah, bahkan tak jarang berjuang diujung maut. Ketika jabang bayi berhasil terlahir ke dunia, subhanallaah, sang ibu malah tersenyum bahagia.

Sang bayi yang masih merah itu pun dimomong siang malam dengan sepenuh kasih sayang. Padahal tangisnya di tengah malam buta membuat sang ibu terkurangkan jatah istirahatnya. Siang malam dengan sabar ia mengganti popok yang sebentar-sebentar basah dan sebentar-sebentar belepotan kotoran bayi. Cucian pun tambah menggunung karena tak jarang pakaian sang ibu harus sering diganti karena terkena pipis si jantung hati. Akan tetapi, Masya Allah, semua beban derita itu toh tidak membuat ia berlaku kasar atau mencampakkan sang bayi.

Ketika tiba saatnya si buah hati belajar berjalan, ibu pun dengan seksama membimbing dan menjaganya. Hatinya selalu cemas jangan-jangan si mungil yang tampak kian hari semakin lucu itu terjatuh atau menginjak duri. Saatnya si anak harus masuk sekolah, tak kurang-kurangnya menjadi beban orang tua. Demikian pula ketika memasuki dunia remaja, mulai tampak kenakalannya, mulai sering membuat kesal orang tua. Sungguh menjadi beban batin yang tidak ringan.

Pendek kata, sewaktu kecil menjadi beban, sudah besar pun tak kurang menyusahkan. Begitu panjang rentang waktu yang harus dijalani orang tua dalam menanggung segala beban, namun begitu sedikit balas jasa anak. Bahkan tak jarang sang anak malah membuat durhaka, menelantarkan, dan mencampakkan kedua orang tuanya begitu saja manakala tiba saatnya mereka tua renta.

Mengapa orang tua bisa sedemikian tahan untuk terus menerus berkorban bagi anak-anaknya? Karena, keduanya mempunyai hati nurani, yang dari dalamnya terpancar kasih sayang yang tulus suci. Walaupun tidak ada imbalan langsung dari anak-anaknya, namun nurani yang memiliki kasih sayang inilah yang memuatnya tahan terhadap segala kesulitan dan penderitaan. Bahkan sesuatu yang menyengsarakan pun terasa tidak menjadi beban.

Oleh karena itu, beruntunglah orang yang ditakdirkan memiliki kekayaan berupa harta yang banyak, akan tetapi yang harus selalu kita jaga dan rawat sesungguhnya adalah kekayaan batin kita berupa hati nurani ini. Hati nurani yang penuh cahaya kebenaran akan membuat pemiliknya merasakan indah dan lezatnya hidup ini karena selalu akan merasakan kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla. Sebaliknya, waspadalah bila cahaya hati nurani menjadi redup. Karena, tidak bisa tidak, akan membuat pemiliknya selalu merasakan kesengsaraan lahir batin lantaran senantiasa merasa terjauhkan dari rahmat dan pertolongan-Nya.

Allah Mahatahu akan segala lintasan hati. Dia menciptakan manusia beserta segala isinya ini dari unsur tanah; dan itu berarti senyawa dengan tubuh kita karena sama-sama terbuat dari tanah. Karenanya, untuk memenuhi kebutuhan kita tidaklah cukup dengan berdzikir, tetapi harus dipenuhi dengan aneka perangkat dan makanan, yang ternyata sumbernya dari tanah pula.

Bila perut terasa lapar, maka kita santap aneka makanan, yang sumbernya ternyata dari tanah. Bila tubuh kedinginan, kita pun mengenakan pakaian, yang bila ditelusuri, ternyata unsur-unsurnya terbuat dari tanah. Demikian pun bila suatu ketika tubuh kita menderita sakit, maka dicarilah obat-obatan, yang juga diolah dari komponen-komponen yang berasal dari tanah pula. Pendek kata, untuk segala keperluan tubuh, kita mencarikan jawabannya dari tanah.

Akan tetapi, qolbu ini ternyata tidak senyawa dengan unsur-unsur tanah, sehingga hanya akan terpuaskan laparnya, dahaganya, sakitnya, serta kebersihannya semata-mata dengan mengingat Allah. "Alaa bizikrillaahi tathmainul quluub." (QS. Ar Rad [13] : 28). Camkan, hatimu hanya akan menjadi tentram jikalau engkau selalu ingat kepada Allah!

Kita akan banyak mempunyai banyak kebutuhan untuk fisik ita, tetapi kita pun memiliki kebutuhan untuk qolbu kita. Karenanya, marilah kita mengarungi dunia ini sambil memenuhi kebutuhan fisik dengan unsur duniawi, tetapi qolbu atau hati nurani kita tetap tertambat kepada Zat Pemilik dunia. Dengan kata lain, tubuh sibuk dengan urusan dunia, tetapi hati harus sibuk dengan Allah yang memiliki dunia. Inilah sebenarnya yang paling harus kita lakukan.

Sekali kta salah dalam mengelola hati – tubuh dan hati sama-sama sibuk dengan urusan dunia – kita pun akan stress jadinya. Hari-hari pun akan senantiasa diliputi kecemasan. Kita akan takut ada yang menghalangi, takut tidak kebagian, takut terjegal, dan seterusnya. Ini semua diakibatkan oleh sibuknya seluruh jasmani dan rohani kita dngan urusan dunia semata.

Inilah sebenarnya yang sangat potensial membuat redupnya hati nurani. Kita sangat perlu meningkatkan kewaspadaan agar jangan sampai mengalami musibah semacam ini.

Bagaimana caranya agar kita mampu senantiasa membuat hati nurani ini tetap bercahaya? Secara umum solusinya adalah sebagaimana yang diungkapkan di atas : kita harus senantiasa berjuang sekuat-kuatnya agar hati ini jangan sampai terlalaikan dari mengingat Allah. Mulailah dengan mengenali apa yang ada pada diri kita, lalu kenali apa arti hidup ini. Dan semua ini bergantung kecermatan kepada ilmu. Kemudian gigihlah untuk melatih diri mengamalkan sekecil apapun ilmu yang dimiliki dengan ikhlas. Jangan lupa untuk selalu memilih lingkungan orang yang baik, orang-orang yang shalih. Mudah-mudahan ikhtiar ini menjadi jalan bagi kita untuk dapat lebih mengenal Allah, Zat yang telah menciptakan dan mengurus kita. Dialah satu-satunya Zat Maha Pembolak-balik hati, yang sama sekali tidak sesulit bagi-Nya untuk membalikan hati yang redup dan kusam menjadi terang benderang dengan cahaya-Nya. Wallahu’alam.

(Sumber : Tabloid MQ EDISI 06/TH.1/OKTOBER 2000)

READ MORE - UPAYA MENGHIDUPKAN QOLBU - K.H. Abdullah Gymnastiar

Sabtu, 03 Juli 2010

WASPADAI TIPUAN SETAN - K.H. Abdullah Gymnastiar

Sahabat, sesungguhnya dengan berakhirnya bulan Ramadhan yang mulia ini, kita harus merasa sangat sedih karena siapa tahu kita tidak akan berjumpa lagi dengan Ramadhan yang akan datang. Padahal peluang kita untuk bisa mulia dengan menggunakan sarana bulan ini luar biasa besarnya. Satu hal lagi yang perlu diwaspadai yaitu setan terkutuk, dilepas kembali. Ketika adzan Maghrib berkumandang menjelang malam takbiran, itulah saatnya belenggu setan dibuka. Setan kembali lagi bebas dan pasti tidak ada lagi pekerjaannya selain untuk menyesatkan anak cucu Adam. 

Betapa tidak! Setan tidak terlihat wujudnya tetapi hasilnya jelas nyata. Akibatnya siapa saja yang tergoda dan dirasuki bisikannya, pasti akan sengsara di dunia maupun di akhirat. Setan pun tidak punya pekerjaan lain selain menipu dan menjerumuskan manusia. Sedangkan kita begitu tersibuki oleh berbagai kegiatan duniawi. Sementara itu sang setan ternyata banyak sekali temannya sehingga dengan mudah dapat mengganggu kita sedangkan kita seorang diri melawannya. Karenanya jangan heran kalau banyak manusia di dunia ini menjadi korban tipu muslihat setan. Bisa jadi termasuk kita sendiri. Naudzubillaah!

Oleh karena itu, berikut ini kita akan ungkapkan beberapa tipuan setan yang mungkin akan segera menyergap kita. Satu hal yang harus kita ketahui bahwa kendaraan setan yang telah tersedia pada setiap diri anak Adam adalah nafsu.

Jadi, setan tidak akan mengakali kita kecuali lewat hawa nafsu. Sedangkan nafsu mempunyai tiga macam tabiat, yakni :

Pertama, hawa nafsu itu senang akan penghargaan, pujian, kemuliaan, kehormatan, dan harga diri. Setan senantiasa akan memperdaya diri kita melalui harga diri dan kehormatan. Demi mempertahankan kehormatan dan harga diri biasanya kita akan dibisiki setan untuk selalu berpenampilan hebat dengan pakainan mahal-mahal, kendaraan mewah dan sebagainya. Pendek kata, dari hari ke hari kita akan disibukkan oleh tipuan setan tersebut sehingga tidak akan segan-segan untuk mengeluarkan uang berapapun hanya karena ingin dihargai manusia tanpa peduli bagaimanan pertimbangan hisabnya di akhirat kelak.

Bukan tidak boleh kita menjaga penampilan, karena tampil dan serasi itu bagus. Bahkan Syeikh Abdul Qadir, seorang tokoh tasawuf dan ulama salaf, kalau bepergian selalu menjaga kebersihan dan penampilan. Akan tetapi, ia benar-benar memperhitungkan timbangan hisabnya.

Berbeda halnya dengan orang yang sudah terkelabui setan. Ia tak akan pernah peduli dengan pertimbangan hisab di akhirat. Shidqah sedikit, atau bahkan tidak pernah, tetapi kalau belanja ke supermarket habis-habisan. Pergi ke tempat ibadah jarang-jarang, tetapi bertamasya ke tempat-tempat yang jauh dan menghabiskan biaya besar seolah telah menjadi kegiatan rutin.

Demi menjaga harga diri dan gengsi biasanya kita sering over acting. Jika marah tampak lebih emosional agar mereka tahu bahwa kita adalah orang yang berkuasa dan mempunyai kedudukan. Bahkan tidak jarang dengan mudahnya meremehkan dan merendahkan orang lain hanya untuk menunjukkan bahwa kita bukan remeh dan tidak rendah. Semua itu adalah tipuan setan belaka!

Oleh karena itu, supaya kita tidak terjerumus menjadi orang yang sombong dan takabur, kuncinya adalah tawadhu karena sesungguhnyalah kemuliaan itu datang dari kerendahan hati. Bukankah kita sendiri merasa muak melihat orang yang sombong, penuh keangkuhan, dan gemar menyebut-nyebut kehebatan dirinya?

Kedua, setan selalu membisiki kita agar mengumbar nikmat. Semua indera kita ini memang sangat senang akan aneka nikmat, seperti nikmat syahwat, makanan, keindahan, perkataan, dan lain-lain.

Nikmat makanan membuat kita semakin banyak berkeinginan untuk memakan makanan yang enak-enak, tidak peduli halal atau haram. Oleh karenanya, disunnahkan melaksanakan shaum selama enam hari mulai hari kedua setelah Idul Fitri, yang pahalanya sama dengan shaum setahun.

Nikmat pendengaran membuat kita cenderung untuk senang mendengarkan musik. Karenanya, kita harus mengimbanginya dengan sering-sering mendengarkan pengajian dan ceramah.

Bagi yang suka berpacaran, biasanya cenderung hanya unyuk mencari kenikmatan dan kepuasan syahwat belaka. Mata ini memang suka kepada sesuatu yang cantik dan indah, sehingga banyak membuat kita berkeinginan untuk melihat wanita baik langsung maupun yang terpampang di majalah-majalah dan iklan-iklan di televisi. Karenanya, nafsu syahwat ini harus mampu kita tahan karena mengumbar kenikmatan itu ibarat meminum air laut, semakin banyak diminum, semakin haus kita dibuatnya.

Sementara itu, nikmat mulut membuat kita cenderung ingin selalu berbicara banyak-banyak. Bila sudah berbicara, sungguh terasa nikmat, sehingga tak ingin berhenti. Oleh karena itu, kita harus mampu menahan dan mengimbanginya dengan bayak-banyak bertadarus Al Qur’an.

Sahabat, ketahuilah bahwa semua yang cenderung nikmat itu akan selalu terus menerus dikejar setan, sehingga dapat melenakan kita. Kuncinya adalah berusaha menahan diri jangan sampai setiap keinginan kita dilanjutkan. Hendaknya setiap kita akan melaksanakan sesuatu itu bertanya dulu. Apakah makanan ini halal, haram, atau syubhat? Kalau boleh dimakan, makanlah jangan sampai berlebihan. Semua ini tiada lain untuk melatih diri kita agar tidak sampai diperbudak oleh hawa nafsu yang sudah dikendalikan setan.

Ketiga, hawa nafsu paling malas kepada taat. Setan pasti akan selalu memperdaya agar malas kepada taat. Shalat malas, pergi ke masjid malas, apalagi tahajud, sangat enggan untuk bangun tidur. Baca Qur’an malas. Kalau pun kita bershidqah, pasti akan dibisiki setan agar menjadi riya.

Memang, kita akan sangat mudah diperdaya setan melalui sarana sifat malas ini. Karena hanya sifat ini yang sangat mudah dimainkan sang setan. Saat muncul rasa malas untuk beribadah, biasanya otak pun ikut berputar segera mencarikan dalih ataupun alasan yang dipandang logis dan rasional, sehingga yang nampak nantinya bahwa enggan mengerjakan sesuatu ibadah itu karena memang jelas alasannya, bukan lantaran malas. Ah, betapa setan pintar sekali mengelabui kita.

Nah, untuk memblokade bisikan setan tersebut, usahakanlah kita selalu segera berbuat hal sebaliknya dari yang diingini si malas. Bila kita mendengar adzan berkumandang, maka usahakanlah sekuat tenaga menunda atau menghentikan pekerjaan yang sedang digarap, untuk kemudian lekas-lekas pergi ke masjid. Bahkan akan lebih baik lagi jika kita selalui mengetahui jadwal waktu shalat, lalu menetapkan 15 menit sebelum tiba waktu shalat, kita sudah menghentikan segala bentuk pekerjaan untuk bersiap-siap pergi ke masjid.

Demikian juga kalau malam tiba, tetap mengusahakan sepertiga akhir malam untuk mendirikan shalat tahajud karena dengan tahajud hidup kita akan terpelihara dalam kemuliaan. Setiap pagi usahakan menyediakan uang receh untuk diinfaqkan karena dengan infaq kita akan tertolak dari bencana dan mati dalam keadaan suul khatimah. Usahakan pula kita selalu membawa Qur’an kecil untuk dibaca sewaktu-waktu di sela-sela pekerjaan kita. Bila kita istiqamah membacanya walaupun hanya beberapa ayat saja, Insya Allah akan menjadi karomah bagi kita. Semua ini merupakan ikhtiar kita dalam menghadang gempuran-gempuran setan yang memang tak kenal lelah.

Ingatlah bahwa setan hanya mampu mempengaruhi kita dengan bisikan. Tak ada setan yang menerkam kita. Hati ini menjadi rusak karena kita kalah dan tak berdaya menghadapi bisikannya yang memang tidak terasa dan tanpa kita sadari. Oleh karena itu, bila muncul rasa malas untuk beribadah, itu berarti bisikkan setan tengah merasuk menguasai hati. Segeralah lawan dengan segenap kemampuan dengan cara melakukan ibadah yang dimalaskan tersebut. Sekali lagi, bangun dan lawan!

Latihlah diri kita agar jangan sampai diperbudak oleh segala bentuk kenikmatan. Latihlah diri kita agar selalu dalam keadaan taat kepada Allah. Dan jangan lupa, berlindunglah selalu kepada-Nya dari segala godaan setan yang terkutuk, niscaya kita akan diberi kekuatan untuk terhindar dari segala tipuan setan. Insya Allah!***

(Sumber : Tabloid MQ EDISI 09/TH.1/JANUARI 2001)

READ MORE - WASPADAI TIPUAN SETAN - K.H. Abdullah Gymnastiar

Jumat, 02 Juli 2010

Zuhud - K.H. Abdullah Gymnastiar

Ada empat tipe manusia berkaitan dengan harta dan gaya hidupnya :

Pertama, orang berharta dan memperlihatkan hartanya. Orang seperti ini biasanya mewah gaya hidupnya, untung perilakunya ini masih sesuai dengan penghasilannya, sehingga secara finansial sebenarnya tidak terlalu bermasalah. Hanya saja, ia akan menjadi hina kalau bersikap sombong dan merendahkan orang lain yang dianggap tak selevel dengan dia. Apalagi kalau bersikap kikir dan tidak mau membayar zakat atau mengeluarkan sedekah. Sebaliknya, ia akan terangkat kemuliaannya dengan kekayaannya itu jikalau ia rendah hati dan dermawan.

Kedua, orang yang tidak berharta banyak, tapi ingin kelihatan berharta. Gaya hidup mewahnya sebenarnya diluar kemampuannya, hal ini karena ia ingin selalu tampil lebih daripada kenyataan. Tidaklah aneh bila keadaan finansialnya lebih besar pasak daripada tiang. Nampaknya, orang seperti ini benar-benar tahu seni menyiksa diri. Hidupnya amat menderita, dan sudah barang tentu ia menjadi hina dan bahkan menjadi bahan tertawaan orang lain yang mengetahui keadaan yang sebenarnya.

Ketiga, orang tak berharta tapi berhasil hidup bersahaja. Orang seperti ini tidak terlalu pening dalam menjalani hidup karena tak tersiksa oleh keinginan, tak ruwet oleh pujian dan penilaian orang lain, kebutuhan hidupnya pun sederhana saja. Dia akan hina kalau menjadi beban dengan menjadi peminta-minta yang tidak tahu diri. Namun tetap juga berpeluang menjadi mulia jikalau sangat menjaga kehormatan dirinya dengan tidak menunjukan berharap dikasihani, tak menunjukan kemiskinannya, tegar, dan memiliki harga diri.

Keempat, orang yang berharta tapi hidup bersahaja. Inilah orang yang mulia dan memiliki keutamaan. Dia mampu membeli apapun yang dia inginkan namun berhasil menahan dirinya untuk hidup seperlunya. Dampaknya, hidupnya tidak berbiaya tinggi, tidak menjadi bahan iri dengki orang lain, dan tertutup peluang menjadi sombong, serta takabur plus riya. Dan yang lebih menawan akan menjadi contoh kebaikan yang tidak habis-habisnya untuk menjadi bahan pembicaraan. Memang aneh tapi nyata jika orang yang berkecukupan harta tapi mampu hidup bersahaja (tentu tanpa kikir). Sungguh ia akan punya pesona kemuliaan tersendiri. Pribadinya yang lebih kaya dan lebih berharga dibanding seluruh harta yang dimilikinya, subhanallaah.

***
Perlu kita pahami bahwa zuhud terhadap dunia bukan berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat duniawi, semacam harta benda dan kekayaan lainnya, melainkan kita lebih yakin dengan apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangan makhluk. Bagi orang yang zuhud terhadap dunia, sebanyak apapun harta yang dimiliki, sama sekali tidak akan membuat hatinya merasa tenteram, karena ketenteraman yang hakiki adalah ketika kita yakin dengan janji dan jaminan Allah.

Andaikata kita merasa lebih tenteram dengan sejumlah tabungan di bank, saham di sejumlah perusahaan ternama, real estate investasi di sejumlah kompleks perumahan mewah, atau sejumlah perusahaan multi nasional yang dimiliki, maka ini berarti kita belum zuhud. Seberapa besar pun uang tabungan kita, seberapa banyak saham pun yang dimiliki, sebanyak apapun asset yang dikuasai, seharusnya kita tidak lebih merasa tenteram dengan jaminan mereka atau siapapun. Karena, semua itu tidak akan datang kepada kita, kecuali ijin Allah. Dia-lah Maha Pemilik apapun yang ada di dunia ini.

Begitulah. Orang yang zuhud terhadap dunia melihat apapun yang dimilikinya tidak mejadi jaminan. Ia lebih suka dengan jaminan Allah karena walaupun tidak tampak dan tidak tertulis, tetapi Dia Mahatahu akan segala kebutuhan kita, dan bahkan, lebih tahu dari kita sendiri.

Ada dan tiadanya dunia di sisi kita hendaknya jangan sampai menggoyahkan batin. Karenanya, mulailah melihat dunia ini dengan sangat biasa-biasa saja. Adanya tidak membuat bangga, tiadanya tidak membuat sengsara. Seperti halnya seorang tukang parkir. Ya tukang parkir. Ada hal yang menarik untuk diperhatikan sebagai perumpamaan dari tukang parkir. Mengapa mereka tidak menjadi sombong padahal begitu banyak dan beraneka ragam jenis mobil yang ada di pelataran parkirnya? Bahkan, walaupun berganti-ganti setiap saat dengan yang lebih bagus ataupun dengan yang lebih sederhana sekalipun, tidak mempengaruhi kepribadiannya!? Dia senantiasa bersikap biasa-biasa saja.

Luar biasa tukang parkir ini. Jarang ada tukang parkir yang petantang petenteng memamerkan mobil-mobil yang ada di lahan parkirnya. Lain waktu, ketika mobil-mobil itu satu persatu meninggalkan lahan parkirnya, bahkan sampai kosong ludes sama sekali, tidak menjadikan ia stress. Kenapa sampai demikian? Tiada lain, karena tukang parkir ini tidak merasa memiliki, melainkan merasa dititipi. Ini rumusnya.

Seharusnya begitulah sikap kita akan dunia ini. Punya harta melimpah, deposito jutaan rupiah, mobil keluaran terbaru paling mewah, tidak menjadi sombong sikap kita karenanya. Begitu juga sebaliknya, ketika harta diambil, jabatan dicopot, mobil dicuri, tidak menjadi stress dan putus asa. Semuanya biasa-biasa saja. Bukankah semuanya hanya titipan saja? Suka-suka yang menitipkan, mau diambil sampai habis tandas sekalipun, silahkan saja, persoalannya kita hanya dititipi.

Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda, "Melakukan zuhud dalam kehidupan dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula dengan memboroskan kekayaan. Zuhud terhadap kehidupan dunia itu ialah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti daripada apa yang ada pada Allah. Dan hendaknya engkau bergembira memperoleh pahala musibah yang sedang menimpamu walaupun musibah itu akan tetap menimpamu." (HR. Ahmad).***

READ MORE - Zuhud - K.H. Abdullah Gymnastiar

Jumat, 11 Juni 2010

Poligami dan Kendalanya


Hukum Poligami

Para ulama telah sepakat bahwa poligami diperbolehkan di dalam Islam hingga empat istri. Hal ini berlandaskan kepada Kitabullah dan as-Sunnah. Adapun dalil dari al-Qur'an adalah firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (QS. 4:3)

Sedangkan dari as-Sunnah adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Ahmad, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafi ketika dia masuk Islam dan memiliki sepuluh orang istri, "Engkau pilih empat orang dan engkau ceraikan yang lainnya." (al-Hadits)

Dari sini jelas sekali hukum poligami dalam Islam, dan dalil-dalil yang lainnya tentu masih banyak. Orang yang mengharamkan dan menentang poligami berarti telah menentang al-Qur'an dan as-Sunnah, dan dia tidak termasuk dalam lingkaran Islam. Dalam hal ini mendebat mereka hanya akan membuang-buang waktu saja. Kecuali bagi mereka yang terkena fitnah syubhat dalam pemikiran, maka diharapkan penyakit tersebut dapat disembuhkan.

Poligami sebenarnya bukan hal baru yang dibawa oleh Islam, namun ia telah ada pada umat-umat sebelum Islam. Poligami telah ada dalam agama yahudi, nashrani, ada pada bangsa Romawi, Persia, Yunani, India, Cina, Mesir dan bangsa-bangsa lain.

Hikmah di Balik Poligami

Poligami dalam Islam disunnahkan bagi laki-laki yang memiliki kemampuan. Allah subhanahu wata’ala mensyari'atkan poligami tentunya dengan membawa hikmah yang mendalam. Orang yang diberi pengetahuan oleh Allah akan mengetahuinya sedangkan yang dibutakan hatinya maka dia tidak akan tahu. Hikmah poligami amat banyak, di antara yang terpenting adalah:

1. Islam menganjurkan agar memperkuat serta memperbanyak keturunan dan generasi. Poligami merupakan salah satu sarana untuk mencapai hal tersebut.

2. Secara alamiyah wanita memiliki halangan biologis seperti haid dan nifas, dan terkadang menderita berbagai penyakit tertentu, sedangkan sang suami dalam kondisi yang prima, sementara berzina diharamkan dalam Islam. Jika dia dilarang menikah lagi dan juga dilarang berzina serta nikah mut'ah maka dia menghadapi kesulitan besar. Sehingga Allah subhanahu wata’ala membolehkan seseorang untuk berpoligami karena di dalamnya terdapat manfaat untuk menghilangkan kerusakan dan kehancuran.
Sungguh amat buruk yang dilakukan oleh musuh Islam dan para penentang poligami, yang memaksa kaum lelaki untuk menikah hanya seorang istri saja. Sehingga sama saja menyuruh para suami (yang mampu berpoligami) untuk mencari wanita-wanita haram dan pelacur. Demikian pula para wanita yang tidak sempat menikah akhirnya mencari laki-laki hidung belang, baik untuk kepuasan atau mencari penghidupan, karena tidak memiliki suami yang menafkahinya secara lahir dan batin.

3. Terkadang kaum wanita tidak lagi memiliki gairah dan keinginan untuk berhubungan suami istri karena kondisi biologis. Maka seorang suami menikah dengan wanita lain lebih baik daripada menceraikan istrinya. Demikain pula terkadang seorang istri ada yang mandul, sedang untuk menceraikan tidak mungkin, sehingga terjadi problem rumah tangga. Maka jalan keluar yang terbaik adalah dengan berpoligami.

4. Terkadang ada seorang wanita yang berusia agak lanjut (dan belum menikah), atau mengalami cacat dan kekurangan dari segi fisik, sehingga dia sangat memungkinkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang telah memiliki istri.

5. Jumlah kaum wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki, bahkan mungkin berlipat ganda. Maka kaum laki-laki jelas menghadapi kerusakan dan bahaya yang besar. Membatasi hanya menikah dengan satu wanita saja jelas menjadikan jumlah wanita tak bersuami akan membengkak. Padahal tidak menikahnya para wanita akan menimbulkan problem yang sangat besar, seperti terlantarnya kaum wanita, kemiskinan, serta kesempitan jiwa dan beban psikologis. Ini jelas akan membuka berbagai pintu kerusakan, na'udzu billah min dzalik.

Demikian di antara beberapa hikmah dan manfaat poligami. Adapun di negara-negara barat dan negara kafir yang menjalankan aturan sekuler maka kita dapati mereka sangat anti dan menentang poligami. Namun dalam waktu bersamaan mereka melegalkan perzinaan, pelacuran dan berbagai tindakan keji lainnya.

Dan sangat kita sayangkan bahwa sebagian kaum muslimin pun ada yang mengikuti pemikiran kaum kafir ini. Mereka menyangka bahwa segala yang datang dari barat adalah kemajuan dan kebaikan meskipun itu berupa kebatilan. Sehingga tidak mengherankan jika ada negara yang mengklaim sebagai negeri islami atau penduduknya mayoritas muslim, namun memberlakukan peraturan larangan poligami. Maka bukan rahasia lagi, jika orang-orang yang sebenarnya mampu berpoligami justru lebih memilih mencari " istri simpanan", berselingkuh atau bahkan pergi ke pelacuran daripada menikah secara sah. Salah satu penyebabnya adalah karena lingkungan dan sistem perundang-undangan tidak mendukung dan tidak memberi toleransi terhadap poligami, bahkan bagi sebagian masyarakat poligami sudah dianggap sebagai suatu tindakan kejahatan.

Kita tidak mengingkari, bahwa berpoligami terkadang mendatangkan berbagai problem, baik yang berkaitan dengan suami-istri maupun anak-anak, dan ini merupakan sesuatu yang wajar. Dan masalah rumah tangga tidak hanya dihadapi oleh mereka yang berpoligami saja, yang beristri satu pun pasti akan menghadapinya, tinggal bagaimana para suami dan istri menyelesaikan masalah tersebut.

Kendala Berpoligami

Tidak diragukan lagi bahwa poligami kini menghadapi berbagai kendala dan masalah, namun harus disadari bahwa setiap masalah pasti memiliki sebab dan jalan keluar. Di antara kendala terbesar poligami adalah sebagai berikut:
 
1. Keberhasilan musuh-musuh Islam dan para penentang poligami dalam menyebarkan berbagai statemen miring dan tuduhan negatif terhadap poligami. Sehingga terbentuk opini di masyarakat bahwa poligami adalah sebuah tindak kejahatan dan keburukan yang harus ditentang. Sebagian kaum muslimin terpengaruh dengan pemikiran ini, dan para "cendekiawan" pun angkat bicara melemparkan syubhat poligami melalui berbagai media. Di antara syubhat-syubhat yang mereka sampaikan adalah:
  • Bahwa laki-laki tidak akan dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya. Mereka berdalih dengan firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
    “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (QS. an-Nisa’:29)

    Mereka tidak faham bahwa adil yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah dalam masalah hati dan cinta. Ada pun dalam hal nafkah, rumah, mabit, pakaian dan semisalnya maka itu sesuatu yang sangat dapat dilakukan. Jadi maksud ayat di atas adalah janganlah seorang suami condong terhadap salah satu istrinya sehingga menelantarkan istrinya yang lain, walaupun dari segi rasa cinta berbeda antara satu dengan yang lain.
      
  • Syubhat ke dua, bahwa poligami hanya akan menimbulkan permusuhan dan kebencian antar istri dan anak-anak, sehingga merusak rumah tangga. Jawaban untuk syubhat ini adalah, bahwa penyebab permusuhan dan kebencian bukanlah poligami namun lebih pada masalah siasat (niat buruk) elemen keluarga, baik suami, istri atau anak-anak, dan juga seorang istri terhadap madunya. Berapa banyak suami yang hanya memiliki satu istri, namun terjadi permusuhan dengan istri dan anak-anaknya. Dan tidak sedikit suami yang melakukan poligami namun keluarganya tentram dan bahagia tanpa ada permusuhan.
  • Syubhat ke tiga, bahwa poligami akan menyebabkan kemiskinan dan kefakiran. Pemikiran seperti itu berbahaya dan tidak diperbolehkan, karena rizki ada di tangan Allah. Amat banyak keluarga yang dalam kecukupan, meskipun mempunyai anggota keluarga yang besar. Dan banyak pula manusia yang fakir dalam kesendiriannya. Namun demikian berpoligami hanya dapat dilakukan jika seorang laki-laki memenuhi syarat mampu dan adil.
2. Perlakuan buruk sebagian suami yang berpoligami. Ini merupakan salah satu masalah dalam berpoligami, yaitu ketika seorang suami menikah dengan wanita lain, dia tidak berbuat adil dalam hal yang dia mampu, berupa nafkah, mabit, pakaian dan semisalnya. Sebagian suami ada yang tidak dapat mengatur rumah tangganya dengan baik, sehingga dia terkadang berterus terang lebih mencintai salah satu istrinya dari pada yang lain, memuji sebagian istrinya di hadapan istri yang lain dan berbagai kesalahaan yang semisal ini.

Maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah subhanahu wata’ala semaksimal mungkin, dan menjauhi sikap pilih kasih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda bahwa apabila seorang suami memiliki dua istri lalu condong kepada salah satunya maka dia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan bahunya miring.

3. Kurangnya kesabaran para wanita. Ditambah cemburu yang melampaui batas sehingga menimbul kan permusuhan antar istri. Dan umumnya problem yang sering terjadi dalam poligami adalah dalam hal ini, apalagi jika kedua belah pihak sama-sama tidak setuju dengan poligami. Cemburu adalah suatu yang dapat ditolerir sebagaimana hal itu terjadi pada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun tentu harus ada batasnya. Bukan cemburu buta dan tanpa batas, hingga melaknat, mencaci, membenci ketetapan Allah dan syari’atnya, atau melakukan ghibah, namimah (adu domba) agar sang suami mentalak madunya. Bahkan mungkin ada di antara wanita yang pergi ke dukun untuk memisahkan suaminya dengan istrinya yang lain, atau mengguna-guna suaminya agar selalu condong kepada dirinya. Semua ini merupakan perkara yang terlarang dalam agama Islam dan termasuk dosa yang sangat besar. Na’udzu billah min dzalik

Sumber: Tsalatsun Majlisan fi Irsyadil Ummah, Dr Ahmad bin Sulaiman al Uraini. (Abu Ahmad).
READ MORE - Poligami dan Kendalanya